Selasa, 08 Januari 2013

Meningkatkan Peran Negara


DISKUSI PANEL “MENYUSUN KONSENSUS BARU”
Meningkatkan Peran Negara
KOMPAS,  08 Januari 2013



Kemajuan ekonomi Indonesia empat tahun ini menggembirakan, tetapi sekaligus mengkhawatirkan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah satu-satunya di dunia yang cenderung tidak menurun, tetapi ekonomi tumbuh tanpa kehadiran negara.
Gambaran menggembirakan ekonomi yang tumbuh di atas 6 persen tersebut, selain karena konsumsi masyarakat, juga ditandai dengan berbondong-bondongnya investor asing masuk ke Indonesia. Padahal, menurut Indeks Korupsi Political and Economic Risk Consultancy tahun 2011, Indonesia adalah negara terkorup kedua di dunia setelah Kamboja.

Peringkat Indeks Kepercayaan Penanaman Modal Asing (PMA) AT Kearney Indonesia juga naik dari peringkat 19 tahun 2011 ke peringkat 9 tahun 2012. Peran PMA dalam produk domestik bruto (PDB) naik dari 15,2 persen tahun 2000, 15 persen tahun 2006, dan 20,5 persen tahun 2012. Namun, peran PMA terhadap PDB Indonesia tersebut masih kecil, misalnya, jika dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 41,1 persen terhadap PDB tahun 2006. Masuknya PMA tersebut ditopang oleh kestabilan ekonomi makro yang baik dan berkelanjutan.

Namun, di sisi lain, ketidakhadiran negara itu paling tidak terlihat dari rendahnya konsumsi pemerintah, ketidakmampuan negara menyediakan barang dan jasa publik, serta kurangnya negara memberi jaminan sosial.

Dalam hal konsumsi pemerintah, Indonesia terendah dibandingkan dengan negara lain. Pemerintah Indonesia hanya menyisihkan 9 persen dari PDB tahun 2011 untuk melayani rakyat. Dalam realisasinya, belanja pemerintah bahkan negatif 3,2 persen pada triwulan III-2012. Padahal, apabila konsumsi pemerintah dapat ditingkatkan, pertumbuhan ekonomi 2012 dapat mencapai 6,5 persen. Amerika Serikat, yang ”anti-negara”, menyisihkan 20,5 persen dari PDB tahun 2011 untuk melayani rakyatnya. Porsi terbesar adalah Kuba, yang menyisihkan 36 persen dari PDB untuk melayani rakyatnya.

Indonesia hanya mampu menyediakan 3 persen dari PDB untuk investasi publik. Investasi pembangunan rel kereta api adalah contoh yang tidak berkembang. Pemerintah cenderung menyerahkan pembangunan infrastruktur kepada pihak swasta dengan mekanisme kemitraan pemerintah-swasta sehingga biaya menjadi lebih mahal, seperti dalam kasus pembangunan tol. Untuk investasi air bersih, misalnya, pihak swasta meminta imbal hasil hingga 21 persen sehingga rakyat Indonesia makin kesulitan mengakses air bersih.

Pemerintah juga masih menganggap memberi jaminan sosial bagi rakyat sebagai sebuah beban. Namun, pemerintah dengan mudah memberi subsidi bahan bakar minyak (BBM) hingga Rp 193,8 triliun atau 61,33 persen dari total subsidi tahun 2013. Subsidi BBM terlalu besar dan tidak tepat sasaran sehingga mengunci anggaran pembangunan.

Dana bantuan sosial bahkan turun terus dan berada di posisi paling rendah, yaitu 5,2 persen, terhadap total belanja pemerintah pusat. Dana bantuan sosial paling kecil setelah subsidi BBM yang mencapai 27,8 persen terhadap total belanja, diikuti belanja barang dan belanja pegawai.

Seharusnya pemerintah tidak boleh menganggap jaminan sosial sebagai beban karena negara-negara yang menerapkan mekanisme pasar sekalipun, terutama di Eropa dan negara maju lainnya, menghadirkan sistem jaminan sosial di negaranya. Presiden China Xi Jinping juga menyatakan bahwa, apabila ingin bertahan, Partai Komunis harus memperkokoh jaminan sosial.

Selain jaminan sosial, Presiden Xi Jinping juga menekankan pentingnya lingkungan. China bahkan menutup pembangkit listrik yang berbahan bakar batubara.
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi masih berlandaskan sumber daya alam. Biaya pertumbuhan ekonomi mahal sekali karena mengorbankan lingkungan. Hampir semua orang kaya Indonesia, kecuali pengusaha berbasis rokok, usahanya berbasis eksploitasi sumber daya alam, terutama batubara dan minyak kelapa sawit mentah. 

Pertumbuhan ekonomi yang berlandaskan sumber daya alam menimbulkan ”kutukan” sumber daya alam. Kutukannya, orang menjadi pemburu rente berebut mendapatkan bagian sumber daya alam. Ekonomi tidak dibangun berdasarkan landasan produktivitas.

Maraknya eksploitasi tambang mineral dan batubara di Kalimantan menjadi contoh ketidakhadiran peran negara. Eksploitasi sumber daya alam tidak adil bagi orang miskin. Izin usaha pertambangan di sejumlah daerah di Kalimantan bahkan sudah melebihi luas daerah itu sendiri. Contohnya, luas izin usaha pertambangan di Kalimantan Timur, misalnya, mencapai 22 juta hektar. Padahal, luas wilayah Kalimantan Timur hanya 19,8 juta hektar. Kenyataan itu menunjukkan keberadaan rakyat tidak diakui. Ada kenyataan bahwa daerah-daerah yang kaya sumber daya alam juga menjadi pusat kemiskinan dan kelaparan.

Ketimpangan ekonomi tersebut menjadi ironi kemajuan ekonomi Indonesia. Ketimpangan itu sudah masuk ke ”lampu kuning” sejak tahun 2008, yang ditandai dengan Indeks Gini tahun 2011 menembus 0,4, yang dapat lebih melebar lagi. Dari sisi distribusi pendapatan, pendapatan 20 persen penduduk terkaya meningkat dari 40,6 persen tahun 1999 menjadi 48,2 persen tahun 2011. Sebaliknya, pendapatan 40 persen penduduk termiskin turun dari 21,7 persen tahun 1999 menjadi 16,8 persen tahun 2011 dan 40 persen penduduk berpendapatan menengah terus merosot dari 37,8 persen tahun 1999 menjadi 34,7 persen tahun 2011.

Sayangnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tidak menyebutkan secara jelas peran negara dan peran pasar. Bahkan, tidak ada kata ”pasar” dalam UUD 1945. Pasar adalah kendaraan untuk mencapai kemakmuran, tetapi perlu konsensus bagaimana desain negara mengatur pasar agar tidak anarkistis.

Akan tetapi, legitimasi kebijakan publik menjadi persoalan tersendiri, misalnya ketika menentukan apakah subsidi BBM dikurangi untuk dialihkan ke infrastruktur. Hal yang sama dapat terjadi di Indonesia apabila penguasa tidak punya legitimasi karena berlepotan dengan urusan korupsi. Kebijakan publik sebaik apa pun di atas kertas tidak akan berjalan karena tidak didukung oleh pemangku kepentingan.

Untuk itu, diperlukan konsensus baru bahwa tugas eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah melayani rakyat. Yang tidak kalah penting, ekonomi harus dibebaskan dari pemburu rente dan diubah menjadi kegiatan produktif. Salah satu kunci untuk mewujudkan itu semua adalah perbaikan institusi, baik institusi politik, institusi ekonomi, institusi hukum, maupun institusi sosial. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar