Rabu, 16 Januari 2013

Peradilan Telanjang Era Digital


Peradilan Telanjang Era Digital
Achmad Fauzi ;  Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel;
Penulis buku "Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro"
JAWA POS, 15 Januari 2013



"KETERBUKAAN peradilan membuat hakim diadili saat mengadili." Ungkapan filsuf Inggris Jeremy Bentham itu kian menemukan relevansi di zaman kini. Salah satu dampak terbesar pesatnya arus teknologi informasi bagi lembaga peradilan adalah terciptanya iklim keterbukaan. Publik dengan mudah mengontrol belantika supremasi hukum melalui pemberitaan media cetak, online, dan elektronik. Bahkan, di era digital ini kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik demikian gampang disaksikan secara langsung di televisi. 

Sidang kasus korupsi terdakwa Angelina Sondakh menjadi amsal bagaimana masyarakat luas bisa memantau dari jarak jauh jalannya sidang dan "menelanjangi" materi perkara yang diadili. Masyarakat tentu punya kepentingan untuk mengawal karena Angie memiliki kedudukan strategis dalam mengungkap dugaan korupsi di lingkungan Badan Anggaran (Banggar) DPR yang notabene menjadi hulu pembiakan korupsi. Angie tampak seperti simpul jaringan yang menjadi penghubung dari partai ke kementerian dan DPR.

Dengan demikian, asas persidangan terbuka untuk umum dalam tafsir masyarakat modern benar-benar membuat hakim "diadili" saat mengadili. Melalui kontrol media, hakim dituntut bersikap imparsial, mempertimbangkan dengan adil serta jujur dari celah kecurangan. Bila ada gelagat sebaliknya, publik akan teriak-teriak.

Siaran Langsung 

Konsep jurnalisme live streaming untuk kasus korupsi sejatinya penting dilakukan dalam semangat pemberantasan korupsi dan kasus lain yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Selain menyajikan edukasi hukum kepada masyarakat tentang bagaimana seharusnya keagungan hukum ditegakkan, prinsip transparansi dan akuntabilitas membuat aparat hukum semakin terbatas untuk melakukan penyimpangan. Karena itu, peran fundamental media sebagai agen transformasi sosial dan pilar demokrasi yang independen sangat dibutuhkan untuk mendobrak budaya ketertutupan dan mengawasi kepentingan jahat yang berupaya membajak kemurnian keadilan sebagai komoditas transaksional. 

Namun, terlepas dari dimensi positif itu, peradilan di era digital membawa persoalan baru. Pertama, jurnalisme live streaming tidak dilakukan secara totalitas oleh media, khususnya media elektronik. Pemberitaan kepada khalayak disajikan secara sepotong-sepotong sehingga tak memandu persepsi publik dalam menilai keutuhan suatu kasus. Kesimpulan pun bersifat parsial. Akibatnya, kebenaran fakta hukum di persidangan kerap berbenturan dengan persepsi publik yang dibentuk oleh media. Fenomena itu justru memperburuk citra lembaga peradilan ketika putusan hakim yang didasarkan fakta persidangan kontradiktif dengan opini publik yang dikonstruksikan media. Padahal, hakim mengadili dan memutus perkara bukan berdasar opini, apalagi pemberitaan yang menyesatkan. 

Silakan disimak respons masyarakat terhadap maraknya vonis bebas di pengadilan tipikor daerah. Meski sebagian vonis bebas terbukti mengandung unsur suap dan praktik tak terpuji lain, persoalan tersebut tak bisa digeneralisasi. Tidaklah haram bagi hakim menjatuhkan vonis bebas sepanjang diyakini perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur melanggar hukum. Faktor lemahnya dakwaan dan upaya penuntut umum meyakinkan hakim melalui kekuatan pembuktian menjadi pertimbangan dalam menaikkan status seseorang sebagai terpidana. Persepsi dari pemberitaan parsial itu tentu sangat berbahaya. Sebab, kriteria hakim adil dituntut menghukum berat setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Sebaliknya, vonis bebas memberi kesan bahwa hakim melukai rasa keadilan. 

Di sinilah otentisitas idealisme media dalam memberitakan kasus-kasus hukum patut diuji lagi sehingga tidak terjebak pada komersialisasi semata. Media adalah instrumen demokrasi yang bertugas mencerdaskan bangsa dengan sajian informasi yang utuh.

Kedua, siaran langsung sidang terkait erat dengan kualitas penerapan hukum pembuktian. Tentang posisi saksi dalam sidang pidana, misalnya, pada pasal 160 KUHAP disebutkan saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang. Tujuannya terdapat di pasal 167 KUHAP, yakni saksi tidak mendengar kesaksian saksi lain, berkomunikasi, atau berhubungan satu sama lain sebelum memberikan kesaksian di persidangan. Namun, persidangan di era digital melunturkan kerahasiaan kesaksian sehingga seorang saksi dengan mudah mendengar dan melihat keterangan saksi lain selama sidang melalui televisi. 

Ketiga, problem penegakan hukum di era digital terkait dengan tingkat kerahasiaan berita acara sidang sebagai dokumen penting yang tak boleh dibocorkan. Namun, kenyataannya berita acara demikian mudah diakses untuk konsumsi publik. Bahkan bisa direkayasa untuk dijadikan bukti tandingan demi memenangkan perkara di pengadilan. Supaya tidak kecolongan, MA telah melakukan upaya agar otentisitas dan kerahasiaan berita acara sidang yang dikerjakan secara konvensional tetap terjaga. 

Sebagai respons atas perkembangan dunia teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih, MA mengeluarkan Surat Edaran No 4 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan. Semua sidang perkara tipikor dan/atau perkara yang menarik perhatian publik diwajibkan direkam melalui media audiovisual, kewajiban untuk penyimpanan dan pengelolaan serta kewajiban memasukkannya ke dalam berkas upaya hukum. 

Mengamati kecenderungan motif upaya hukum belakangan ini, ketidakpuasan pencari keadilan bukan lagi semata mengarah ke faktor yudisial seperti penguasaan hakim terhadap hukum formil dan materiil serta kualitas putusan. Justru perilaku hakim yang disorot. Misalnya tidur atau menelepon saat sidang, melakukan perbuatan yang tidak relevan dengan persidangan, memberikan kesan suka atau tidak suka, serta mengeluarkan perkataan yang menimbulkan kesan memihak. Itulah pentingnya rekaman audiovisual sebagai instrumen pengawasan dan alat verifikasi jika ada pengaduan dari masyarakat yang terkait dengan perilaku hakim. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar