Rabu, 16 Januari 2013

Mengapa Mereka Menjadi Teroris?


Mengapa Mereka Menjadi Teroris?
Ahmad Taufik ;  Mahasiswa Magister Program Pendidikan Hubungan Internasional Fisip Universitas Padjadjaran, Bandung
KORAN TEMPO, 15 Januari 2013



Jangan kaget jika suatu saat, ketika anak Anda ditanya cita-citanya jika besar nanti, jawabnya, "ingin menjadi teroris." Saya teringat, sekitar 20 tahun lalu, jawaban dua anak perempuan rekan sekerja saat ditanya cita-citanya adalah, "ingin menjadi penjahat." Saya tak tahu ide dari mana jawaban kedua anak itu. Bahkan orang tuanya pun tidak tahu. Saat itu, yang terpikir, "ah, itu kan cuma pikiran anak-anak."
Saat masih remaja dan aktif dalam organisasi pelajar berciri keagamaan, saya dijejali pikiran dengan moto "hidup mulia atau mati syahid." Motto tersebut sampai sekarang masih saya jumpai di tempat saya dibesarkan. Bahkan di pangkalan ojek depan kampung saya tertulis besar-besar moto itu lengkap dengan bahasa Arab-nya, "isy kariman aw mut syahidan."
Ide dalam moto itu terdapat dua pilihan "terpaksa". Saya sempat menduga motivasi seseorang menjadi teroris itu "terpaksa" karena miskin atau hidup susah. Artinya, jika hidup mulia, kaya bisa membantu banyak orang, berkedudukan tinggi tapi tidak korupsi dan berbuat bagi masyarakat, tidak perlu "berjuang" mengangkat senjata di medan perang atau syahid. Sedangkan jika hidup susah, lebih baik "berjuang di jalan Allah" (fisabilillah). Sebab, dalam konsep zakat, fisabilillah termasuk yang mendapat hak bagian (mustahik).
Bahkan Presiden Amerika Serikat George W. Bush dalam pidatonya di Monterey, Meksiko, 22 Maret 2002, mengatakan, "Kami berjuang melawan kemiskinan, sebab itu harapan untuk menjawab terorisme." Komentar serupa datang dari Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam pernyataannya pada 12 November 2001, "…negara gagal, kemiskinan, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) menyumbang adanya terorisme." Sejumlah nama terkenal seperti Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan, Raja Yordania Abdullah, bahkan ahli dari Kennedy School, Jessica Stern, yakin kemiskinan merupakan penyebab terorisme.
Namun pemikiran tersebut ternyata terbantahkan. Menurut Alan B. Krueger, dalam bukunya, What a Makes Terrorist, sejumlah orang dalam penelitiannya menjawab bahwa menjadi teroris adalah pilihan hidup, cita-cita atau karier, seperti menjadi dokter, pengacara, insinyur, pilot, dan jenis pekerjaan lain.
Istilah terorisme mengemuka kembali setelah penyerangan gedung kembar di New York, 11 September 2001. Seharusnya Bush bisa berkaca bahwa para pelaku penyerangan itu bukanlah orang-orang miskin. Mereka bersekolah penerbangan di Amerika Serikat, yang tentu biayanya tidak murah dan hidup senang-senang di negeri itu. Bahkan arsitek di balik itu jika benar tuduhannya, Usamah bin Ladin adalah anak orang kaya dari Saudi Arabia, yang mewarisi bisnis Kelompok Bin Ladin sebesar US$ 300 juta. Juga punya sejumlah bisnis di mancanegara.
Selain Usamah bin Ladin, dua ilmuwan dari Malaysia, Noor Din M. Top dan Dr Azhari, yang beroperasi menyebar teror di Indonesia, bukanlah orang miskin, juga bukan orang bodoh. Walaupun dalam prakteknya mereka mempekerjakan orang-orang tidak mampu, kemiskinan bukanlah satu-satunya motivasi orang menjadi teroris. Keluarga bisa menjadi tempat subur tumbuhnya teroris. Jika di dalam keluarga itu memang diajarkan atau orang tuanya membenarkan tindakan teror sebagai jalan kehidupan. Contoh konkret adalah Amrozi bersaudara. 
Jika para pelaku teror itu dijadikan teladan bagi keluarga, anak-anak mereka dari berbagai istri bukan tidak mungkin ada yang menjadi teroris. Lingkungan juga bisa membentuk dan menumbuhkan bibit teroris. Para teroris yang dianggap pahlawan di suatu daerah tertentu akan membuat "iri" orang di sekitarnya untuk melakukan hal yang sama.
Ideologi, atau seolah-olah ideologi, juga menjadi pabrik tumbuhnya teroris. Dalam beberapa kejadian di Indonesia, Pakistan, dan Afganistan, sekolah-sekolah atau perkumpulan-perkumpulan menjadi tempat cuci otak anak didiknya dengan dogma untuk melakukan teror sebagai jalan perjuangannya. Padahal dogma yang diajarkan itu bisa saja salah tafsir dari ajaran "asli" itu sendiri.
Kejahatan Amerika Serikat dan Barat juga menyumbang suburnya terorisme. Banyak orang Islam bahkan dari berbagai sekte menuding kelakuan negara-negara besar mempertahankan Israel dan mengesampingkan negara Palestina merdeka, penyebab tumbuhnya terorisme. Terorisme sebenarnya bukan hanya milik orang Islam, seperti yang terbentuk selama ini. Kelompok Tentara Revolusi Irlandia (IRA) di Irlandia Utara, Inggris, Basque di Spanyol, para mafia/kartel narkoba di Amerika Latin, serta banyak kelompok lain yang tak berkaitan dengan Islam menggunakan teror sebagai bentuk perjuangannya. Bahkan cara-cara Amerika Serikat di Irak, Afganistan, dan kini di Suriah, serta kebencian orang-orang Barat terhadap Islam, juga dituding sebagai terorisme yang dilakukan negara adikuasa dan besar.
Media Pusat Teroris
Peran media juga menyuburkan keberadaan teroris dan dapat menumbuhkan cita-cita seseorang ingin seperti itu. Menjadi teroris bisa seterkenal artis, selebritas, pengusaha, atau pejabat. Bahkan bisa lebih, kadang-kadang penggerebekannya diliput secara langsung di televisi. Sebuah penelitian terhadap jurnalis di Jakarta beberapa bulan lalu menemukan lebih dari 60 persen jurnalis Indonesia berpihak kepada kelompok garis keras. Tepatnya ruang redaksi telah disusupi jurnalis-jurnalis radikal yang anti-keberagaman dan pro-kekerasan.
Lalu bagaimana membunuh cita-cita seseorang menjadi teroris? Tentunya bisa dimulai dari mempelajari akar terjadinya terorisme pada suatu tempat. Tidak ada cara tunggal untuk memberantasnya. Antara lain, mempersempit ujaran kebencian (hate crimes). Sebab, ujaran kebencian, menurut Krueger, adalah sepupu dari terorisme. Kegiatan itu menyumbang sekelompok orang untuk melakukan kekerasan atas nama agama, ras, dan etnis. Negara harus bertindak tegas terhadap pengujar kebencian. Keterlibatan aparat negara dalam melindungi dan mendiamkan perbuatan sekelompok pengujar kebencian, tentu nantinya akibat itu, negara itu bakal memanen teror di masa mendatang.
Istri Presiden Bush, Laura, pada 2002 menyatakan, "Untuk menang melawan terorisme, tergantung pendidikan anak-anak di dunia. Sebab, anak-anak terdidik memudahkan untuk mengalahkan terorisme." Memang, pendidikan keberagaman nantinya bakal menumbuhkan generasi yang lebih cerdas dan berpikir luas. Agar berhasil, pendidikan anak harus diikuti juga dengan lingkungan yang mendukung pluralisme.
Nah, di ruang redaksi media harus steril dari orang-orang radikal yang anti-keberagaman dan pro terhadap tindakan kekerasan kelompok tertentu. Jika media massa sudah disusupi orang-orang yang pro terhadap kelompok pelaku kekerasan, tentu bukan tidak mungkin anak-anak yang mengkonsumsi media tersebut terus-menerus akan menganggap pelaku kejahatan atau teroris sebagai sebuah pilihan cita-cita. Seperti cita-cita anak rekan saya dulu. Naudzubillahi min dzalik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar