Mengapa Mereka
Menjadi Teroris?
Ahmad Taufik ; Mahasiswa Magister Program Pendidikan Hubungan
Internasional Fisip Universitas Padjadjaran, Bandung
|
KORAN
TEMPO, 15 Januari 2013
Jangan kaget
jika suatu saat, ketika anak Anda ditanya cita-citanya jika besar nanti,
jawabnya, "ingin menjadi teroris." Saya teringat, sekitar 20 tahun
lalu, jawaban dua anak perempuan rekan sekerja saat ditanya cita-citanya
adalah, "ingin menjadi penjahat." Saya tak tahu ide dari mana
jawaban kedua anak itu. Bahkan orang tuanya pun tidak tahu. Saat itu, yang
terpikir, "ah, itu kan cuma pikiran anak-anak."
Saat masih
remaja dan aktif dalam organisasi pelajar berciri keagamaan, saya dijejali
pikiran dengan moto "hidup mulia atau mati syahid." Motto tersebut
sampai sekarang masih saya jumpai di tempat saya dibesarkan. Bahkan di
pangkalan ojek depan kampung saya tertulis besar-besar moto itu lengkap
dengan bahasa Arab-nya, "isy
kariman aw mut syahidan."
Ide dalam moto
itu terdapat dua pilihan "terpaksa". Saya sempat menduga motivasi
seseorang menjadi teroris itu "terpaksa" karena miskin atau hidup
susah. Artinya, jika hidup mulia, kaya bisa membantu banyak orang,
berkedudukan tinggi tapi tidak korupsi dan berbuat bagi masyarakat, tidak
perlu "berjuang" mengangkat senjata di medan perang atau syahid.
Sedangkan jika hidup susah, lebih baik "berjuang di jalan Allah" (fisabilillah). Sebab, dalam konsep
zakat, fisabilillah termasuk yang mendapat hak bagian (mustahik).
Bahkan
Presiden Amerika Serikat George W. Bush dalam pidatonya di Monterey, Meksiko,
22 Maret 2002, mengatakan, "Kami
berjuang melawan kemiskinan, sebab itu harapan untuk menjawab
terorisme." Komentar serupa datang dari Perdana Menteri Inggris Tony
Blair dalam pernyataannya pada 12 November 2001, "…negara gagal, kemiskinan, dan pemutusan hubungan kerja (PHK)
menyumbang adanya terorisme." Sejumlah nama terkenal seperti Perdana
Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan, Raja Yordania Abdullah, bahkan ahli dari
Kennedy School, Jessica Stern, yakin kemiskinan merupakan penyebab terorisme.
Namun
pemikiran tersebut ternyata terbantahkan. Menurut Alan B. Krueger, dalam
bukunya, What a Makes Terrorist,
sejumlah orang dalam penelitiannya menjawab bahwa menjadi teroris adalah pilihan
hidup, cita-cita atau karier, seperti menjadi dokter, pengacara, insinyur,
pilot, dan jenis pekerjaan lain.
Istilah
terorisme mengemuka kembali setelah penyerangan gedung kembar di New York, 11
September 2001. Seharusnya Bush bisa berkaca bahwa para pelaku penyerangan
itu bukanlah orang-orang miskin. Mereka bersekolah penerbangan di Amerika
Serikat, yang tentu biayanya tidak murah dan hidup senang-senang di negeri
itu. Bahkan arsitek di balik itu jika benar tuduhannya, Usamah bin Ladin
adalah anak orang kaya dari Saudi Arabia, yang mewarisi bisnis Kelompok Bin
Ladin sebesar US$ 300 juta. Juga punya sejumlah bisnis di mancanegara.
Selain Usamah
bin Ladin, dua ilmuwan dari Malaysia, Noor Din M. Top dan Dr Azhari, yang
beroperasi menyebar teror di Indonesia, bukanlah orang miskin, juga bukan
orang bodoh. Walaupun dalam prakteknya mereka mempekerjakan orang-orang tidak
mampu, kemiskinan bukanlah satu-satunya motivasi orang menjadi teroris.
Keluarga bisa menjadi tempat subur tumbuhnya teroris. Jika di dalam keluarga
itu memang diajarkan atau orang tuanya membenarkan tindakan teror sebagai
jalan kehidupan. Contoh konkret adalah Amrozi bersaudara.
Jika para
pelaku teror itu dijadikan teladan bagi keluarga, anak-anak mereka dari
berbagai istri bukan tidak mungkin ada yang menjadi teroris. Lingkungan juga
bisa membentuk dan menumbuhkan bibit teroris. Para teroris yang dianggap
pahlawan di suatu daerah tertentu akan membuat "iri" orang di
sekitarnya untuk melakukan hal yang sama.
Ideologi, atau
seolah-olah ideologi, juga menjadi pabrik tumbuhnya teroris. Dalam beberapa
kejadian di Indonesia, Pakistan, dan Afganistan, sekolah-sekolah atau
perkumpulan-perkumpulan menjadi tempat cuci otak anak didiknya dengan dogma
untuk melakukan teror sebagai jalan perjuangannya. Padahal dogma yang
diajarkan itu bisa saja salah tafsir dari ajaran "asli" itu
sendiri.
Kejahatan
Amerika Serikat dan Barat juga menyumbang suburnya terorisme. Banyak orang
Islam bahkan dari berbagai sekte menuding kelakuan negara-negara besar
mempertahankan Israel dan mengesampingkan negara Palestina merdeka, penyebab
tumbuhnya terorisme. Terorisme sebenarnya bukan hanya milik orang Islam,
seperti yang terbentuk selama ini. Kelompok Tentara Revolusi Irlandia (IRA)
di Irlandia Utara, Inggris, Basque di Spanyol, para mafia/kartel narkoba di
Amerika Latin, serta banyak kelompok lain yang tak berkaitan dengan Islam
menggunakan teror sebagai bentuk perjuangannya. Bahkan cara-cara Amerika
Serikat di Irak, Afganistan, dan kini di Suriah, serta kebencian orang-orang
Barat terhadap Islam, juga dituding sebagai terorisme yang dilakukan negara
adikuasa dan besar.
Media
Pusat Teroris
Peran media
juga menyuburkan keberadaan teroris dan dapat menumbuhkan cita-cita seseorang
ingin seperti itu. Menjadi teroris bisa seterkenal artis, selebritas,
pengusaha, atau pejabat. Bahkan bisa lebih, kadang-kadang penggerebekannya
diliput secara langsung di televisi. Sebuah penelitian terhadap jurnalis di
Jakarta beberapa bulan lalu menemukan lebih dari 60 persen jurnalis Indonesia
berpihak kepada kelompok garis keras. Tepatnya ruang redaksi telah disusupi
jurnalis-jurnalis radikal yang anti-keberagaman dan pro-kekerasan.
Lalu bagaimana
membunuh cita-cita seseorang menjadi teroris? Tentunya bisa dimulai dari
mempelajari akar terjadinya terorisme pada suatu tempat. Tidak ada cara
tunggal untuk memberantasnya. Antara lain, mempersempit ujaran kebencian (hate crimes). Sebab, ujaran kebencian,
menurut Krueger, adalah sepupu dari terorisme. Kegiatan itu menyumbang
sekelompok orang untuk melakukan kekerasan atas nama agama, ras, dan etnis.
Negara harus bertindak tegas terhadap pengujar kebencian. Keterlibatan aparat
negara dalam melindungi dan mendiamkan perbuatan sekelompok pengujar
kebencian, tentu nantinya akibat itu, negara itu bakal memanen teror di masa
mendatang.
Istri Presiden
Bush, Laura, pada 2002 menyatakan, "Untuk
menang melawan terorisme, tergantung pendidikan anak-anak di dunia. Sebab,
anak-anak terdidik memudahkan untuk mengalahkan terorisme." Memang,
pendidikan keberagaman nantinya bakal menumbuhkan generasi yang lebih cerdas
dan berpikir luas. Agar berhasil, pendidikan anak harus diikuti juga dengan
lingkungan yang mendukung pluralisme.
Nah, di ruang redaksi media
harus steril dari orang-orang radikal yang anti-keberagaman dan pro terhadap
tindakan kekerasan kelompok tertentu. Jika media massa sudah disusupi
orang-orang yang pro terhadap kelompok pelaku kekerasan, tentu bukan tidak
mungkin anak-anak yang mengkonsumsi media tersebut terus-menerus akan
menganggap pelaku kejahatan atau teroris sebagai sebuah pilihan cita-cita.
Seperti cita-cita anak rekan saya dulu. Naudzubillahi
min dzalik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar