DISKUSI PANEL “MENYUSUN
KONSENSUS BARU”
Konsensus Baru
dan Cita-cita Keadilan
|
KOMPAS,
08 Januari 2013
Pengantar : ”Menyusun Konsensus Baru” menjadi tema
diskusi panel ahli ekonomi ”Kompas”, 11 Desember 2012, di Redaksi ”Kompas”.
Pertumbuhan ekonomi nasional yang stabil selama sepuluh tahun terakhir
memunculkan pertanyaan, apakah pilihan strategi pembangunan kita sudah tepat
untuk mencapai Indonesia makmur, adil, sejahtera. Panelis terdiri dari Wakil
Presiden Boediono; Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika
Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko; pengajar Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Faisal Basri; Direktur Eksekutif Ecosoc Rights Sri Palupi;
pengajar Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta, Surya Tjandra; dan
Sekretaris Kementerian BUMN Wahyu Hidayat, dengan moderator Guru Besar
Fakultas Ekonomi UI Rhenald Kasali. Laporan disampaikan berikut ini serta di
halaman 6 dan 7 oleh Ninuk Mardiana Pambudy, Pieter P Gero, Subur Tjahjono,
Andreas Maryoto, Gianie, dan MG Retno Setyowati.
Memasuki
tahun 2013 perekonomian Indonesia diperkirakan tetap akan tumbuh di atas 6,5
persen, meskipun ekonomi Eropa masih lesu dan Amerika Serikat menghadapi
masalah fiskal. Meski demikian, optimisme tersebut tetap dibayangi persoalan
yang dapat menekan pertumbuhan dan berujung pada melambatnya penciptaan
lapangan kerja dan pemerataan hasil pembangunan.
Karena itu, dibutuhkan konsensus baru di
antara semua pemangku kepentingan bangsa. Perlu kesejajaran pandangan dan
dukungan politik para politikus agar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang
berkualitas menjadi prioritas.
Indonesia memiliki beberapa keuntungan.
Investasi asing langsung masih akan meningkat. Konsumsi dalam negeri masih
tinggi, tampaknya karena terjadi sejumlah pemilihan kepala daerah. Meski
definisi kelas menengah dipertanyakan, jumlahnya terus meningkat. Sekitar 55
persen penduduk membelanjakan 2 dollar-20 dollar AS per hari. Mereka menjadi
pasar besar dan menarik minat investasi asing.
Indonesia juga memiliki bonus demografi
sampai tahun 2040. Keadaan penduduk usia kerja lebih besar daripada penduduk
tidak bekerja memungkinkan terbentuknya tabungan masyarakat untuk pembangunan
bila masyarakat tidak konsumtif
dan produktivitasnya tinggi. Komunitas ekonomi ASEAN mulai akhir tahun 2015
menjadi peluang dan tantangan industri manufaktur agar Indonesia tidak
sekadar jadi pasar.
Di sisi lain, ketimpangan kemakmuran juga
meningkat. Indeks gini yang dihitung berdasarkan pendapatan bersih tiap orang
sudah 0,41 (makin tinggi angkanya, makin timpang). Tantangan berikut, defisit
perdagangan. Selama Januari-Oktober 2012 dibandingkan periode yang sama tahun
2011 nilai ekspor Indonesia turun 6,22 persen, sementara impor naik 9,35
persen.
Salah satu sumber kenaikan impor adalah
migas, naik 3,53 persen. Tahun ini impor migas diperkirakan akan bertambah
karena peningkatan kegiatan ekonomi, sementara program diversifikasi energi
tidak jalan. Subsidi BBM akan meningkat, melebihi anggaran pendidikan.
Ekspor komoditas masih akan tertekan karena
ekonomi di belahan Barat belum pulih. Sementara di lapangan ekstraksi mineral
menimbulkan masalah lingkungan dan kemiskinan bagi masyarakat di sekitar
tambang. Infrastruktur masih menjadi kendala dan belanja pemerintah sangat
terbatas.
Tantangan lain adalah buruh. Sepanjang 2012
demo buruh terus terjadi. Mereka menolak sistem alih daya dan upah murah.
Upah minimum DKI Jakarta Rp 2,2 juta per bulan memicu penolakan industri
padat karya, seperti tekstil dan sepatu.
Konsensus Baru
Konsensus baru diperlukan guna menjaga
pertumbuhan ekonomi sepanjang 2013. Pemerintah punya instrumen fiskal untuk
membantu masyarakat yang tertinggal oleh pilihan pembangunan berdasar ekonomi
pasar.
Namun, untuk menyusun strategi besar pembangunan
dan melaksanakan instrumen fiskal yang merupakan otoritas pemerintah harus
dilakukan konsensus dengan para pemangku kepentingan di luar pemerintah.
Kebijakan pemerintah dituntut tetap mampu
merespons secara cepat dan efektif bila terjadi guncangan dari luar.
Produktivitas ekonomi dan tenaga kerja menjadi isu penting karena pertumbuhan
permintaan domestik dan investasi. Kelemahan sudah didata, antara lain dalam
mengondisikan lingkungan bisnis yang bersahabat, perizinan dan birokrasi yang
berbelit, dan kekisruhan wewenang antara pusat dan daerah.
Hal terpenting dalam menjaga momentum
pertumbuhan adalah pemerintah harus cukup legitimasi. Saat ini legitimasi itu
menurun karena korupsi melibatkan unsur pemerintahan, dari pusat hingga
daerah.
Perburuhan tetap akan menjadi isu besar
tahun ini. Untuk menjaga pembangunan, buruh dan pengusaha harus dilihat bukan
berlawanan, melainkan dalam satu wilayah yang sama, yaitu apakah mereka
dijadikan sebagai basis pasar atau sebagai basis produksi dalam perspektif regional
dan global.
Dalam konteks itu, pemerintah dan pemangku
kepentingan lain dituntut membuat program dan melaksanakan ekonomi berbasis
produksi. Pemerintah dengan peran fiskalnya harus membuat kebijakan yang
mendorong industrialisasi, termasuk membangun infrastruktur, sistem logistik
dan rantai pasok, serta sumber daya manusia.
Membangun infrastruktur dan sistem logistik
dapat menjadi ranah badan usaha milik negara dan swasta. Namun, dalam
membangun proyek rintisan, terutama daerah terisolir, dan bidang yang
menyangkut hajat hidup orang banyak—seperti pembangunan pelabuhan, jalan
darat untuk kendaraan dan kereta api, serta bandara sebagai cara mengurai
daerah terisolir—pemerintah sebaiknya menugasi BUMN kala dana APBN tak
mencukupi.
Harus Ditinggalkan
Persoalan dalam memilih strategi
pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan adalah tidak tersedianya aturan
yang jelas dalam konstitusi mengenai cara negara menguasai dan menggunakan
bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti amanat
Pasal 33 UUD 1945. Ada kekhawatiran tiap penguasa akan menginterpretasi dalam
gerak pendulum yang ekstrem.
Namun, mengekstraksi sumber daya alam jelas
bukan jalan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan. Ekstraksi mineral dan
batubara telah merusak lingkungan dan memiskinkan masyarakat sekitar. Konflik
horizontal kerap muncul karena persoalan pertanahan. Pembangunan dengan cara
itu harus ditinggalkan, apalagi bila melahirkan para pemburu rente.
Ada persoalan besar dalam mengukur
keberhasilan pembangunan. Ukuran kemiskinan yang digunakan terlalu rendah,
yaitu hanya konsumsi 1 dollar AS per hari per orang bila mengikuti standar
Tujuan Pembangunan Milenium, atau Rp 248.700 per orang per bulan menurut
ukuran pemerintah.
Ada yang tak tampak dalam angka pertumbuhan.
Perempuan dan anak paling merasakan dampak kemiskinan dan minimnya
infrastruktur. Ketiadaan jalan, misalnya, akan menyulitkan ibu hamil mendapat
pertolongan persalinan. Ketiadaan air bersih akan meningkatkan waktu ibu dan
anak saat mencari air bersih yang jauh dari rumah.
Harus ada strategi besar yang dapat
dilaksanakan untuk menjadikan pembangunan inklusif dan membawa Indonesia
tumbuh karena lahirnya inovasi dan naiknya produktivitas ekonomi serta tenaga
kerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar