Senin, 21 Januari 2013

Menimbang Ibu Kota Negara di Cirebon


Menimbang Ibu Kota Negara di Cirebon
Yudi Setianto ;  Sejarawan di Malang
JAWA POS, 21 Januari 2013



PRESIDEN SBY mengajukan tiga skenario mengenai ibu kota. Pertama, mempertahankan Jakarta dengan konsekuensi pada pembenahan total atas soal macet, banjir, transportasi, permukiman, dan tata ruang wilayah. Kedua, membangun ibu kota yang benar-benar baru, atau totally new capital. Sedangkan skenario ketiga, ibu kota tetap di Jakarta, namun memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain.

Secara historis, Pulau Jawa memang mempunyai potensi multidimensional untuk menjadi pusat pemerintahan. Pada zaman kerajaan, kontinuitas kerajaan-kerajaan di pulau ini relatif terjaga, mulai zaman Hindu Buddha hingga kerajaan Islam. Berbeda dengan di Kalimantan, atau Sumatera yang tak sesubur di Jawa dalam menumbuhkan kontinuitas pemerintahan kerajaan. 

Pada masa Hindia Belanda, awalnya pusat perdagangan VOC berada di Ambon, jantung penghasil rempah-rempah. Karena kurang strategis jika dilihat dari jalur utama perdagangan Asia, pusat perdagangan VOC akhirnya dipindah ke Batavia atau Jakarta sekarang. 

Pemerintah Hindia Belanda pernah merencanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Bandung pada 1906. Sebab, kondisi Jakarta berada di daerah pantai yang rendah sehingga akrab dengan banjir (ya, banjir), dan berbagai penyakit menular seperti malaria dan diare. Bahkan, Gubernur Jenderal Dirk van Cloon pada abad ke-18 meninggal karena penyakit, sebagai dampak dari lingkungan Batavia yang kotor.

Presiden Soekarno juga menggagas pindah ibu kota saat peresmian Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah pada 1957. Tampaknya, wacana sekarang yang menggulirkan lagi pemindahan ibu kota ke Palangkaraya masih berdasar atas emosi historis tentang sosok Soekarno, bukan semata dimensi ilmiah seperti geografis, tata ruang dan kota, anggaran, serta hambatan-hambatan lainnya. Keputusan memindahan ibu kota adalah suatu keputusan besar dan memakan biaya yang sangat mahal. 

Jika kita perhatikan beberapa kasus pemindahan ibu kota negara, pertimbangan utama memperhatikan aspek keterpusatan (centrality). Idealnya, ibu kota berada di tengah-tengah wilayah negara sehingga mudah terjangkau bagian lain dari wilayah suatu negara, dan Pulau Jawa bagian dari centrality. Kita bisa mempelajari negeri jiran Malaysia yang menggeser ibu kota barunya tidak jauh dari ibu kota lamanya, dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Selain  menjaga                           centrality, pergesaran lokasi menghemat biaya pembangunan ibu kota baru.

Namun, tidak semudah itu di Jakarta. Kondisi daerah satelit Jakarta juga hampir sama permasalahannya dengan kota yang dulu bernama Jayakarta itu. Pergeserannya perlu di luar satelit Jakarta. Yang cukup ideal adalah Cirebon. Kota tersebut juga pernah diwacanakan sebagai ibu kota Provinsi Jawa Barat, menggantikan Bandung. Skenario ketiga dari SBY, tampaknya, realistis untuk memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah Cirebon dengan daerah penyangga seperti Brebes, Tegal (Jawa Tengah), Kuningan, Indramayu, dan Majalengka (Jawa Barat).

Secara geo-historis, wilayah Cirebon relatif aman karena jauh dari ancaman alam seperti saat Kerajaan Mataram Kuno yang dipindah dari wilayah Jawa Tengah-Jogja ke wilayah Jawa Timur disebabkan adanya faktor alam, yaitu bencana gunung meletus dan gempa bumi. Secara eko-historis, Cirebon pernah menjadi pelabuhan perdagangan penting di Jawa selain Batavia. Cirebon mempunyai letak yang strategis dalam kancah perdagangan di Nusantara, bahkan Asia.

Secara geografis, wilayah tersebut bukan wilayah rawan gempa dan tsunami, jauh dari lempengan gempa di pantai selatan Jawa. Pergeseran pusat pemerintahan dari Jakarta ke Cirebon secara transportasi darat tidak mengalami kesulitan. Cirebon sejajar dengan Jakarta jika ditarik garis lurus dari pantai utara Jawa. Dalam transportasi udara juga menguntungkan karena bukan wilayah pegunungan.

Secara sosiologis, masyarakat Cirebon unik, mengganggap dirinya bukan orang Sunda dan juga bukan orang Jawa. Hal itulah yang secara sosiologis menguntungkan karena tidak ada ego-etnis sehingga akan lebih mudah menerima pendatang yang multikultural. Hal itu penting agar tidak ada perasaan masyarakatindigenous, yang harus mempunyai privilege nonformal. 


Namun perlu digarisbawahi, pemindahan ibu kota bukanlah proyek coba-coba. Kita bisa melihat Argentina yang berusaha memindah ibu kota negara dari Buenos Aires ke Viedma lewat keputusan Kongres pada 1987. Namun, upaya itu gagal karena tidak siap secara finansial dan ekonomi. Tetapi, ada kisah sukses seperti pemindahan ibu kota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia City yang benar-benar baru pada 1961. Mari dikaji matang-matang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar