Sabtu, 12 Januari 2013

“Live In”, Lebih Dekat Rakyat


“Live In”, Lebih Dekat Rakyat
Abdul Fikri Faqih ; Ketua DPW PKS Jawa Tengah, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 12 Januari 2013



 UPAYA penguasa dan pejabat politik membangun citra secara berlebihan saat ini justru membuahkan hasil sebaliknya, yakni ketidakpercayaan (distrust) akut dari masyarakat. Begitu pun otak-atik elite negeri ini yang menjadikan semua momentum bermuatan politik malah mengakselerasi proses depolitisasi masif pada berbagai bidang. Karenanya, kini pengisian jabatan strategis mendasarkan syarat utama bukan kroni atau keluarga pejabat, dan bukan partisan partai politik.

Jabatan publik dan politik serta lembaganya sungguh bukan lagi alat untuk membangun citra positif. Sebaliknya, jabatan dan lembaga itu sudah dimaknai hanya demi meraup kekuasaan,  bahkan kekayaan, bagi individu dan kelompoknya. Lantas, bagaimana membangun demokrasi bila unsur-unsur utama itu sudah terpuruk ke titik nadir, yang menimpa pelaku demokrasi dan lembaganya? 

Ada alternatif atau cara yang layak diwujudkan, yakni hidup bersama masyarakat (live in) terkait dengan kegiatan partai/lembaga publik. Aktivitas itu tidak berlangsung di hotel mewah atau ruang ber-AC tapi berbaur bersama konstituen, tinggal serumah dengan mereka. Ini adalah referensi  bagi semua pihak guna memecah kebuntuan dan membuat terobosan untuk mengurangi laju dekonstruksi konsolidasi demokrasi.

Salah satu penyebab ketidakpercayaan masyarakat kepada elite politik adalah adanya jarak. Secara fisik, elite politik tinggal di pusat-pusat kekuasaan, bahkan anggota DPR/ DPRD  tinggal di kompleks eksklusif, jauh dari konstituen. Realitas itu menyebabkan para wakil rakyat tidak bisa merasakan dan menghayati keluhan masyarakat.

Tinggal bersama dengan masyarakat bisa menjadi mediasi untuk lebih mendekatkan masyarakat dengan para wakil mereka. Bagi masyarakat, pola itu adalah kehormatan karena mereka mendapat tamu penting, yang mereka anggap lebih tinggi kedudukannya, guna  bersambung rasa. Politikus atau pejabat publik pun bisa langsung melihat dan merasakan persoalan sehari-hari rakyat sehingga tahu kebutuhan riil mereka.

Lewat konsep live in, ketersumbatan informasi dari atas ke bawah, atau derita rakyat yang terpendam bisa mendapat saluran yang memadai. Banyak program pemerintah yang mestinya bisa diakses oleh semua warga tanpa terkecuali dan bermanfaat untuk membangun bangsa, akan terinformasikan dengan baik. Banyak pula program partai yang bisa mengawal dan mengadvokasi masyarakat sehingga keluar dari problematika akan tersampaikan dengan tanpa kendala.

Segi Tiga Praktis

Kanalisasi informasi dua arah akan berjalan lancar bila elite dan politikus itu tinggal satu kampung, bahkan serumah dengan rakyat. Layaknya keluarga sendiri, tentu tak perlu menyimpan rahasia, semua merasa perlu saling terbuka. Bahkan merasa senasib sepenanggungan sebagai anak bangsa, kendati memiliki tugas dan kewenangan berbeda, untuk bersama-sama membangun bangsa dan menyejahterakan semua warga.

Tak ada lagi program pemerintah yang hanya kumpulan keinginan, atau menjejalkan kumpulan teori kepada rakyat yang kadang tidak membutuhkan. Semua akan terhubung, tersambung, terkomunikasikan. Problematika dan derita masyarakat tidak direspons hanya dengan program propaganda atau kampanye yang membosankan oleh lembaga politik.

Solusi jitu akan muncul dari model kegiatan yang live in ini. Apalagi bila sinergi kegiatan itu menghadirkan semua unsur pengambil kebijakan: masyarakat, politikus, dan pemerintah maka akan memotong alur panjang birokrasi yang berbelit-belit. Keluhan masyarakat disampaikan, dikawal, dan diperjuangkan oleh politikus dengan lembaga legislatifnya yang kemudian diakseskan ke program pemerintah.

Contoh, pada musim tanam saat ini petani kesulitan memiliki alat pertanian yang memadai guna membajak sawah. Bila di tempat itu ada anggota DPR/ DPRD yang melihat dan mendengar keluhan itu, tentu ia membawa aspirasi petani sebagai sandingan musrenbang. Andai di lokasi juga ada pejabat pemerintah yang berkompeten, semisal dari Dinas Pertanian, atau bahkan Kementerian Pertanian maka langsung di tempat itu bisa dibuat komitmen agar kendala tersebut dimasukkan program tahun mendatang.

Bila ternyata sudah ada program tahun berjalan, termasuk alokasi anggarannya tapi penempatannya belum tertera maka langsung bisa diproses untuk mengakses digit anggaran itu. Konkretnya, dalam waktu relatif singkat petani bisa mendapat bantuan traktor tangan, dan itu berarti digit serta alokasi anggaran pemerintah disalurkan sesuai dengan yang membutuhkan.

Penerapan segi tiga praktis pengambilan kebijakan itu pada semua sektor, niscaya akan membangun rasa saling percaya lantaran masyarakat merasakan langsung manfaatnya. Semoga penerapan konsep ini lewat Muskerwil DPW PKS Jateng di Kajen Kabupaten Pekalongan pada 12-13 Januari 2013 bisa memberi sumbangsih dalam penyelenggaraan  pembangunan yang lebih bermanfaat dan tepat sasaran, serta bagi konsolidasi demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar