Sabtu, 12 Januari 2013

Kesadaran Lingkungan lewat Gerakan Ekopastoral


Kesadaran Lingkungan lewat Gerakan Ekopastoral
Benny Susetyo ; Sekretaris Komisi HAK KWI
SINAR HARAPAN, 12 Januari 2013



 PEMBANGUNAN yang dilakukan dengan mengabaikan pertimbangan keselamatan lingkungan dan generasi mendatang hanya akan menghasilkan pembangunan yang merusak.

Pembangunan yang dilakukan hanya untuk meraih pertumbuhan ekonomi semata-mata akan lebih banyak menghasilkan keserakahan yang membawa bencana daripada manfaat untuk umat manusia.

Ini merupakan kesalahan yang tidak pernah diperhitungkan para pelaku ekonomi yang rakus. Padahal, jelas bahwa peningkatan kesejahteraan dalam paradigma pertumbuhan ekonomi akan melahirkan sesuatu yang pasti: kerusakan lingkungan.

Keberhasilan paradigma pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan kerap harus dicapai melalui pengorbanan yang berupa deteriorasi ekologis baik yang berwujud soil depletion, penyusutan nonrenewable resources maupun desertifikasi.
Ternyata upaya mewujudkan pembangunan ekonomi bukannya tanpa pengorbanan yang membahayakan. Berbagai kasus terakhir menunjukkan begitu sering masyarakat kecil di sekitar kawasan pegunungan (dataran rendah) menjadi amukan badai banjir lumpur akibat resapan yang sudah tidak lagi memadai.

Sikap Gereja

Atas dasar itu, perhatian terhadap keselamatan lingkungan dan menanamkan sejak dini kesadaran lingkungan sangat perlu dilakukan.

Hal itu yang dilakukan dalam sidang para uskup dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan menegaskan kembali komitmen Gereja Katolik untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam penyelamatan lingkungan hidup. KWI menyatakan keprihatinan atas kerusakan lingkungan hidup yang makin parah dewasa ini.

Pesan pastoral tentang lingkungan tersebut ditandatangani Ketua Presidium KWI yang baru Mgr Ignatius Suharyo dan Mgr Johannes Pujasumarta (Sekretaris Jenderal). Pesan pastoral KWI 2012 kali ini menyoroti masalah lingkungan sebagai sebuah penegasan kembali peran Gereja Katolik dalam upaya melestarikan lingkungan.

KWI melihat tata kelola keadaban lingkungan merupakan persoalan besar bangsa ini. Setiap hari kita menyaksikan hutan, bumi serta alam semesta dirusak dan dieksploitasi. Hutan dan sumber daya alam lainnya di kawasan Kalimantan, Sumatera, dan Papua menjadi saksi sebuah tata kelola lingkungan yang tidak menyentuh harkat dan martabat manusia.

Gereja menyadari rusaknya keadaban lingkungan ini sebagai sebuah cermin nilai kemanusiaan yang makin merosot. Berbagai bencana alam terjadi karena seringnya kesalahan cara pandang manusia terhadap alam. Dalam melihat dan memperlakukan alam kita sering menggunakan cara pandang antroposentris. Pandangan antroposentris menempatkan manusia sebagai pusat dari alam, bahkan dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa pun.

Sejauh ini Gereja sudah lama menaruh keprihatinan atas masalah lingkungan yang berakibat buruk pada manusia. Paus Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio (1967, No 12) sudah mengingatkan semua pihak bahwa masyarakat setempat harus dilindungi dari kerakusan pendatang.

Begitu pula Paus Yohanes II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No 34) yang menekankan alam ciptaan sebagai kosmos tidak boleh digunakan semaunya dan pengelolaannya harus tunduk pada tuntunan moral. Dampak pengelolaan yang tidak bermoral tidak hanya dirasakan manusia saat ini, juga generasi mendatang.
Selanjutnya Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No 48) juga menyadarkan bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang. 

Karenanya harus dikelola secara bertanggung jawab bagi seluruh umat manusia.
Dalam pesan pastoral tahun ini, kepada kalangan pebisnis, KWI berpesan tidak hanya mengejar keuntungan ekonomis, tetapi juga keuntungan sosial. Manfaat sosial itu berupa terpenuhinya hak hidup masyarakat setempat dan adanya jaminan bahwa sumber daya alam akan tetap cukup tersedia untuk generasi yang akan datang.

Gereja berharap gerakan ekopastoral ini menjadi bagian penting untuk memperbaiki sikap manusia terhadap alam. Gereja Katolik Indonesia menaruh perhatian besar pada masalah lingkungan. Gereja melakukan banyak usaha seperti edukasi, advokasi dan negosiasi dalam mengatasi perusakan lingkungan yang masih berlangsung.

Batas Keseimbangan Alam

Alam memiliki batas-batasnya sendiri. Ketidakseimbangan alam yang ditandai dengan berbagai bencana di berbagai tempat menjadi refleksi serius Gereja tahun ini. Gereja menyadari kehancuran lingkungan hidup merupakan buah dari sistem ekonomi yang dijalankan dalam semangat penuh keserakahan.

Tuhan menciptakan alam semesta untuk diolah demi terciptanya kesejahteraan bersama. Alam perlu diolah dan dimanfaatkan dalam batas-batas kewajarannya. Namun, kenyataannya watak rakus penguasa dan pengusaha justru sering mengabaikan keseimbangannya.

Mereka menghabiskan kekayaan alam hanya untuk memperkaya dirinya sendiri. Dampaknya, manusia bukan hanya mudah terkena bencana, melainkan juga karena mereka sedikit demi sedikit mulai terasing dari alam semesta.

Kini manusia mulai kehilangan dayanya untuk mengembalikan alam sesuai dengan keseimbangannya. Alam telah dirusak oleh watak manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri serta generasinya sendiri tanpa memikirkan yang akan datang.

Di negeri ini, begitu jelas batas kewajaran alam sering dirusak pula melalui upaya sistematis kebijakan publik yang hanya berpikir jangka pendek. Negara tak lagi memikirkan untuk apa semua dilakukan kecuali hanya untuk kepentingan politik jangka pendek.

Hutan Indonesia yang menjadi tumpuan dunia untuk bisa bertahan lebih lama semakin hari semakin keropos. Kenyataan ini didukung oleh lemahnya penegakan hukum atas setiap penyelewengan yang terjadi.

Alam tidak lagi bersahabat dengan manusia saat keseimbangannya diluluhlantakkan atas nama pertumbuhan ekonomi.

Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi setiap saat, tidak pernah menjadi pengingat yang baik, bahwa hal tersebut terjadi karena satu-satunya alasan yang valid, yakni ketika alam tidak lagi dihargai keseimbangannya. Saat alam diperas kekayaannya hanya untuk kepentingan politik ekonomi kaum tertentu.

Saat ini kita sudah berkali-kali merasakan akibat atas murkanya alam ini. Tapi, kita tidak pernah memahami dengan sungguh-sungguh. Beberapa tahun yang akan datang, dampak yang lebih hebat atas kemurkaan alam ini jelas akan datang bila tidak ada langkah konkret, reflektif dan menyadari sepenuh hati dalam bentuk kebijakan yang berwawasan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar