Senin, 21 Januari 2013

Menggugat Cara Hakim Berhukum


Menggugat Cara Hakim Berhukum
W Riawan Tjandra ;  Pengamat Hukum dan Dosen FH
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
SINDO, 21 Januari 2013

  

Cobalah bandingkan hukuman yang dijatuhkan untuk para koruptor di Indonesia dengan di negara-negara lain, misalnya di RRC. 

Luo Yaiping, pejabat Departemen Perencanaan Kota di RRC yang didakwa menggelapkan uang negara sebesar 32,39 juta yuan (Rp49,61 miliar) dan menerima uang suap sebesar 300 ribu yuan (Rp462,6 juta) telah dijatuhi hukuman mati dan pada bulan November 2011 lalu telah dieksekusi. Masih di China, New York Times edisi 11 Juli 2011 memberitakan bahwa Kepala Administrasi Urusan Makanan dan Obat-obatan di China, Zheng Xiaoyu, 62, pada 29 Mei 2007 telah dijatuhi hukuman mati karena didakwa menerima suap sebesar USD850.000 (Rp8,2 miliar) untuk perizinan perdagangan 137 obatobatan yang menimbulkan kematian terhadap 10 warga China.

Bahkan vonis mati terhadap terdakwa koruptor juga dijatuhkan terhadap Sekretaris Partai Komunis di Nanchang County dan Kota Hufang, Tang Chenggi dan Zhang Xiaohua karena keduanya didakwa menerima suap lebih dari 60 juta yuan (Rp92,52 miliar) dari pengembang real estat untuk mendapatkan proyek pemerintah. Masih banyak para pejabat pemerintah/birokrasi di RRC yang dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. 

Sungguh kontras penegakan hukum tindak pidana korupsi di RRC dengan di Indonesia yang pada bagian awal konstitusinya menegaskan dirinya sebagai negara hukum. Bukan saja belum pernah ada koruptor yang dijatuhi hukuman mati seperti yang lazim di RRC, menilik tabel penjatuhan pidana terhadap para koruptor di negeri ini terlihat masih sangat ringan. Yang terbaru penjatuhan pidana terhadap terdakwa korupsi APBN, AngelinaPSondakh. 

Dia hanya divonis 4,5 tahun penjara, jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK seberat 12 tahun penjara. Bahkan, ada yang pernah membandingkan tak sepadannya penjatuhan pidana bagi para koruptor dibandingkan dengan pidana represif untuk pencuri kakao, tebu, batang ketela, dan sejenisnya. Padahal, dalam UU Tipikor sangat jelas bahwa hukuman terhadap pelaku tipikor dimungkinkan sampai pada hukuman penjara seumur hidup, bahkan pidana mati, jika korupsi itu dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu pada waktu negara dalam keadaan bahaya, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi atau negara dalam keadaan krisis moneter.

Namun, hingga kini belum pernah ada pelaku tindak pidana korupsi yang dijerat dengan kedua ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 12 UU Tipikor. Dalam beberapa kasus kecil yang sempat menjerat beberapa pelaku pencuri kakao, tebu, dan sejenisnya para hakim berhukum dengan sangat positivistik, sehingga dalam kasus-kasus tersebut (nyaris) berujung pada pemidanaan terhadap para pelaku kejahatan kelas “gurem” tersebut. 

Sebaliknya, di saat harus menjatuhkan hukuman terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, cara hakim berhukum justru terlihat tidak secara tepat menafsir dan menerapkan ancaman hukuman terhadap para pelaku korupsi sebagaimana diamanatkan dalam UU Tipikor. Hal itulah yang menyebabkan hukum di negeri ini terkesan inkonsisten, mudah dinegosiasikan dan jauh dari menimbulkan efek jera terhadap para pelaku tipikor.

UU Tipikor dan UU KPK dengan sangat jelas menisbatkan korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang juga membutuhkan cara penanganan secara luar biasa (extraordinary action) pula agar mampu menimbulkan efek jera terhadap para pelaku tipikor.Namun, semangat UU Tipikor dan UU KPK tersebut raib dalam vonis pemidanaan dalam berbagai kasus korupsi. 

Cara pandang dalam penegakan hukum dalam berbagai kasus korupsi di negeri ini belum mampu menyentuh sisi keadilan restoratif (restorative justice) yang mampu memulihkan luka dan ketidakadilan struktural. Karena tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik telah berdampak terhadap terjadinya kemiskinan struktural. Aksi pejabat korup tersebut menyebabkan hak-hak asasi sosial dan ekonomi rakyat gagal disantuni oleh negara yang dalam konstitusinya menisbatkan dirinya sebagai negara kesejahteraan lengkap dengan kewajiban sosial negara dalam menyantuni kaum fakir miskin dan terlantar pada Pasal 33 dan 34 UUD 1945.

Hukum dalam tesis Z Tamanaha dilihat sebagai alat dari dominasi sosial, ekonomi dan politik (law is an instrument of social, economic and political domination), maka cara pandang hakim dalam berhukum tak lepas dari konstelasi paradigma dan ketatanegaraan yang belum sepenuhnya memiliki cara pandang yang sama untuk mematuhi amanat undang-undang yang telah menempatkan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). 

Inkonsistensi dalam penanganan korupsi telah menjadikan korupsi sebagai—meminjam istilah Deleuze—sebuah simulakrum, yaitu ikon yang telah terdegrasi ke dalam keserupaan yang paling rendah. Simulakrum telah memproduksi tanda-tanda yang menyimpang dari rujukan (referent) atau dari yang asli, dengan menciptakan tandatanda sebagai topeng (mask) dan penyamaran tanda (disguising) yang menyubversi representasi.

Dengan kata lain, penanganan korupsi yang terjadi di ranah praksis saat ini menyimpang dari paradigma yang dikonstruksi oleh semangat berkonstitusi dan undang-undang. Hal itu telah mengubah korupsi hanya sebagai sebuah simulakrum di dunia hukum jauh dari substansi yang seharusnya. Semakin rumit penanganannya jika korupsi itu membelit kepentingan aktor-aktor elite kunci, apalagi jika para koruptor akan digantung di Monas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar