Selasa, 08 Januari 2013

Menangkal Kutukan Sumber Daya Alam


DISKUSI PANEL “MENYUSUN KONSENSUS BARU”
Menangkal Kutukan Sumber Daya Alam
KOMPAS,  08 Januari 2013



Laporan paling anyar dari Badan Pusat Statistik menyebutkan ada perbaikan dalam angka defisit perdagangan negeri ini. Defisit November 2012 disebutkan 478,4 juta dollar AS. Lebih baik dibandingkan dengan defisit Oktober 2012 yang mencatat rekor 1,55 miliar dollar AS. Namun, tetap saja ada defisit.

Dari laporan yang dilansir pada 2 Januari lalu itu dirinci bahwa ekspor November 2012 mencatat pertumbuhan 7,3 persen, mencapai 16,44 miliar dollar AS. Akan tetapi, nilai impor masih tetap lebih tinggi, mencapai 16,92 miliar dollar AS. Total ekspor Januari-November 2012 mencapai 174,76 miliar dollar AS atau turun 6,25 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Memprihatinkan, ekspor Indonesia masih bergantung pada komoditas sumber daya alam yang mencapai 65,2 persen dari total ekspor. Akibatnya, saat harga komoditas jatuh seperti sekarang ini, tak bisa mengelak, nilai ekspor akan anjlok tajam. Apalagi, di tengah kondisi perekonomian global yang serba tidak pasti.

Laporan Badan Pusat Statistik ini memperlihatkan betapa negara ini belum mengoptimalkan pengolahan komoditas di dalam negeri sehingga memberikan nilai tambah ekspor yang berarti, sekaligus menciptakan lapangan kerja. Belum ada upaya menangkal apa yang dikenal dengan ”kutukan sumber daya alam”. Kutukan yang membuat negeri ini tak beranjak dari posisi negara berkembang. Sulit menggapai level negara industri.

Teori kutukan sumber daya alam menyebutkan, negeri yang dikaruniai sumber daya alam melimpah justru menjadi bangsa yang tidak maju-maju apabila tidak berhati-hati mengelolanya. Sumber daya alam yang melimpah cenderung membuat manusia agak santai dan malas karena tinggal diambil dan dijual. Sumber kekayaan alam ini bisa menjadi ”kutukan” jika terus dieksploitasi, tanpa ada inovasi yang mengandalkan kemampuan sumber daya manusia.

Oleh karena itu, tak bisa lain, perlu peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Upaya menciptakan sumber daya manusia dengan daya produktivitas tinggi serta kemampuan inovasi memadai sehingga bisa menciptakan produk ekspor dengan nilai jual yang lebih tinggi dan berdaya saing.

Kenyataan yang ada, ekspor komoditas sumber daya alam, seperti minyak kelapa sawit mentah, mangan, dan batubara, memberikan pemasukan ekspor yang lumayan di saat harga-harga sedang tinggi. Namun, begitu harga mulai datar, bahkan menurun, kontribusi pada pertumbuhan ekonomi kian melemah. Tidak demikian apabila komoditas tersebut dikelola di dalam negeri sebelum diekspor.

Ini berarti ekspor komoditas tidak memberikan sebuah jaminan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Bahkan, di beberapa daerah yang menjadi sumber komoditas tersebut justru berkembang kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Oleh karena itu, diperlukan konsensus baru yang mencetuskan adanya strategi pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebuah strategi pembangunan yang bisa menekan indeks kemiskinan (indeks Gini) yang belakangan ini mencapai 0,41. Berarti 1 persen warga menguasai 41 persen kekayaan bangsa dan negara ini. Dari sisi pendapatan, indeks Gini bisa mencapai 0,60.

Perlu dicapai konsensus untuk mendorong adanya kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapainya, perlu memperbaiki antara lain produktivitas perekonomian, produktivitas tenaga kerja, dan produktivitas modal. Buruh harus diberikan upah yang memadai untuk selanjutnya didorong produktivitasnya.

Banyak hal yang bisa mendukung kegiatan yang produktif. Lingkungan usaha: peraturan yang menghambat harus diperbaiki. Masalah perizinan: kekisruhan dalam perizinan antara pusat dan daerah perlu dibenahi.

Biaya logistik yang mahal menjadi hambatan besar yang harus segera dibenahi pemerintah. Ini membuat daya saing kita jatuh dibandingkan dengan banyak negara lain. Ini sebuah masalah dalam produktivitas infrastruktur yang rendah.
Infrastruktur transportasi yang buruk membuat kehidupan rakyat di luar Jawa semakin termiskinkan. Ongkos angkut Jakarta-Singapura hanya 165 dollar AS, sementara ongkos Jakarta-Jayapura (Papua) mencapai 1.000 dollar AS. Tidak heran, harga jeruk mandarin di Jakarta hanya Rp 17.000 per kilogram, sementara harga jeruk pontianak Rp 20.000 per kg karena ongkos angkut yang lebih mahal dari Pontianak, Kalimantan Barat.

Di tengah kepercayaan investor asing yang tinggi, bonus demografi, saatnya semua pihak di negeri ini menekankan perlunya konsensus mendorong produktivitas, demi tercapainya sebuah perekonomian yang pro-kesejahteraan rakyat. Negara yang memang harus menyejahterakan rakyatnya.

Di tengah iklim demokrasi yang masih penuh konflik, pencapaian konsensus menjadi sebuah barang mahal. Namun, karena menjadi keniscayaan, maka sudah waktunya untuk bekerja dengan konsensus. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar