DISKUSI PANEL “MENYUSUN
KONSENSUS BARU”
Meningkatkan
Peran Negara
|
KOMPAS,
08 Januari 2013
Kemajuan ekonomi Indonesia empat tahun ini
menggembirakan, tetapi sekaligus mengkhawatirkan. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia adalah satu-satunya di dunia yang cenderung tidak menurun, tetapi
ekonomi tumbuh tanpa kehadiran negara.
Gambaran menggembirakan ekonomi yang tumbuh
di atas 6 persen tersebut, selain karena konsumsi masyarakat, juga ditandai dengan
berbondong-bondongnya investor asing masuk ke Indonesia. Padahal, menurut
Indeks Korupsi Political and Economic Risk Consultancy tahun 2011, Indonesia
adalah negara terkorup kedua di dunia setelah Kamboja.
Peringkat Indeks Kepercayaan Penanaman
Modal Asing (PMA) AT Kearney Indonesia juga naik dari peringkat 19 tahun 2011
ke peringkat 9 tahun 2012. Peran PMA dalam produk domestik bruto (PDB) naik
dari 15,2 persen tahun 2000, 15 persen tahun 2006, dan 20,5 persen tahun
2012. Namun, peran PMA terhadap PDB Indonesia tersebut masih kecil, misalnya,
jika dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 41,1 persen terhadap PDB
tahun 2006. Masuknya PMA tersebut ditopang oleh kestabilan ekonomi makro yang
baik dan berkelanjutan.
Namun, di sisi lain, ketidakhadiran negara
itu paling tidak terlihat dari rendahnya konsumsi pemerintah, ketidakmampuan
negara menyediakan barang dan jasa publik, serta kurangnya negara memberi
jaminan sosial.
Dalam hal konsumsi pemerintah, Indonesia
terendah dibandingkan dengan negara lain. Pemerintah Indonesia hanya
menyisihkan 9 persen dari PDB tahun 2011 untuk melayani rakyat. Dalam
realisasinya, belanja pemerintah bahkan negatif 3,2 persen pada triwulan
III-2012. Padahal, apabila konsumsi pemerintah dapat ditingkatkan,
pertumbuhan ekonomi 2012 dapat mencapai 6,5 persen. Amerika Serikat, yang
”anti-negara”, menyisihkan 20,5 persen dari PDB tahun 2011 untuk melayani
rakyatnya. Porsi terbesar adalah Kuba, yang menyisihkan 36 persen dari PDB
untuk melayani rakyatnya.
Indonesia hanya mampu menyediakan 3 persen
dari PDB untuk investasi publik. Investasi pembangunan rel kereta api adalah
contoh yang tidak berkembang. Pemerintah cenderung menyerahkan pembangunan
infrastruktur kepada pihak swasta dengan mekanisme kemitraan
pemerintah-swasta sehingga biaya menjadi lebih mahal, seperti dalam kasus
pembangunan tol. Untuk investasi air bersih, misalnya, pihak swasta meminta
imbal hasil hingga 21 persen sehingga rakyat Indonesia makin kesulitan
mengakses air bersih.
Pemerintah juga masih menganggap memberi
jaminan sosial bagi rakyat sebagai sebuah beban. Namun, pemerintah dengan
mudah memberi subsidi bahan bakar minyak (BBM) hingga Rp 193,8 triliun atau
61,33 persen dari total subsidi tahun 2013. Subsidi BBM terlalu besar dan
tidak tepat sasaran sehingga mengunci anggaran pembangunan.
Dana bantuan sosial bahkan turun terus dan
berada di posisi paling rendah, yaitu 5,2 persen, terhadap total belanja
pemerintah pusat. Dana bantuan sosial paling kecil setelah subsidi BBM yang
mencapai 27,8 persen terhadap total belanja, diikuti belanja barang dan
belanja pegawai.
Seharusnya pemerintah tidak boleh
menganggap jaminan sosial sebagai beban karena negara-negara yang menerapkan
mekanisme pasar sekalipun, terutama di Eropa dan negara maju lainnya,
menghadirkan sistem jaminan sosial di negaranya. Presiden China Xi Jinping
juga menyatakan bahwa, apabila ingin bertahan, Partai Komunis harus
memperkokoh jaminan sosial.
Selain jaminan sosial, Presiden Xi Jinping
juga menekankan pentingnya lingkungan. China bahkan menutup pembangkit
listrik yang berbahan bakar batubara.
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi masih
berlandaskan sumber daya alam. Biaya pertumbuhan ekonomi mahal sekali karena
mengorbankan lingkungan. Hampir semua orang kaya Indonesia, kecuali pengusaha
berbasis rokok, usahanya berbasis eksploitasi sumber daya alam, terutama
batubara dan minyak kelapa sawit mentah.
Pertumbuhan ekonomi yang
berlandaskan sumber daya alam menimbulkan ”kutukan” sumber daya alam.
Kutukannya, orang menjadi pemburu rente berebut mendapatkan bagian sumber
daya alam. Ekonomi tidak dibangun berdasarkan landasan produktivitas.
Maraknya eksploitasi tambang mineral dan
batubara di Kalimantan menjadi contoh ketidakhadiran peran negara.
Eksploitasi sumber daya alam tidak adil bagi orang miskin. Izin usaha
pertambangan di sejumlah daerah di Kalimantan bahkan sudah melebihi luas
daerah itu sendiri. Contohnya, luas izin usaha pertambangan di Kalimantan
Timur, misalnya, mencapai 22 juta hektar. Padahal, luas wilayah Kalimantan
Timur hanya 19,8 juta hektar. Kenyataan itu menunjukkan keberadaan rakyat
tidak diakui. Ada kenyataan bahwa daerah-daerah yang kaya sumber daya alam
juga menjadi pusat kemiskinan dan kelaparan.
Ketimpangan ekonomi tersebut menjadi ironi
kemajuan ekonomi Indonesia. Ketimpangan itu sudah masuk ke ”lampu kuning”
sejak tahun 2008, yang ditandai dengan Indeks Gini tahun 2011 menembus 0,4,
yang dapat lebih melebar lagi. Dari sisi distribusi pendapatan, pendapatan 20
persen penduduk terkaya meningkat dari 40,6 persen tahun 1999 menjadi 48,2 persen
tahun 2011. Sebaliknya, pendapatan 40 persen penduduk termiskin turun dari
21,7 persen tahun 1999 menjadi 16,8 persen tahun 2011 dan 40 persen penduduk
berpendapatan menengah terus merosot dari 37,8 persen tahun 1999 menjadi 34,7
persen tahun 2011.
Sayangnya, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 tidak menyebutkan secara jelas peran negara dan peran
pasar. Bahkan, tidak ada kata ”pasar” dalam UUD 1945. Pasar adalah kendaraan
untuk mencapai kemakmuran, tetapi perlu konsensus bagaimana desain negara
mengatur pasar agar tidak anarkistis.
Akan tetapi, legitimasi kebijakan publik
menjadi persoalan tersendiri, misalnya ketika menentukan apakah subsidi BBM
dikurangi untuk dialihkan ke infrastruktur. Hal yang sama dapat terjadi di
Indonesia apabila penguasa tidak punya legitimasi karena berlepotan dengan
urusan korupsi. Kebijakan publik sebaik apa pun di atas kertas tidak akan
berjalan karena tidak didukung oleh pemangku kepentingan.
Untuk itu, diperlukan konsensus baru bahwa
tugas eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah melayani rakyat. Yang tidak
kalah penting, ekonomi harus dibebaskan dari pemburu rente dan diubah menjadi
kegiatan produktif. Salah satu kunci untuk mewujudkan itu semua adalah
perbaikan institusi, baik institusi politik, institusi ekonomi, institusi
hukum, maupun institusi sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar