Senin, 21 Januari 2013

Ekonomi Memindahkan Ibu Kota


Ekonomi Memindahkan Ibu Kota
Effnu Subiyanto ;  Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair,
Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik atau Forkep
JAWA POS, 21 Januari 2013



DAERAH Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta kembali tak bisa menjalankan fungsi keibukotaannya pada 17 Januari 2013 karena banjir. Pusat-pusat bisnis dan pemerintahan di jalan protokol terendam. Jakarta benar-benar tidak berdaya. Padahal, hujan mengguyur tidak sampai 24 jam penuh. 

Situasi itu mengingatkan banjir pada 2007 yang juga melumpuhkan Jakarta. Banjir itu diperkirakan kembali secara siklus 200 tahun lagi, ternyata lima tahun sudah kembali terjadi. Kerugian karena banjir demi banjir itu malah jauh lebih besar dibanding kerugian karena masalah lain seperti dampak kemacetan, kejahatan, kesehatan, air bersih, polusi, dan masih banyak masalah sosial lainnya.

Reputasi Gubernur Jokowi membawa optimisme publik bahwa dirinya akan mampu mengubah Jakarta ke arah lebih baik. Namun, tetap harus menunggu dalam waktu bertahun-tahun. Jika saja Jokowi kemudian mampu menyelesaikan masalah banjir Jakarta sampai tiga tahun ke depan, setidaknya diperlukan biaya minimal Rp 120 triliun (anggaran DKI ''hanya'' Rp 46 triliun pada 2013). Biaya itu belum termasuk untuk menyelesaikan masalah kemacetan, kesehatan, kejahatan, dan hamparan masalah sosial lainnya.

Sebagai perbandingan, saat pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo 2007-2012, anggaran yang dihabiskan minimal Rp 140 triliun. Namun, hasil konkretnya tidak terlalu bisa dirasakan. Sebab, dispersi atau persebaran anggaran tidak berfokus ke satu titik bidang. Karena ingin coba-coba menyelesaikan semua, Jakarta tidak ubahnya menjadi media laboratorium dari berbagai hipotesis, lahan berbagai proyek, dan pada saat bersamaan membakar anggaran dari pajak rakyat yang luar biasa.

Daripada melanjutkan upaya ''laboratoris'' itu, jauh lebih besar dan jauh lebih cepat mengembangkan kota baru sebagai ibu kota negara. Pemindahan ibu kota juga membawa pemerataan ekonomi ke daerah karena selama ini hampir 80 persen uang beredar di Jakarta.

Graviti Model 

Ada sebuah metode untuk menentukan jarak efisien memilih lokasi untuk ibu kota negara yang disebut graviti model. Model yang dikembangkan LeSage dan Pace (2005) itu mulanya ditemukan untuk memecahkan masalah ekonomi di 35 wilayah Austria di sektor transportasi dan logistik. Hipotesis graviti model tersebut hampir mirip teknik spasial (Anselin, 1988), namun lebih dikembangkan dengan disempurnakan.

Penentuan ibu kota sebenarnya juga menyangkut ekonomi logistik. Sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis, keberadaannya menjadi episentrum dan magnet utama. Barang, jasa, dan orang bergerak menuju dan dari ibu kota untuk memutar roda ekonomi. Itulah yang membuat Jakarta menikmati benefit raksasa secara ekonomi berikut dampak sosialnya.

Secara graviti model untuk Pulau Jawa, Jakarta tidak memenuhi syarat ekonomis dari sudut logistik. Logikanya sudah benar, ketika agenda untuk membuat ibu kota alternatif dipilih pulau yang memiliki radius sama, yakni Kalimantan yang berada di titik tengah Indonesia.

Peran penting ibu kota sebenarnya adalah keputusan. Sementara itu, nilai ekonominya tidak harus terpusat di Jakarta pula. Jika sekarang faktanya hampir 80 persen uang yang beredar terkonsentrasi di Jakarta, itu terjadi karena pelaku birokrasi dan pebisnis mendekati pemilik keputusan tersebut. Padahal, dengan teknologi informasi, pengambilan keputusan sama sekali tidak terkendala jarak.

Sebagai pusat, Jakarta memang benar berperan dalam mendistribusikan anggaran Rp 1.657 triliun dalam APBN 2013. Namun, infrastruktur birokrasi dan bisnis tidak harus bernilai sama. Untuk membuat ibu kota baru, pemerintah tidak perlu cemas harus membelanjakan Rp 1.657 triliun yang tentu seketika akan membangkrutkan kas negara. 

Pengalaman saya, infrastruktur fisik senilai Rp 250 juta berupa kantor ternyata mampu mengorganisasi investasi sampai Rp 3,2 triliun. Artinya, nilai infrastruktur kantor pusat adalah 0,0078 persen. Bahkan, saya tidak selalu berada di kantor dengan adanya teknologi informasi, jika dianalogikan tempat sudah menjadi virtual dan bukan merupakan urgensi.

Mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota akan makin memberatkan keuangan serta tak memadamkan keluhan sosial. APBD Jakarta yang hanya Rp 46 triliun pada 2013 ini sangat tidak menjanjikan jika dibanding tuntutan publik. Perlu diapresiasi munculnya paradigma baru bahwa ibu kota Jakarta bukan lagi harga mati. 

Malaysia bahkan sudah lama memecah pusat pemerintahannya di Putrajaya, sedangkan pusat bisnisnya berada di Kuala Lumpur. Padahal, dari segi jumlah penduduk yang linier dengan jumlah kepentingan, masalah Malaysia (28,9 juta jiwa) tidak sedahsyat Indonesia (242,3 juta). Kuala Lumpur pun tidak perlu kebanjiran dulu untuk membangun Putrajaya.

Pada 2010, ada wacana untuk memindahkan posisi ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sayangnya, rencana tersebut ditelan isu-isu lain. Kini wacana itu terapung lagi setelah Jakarta terendam banjir yang membuat kolaps sang ibu kota. Ibu kota mestinya memang bersuasana ayem, para elite pemerintah dapat mengambil keputusan dengan tenang, dan kegiatan diplomatik berjalan lancar, sehingga elegan sebagai pusat pemerintahan. 

Perbaikan Jakarta sudah tidak bisa diharapkan. Membuang uang sangat besar, sedangkan penyakitnya tidak kunjung sembuh. Tutup buku Jakarta dan segeralah membuka lembaran yang baru.

1 komentar:

  1. Tulisan yang bagus om..

    wah pusing juga ya dengan wacana pemindahan ibukota. tapi bagi saya, ibukota negara pindah juga gak ada pengaruh soalnya kerjanya trading di armada markets. online 24 jam sehari ...

    BalasHapus