Memaknai Angka
Perilaku Antikorupsi
Jousairi Hasbullah ; Penanggung
Jawab Teknis SPAK 2012
|
KOMPAS,
12 Januari 2013
Akar korupsi itu ada di masyarakat.
Perilaku permisif atau antikorupsi di berbagai lembaga—eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan di sektor publik lainnya—adalah tunas yang tumbuh dari akar
tersebut.
Jika akarnya antikorupsi, kalaupun korupsi
terjadi di jajaran birokrasi akan lebih mudah diberantas. Sebaliknya, jika
akarnya memang permisif terhadap korupsi, upaya pemberantasan yang dilakukan
akan berhadapan dengan tembok perlawanan yang kuat.
Kompas (3/1/2013) menyajikan berita terkait
indeks perilaku antikorupsi di masyarakat Indonesia yang baru saja diumumkan
Badan Pusat Statistik (BPS). Ternyata, masyarakat Indonesia telah
antikorupsi. Benarkah? Bagaimana spektrum pemaknaan yang lebih pas dari
angka-angka yang dihasilkan tersebut?
Survei Perilaku Antikorupsi (SPAK) 2012
yang dilakukan BPS dan Bappenas pada Oktober lalu memberikan potret
kecenderungan korupsi di masyarakat, mulai dari level rumah tangga,
komunitas, hingga publik secara luas. Survei jenis ini adalah yang pertama
dilakukan di dunia.
Transparency International membatasi pada
dimensi persepsi korupsi di sektor publik, yang merupakan indeks komposit
yang dikumpulkan dari beberapa lembaga survei. Survei PBB melalui United
Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) di negara-negara Balkan membatasi
cakupannya pada aspek persepsi masyarakat terkait korupsi di lembaga-lembaga
layanan publik. SPAK 2012 memberi informasi yang lebih komprehensif terkait
pendapat dan pengalaman yang merefleksikan perilaku korupsi di masyarakat.
Menerjemahkan Angka
SPAK 2012 menghasilkan indeks perilaku
antikorupsi (IPAK) sebesar 3,55 dari skala 5. Angka ini di atas angka
perkiraan pemerintah, yaitu 3,25 dari skala 5 di kurun 2012-2014. Artinya,
masyarakat Indonesia lebih anti- korupsi dari yang diduga.
Pernyataan ini benar. Namun, menerjemahkan
angka IPAK 3,55 tersebut perlu lebih hati-hati. Meski skala yang dibangun
dari 0 sampai 5 (0 sangat permisif terhadap korupsi, 5 sangat anti- korupsi:
zero tolerance, toleransi nol), batasan antara permisif terhadap korupsi dan
antikorupsi adalah pada angka 2,50. Nilai indeks di atas angka itu cenderung
antikorupsi, dan di bawahnya cenderung permisif terhadap korupsi.
Rentang jarak, indeks komposit 3,55, antara
nilai batas (2,5) dengan nilai toleransi nol terhadap korupsi (5,0) lebih
dekat ke nilai batas. Artinya, upaya untuk mencapai toleransi nol masih lebih
panjang dibandingkan dengan jarak ke kemungkinan masyarakat turun ke tingkat
yang permisif terhadap korupsi.
Dari sisi indikator tunggal, SPAK 2012
menemukan bahwa 69 persen masyarakat menyatakan para istri seharusnya
mempertanyakan pemberian uang di luar penghasilan resmi yang diberikan suami.
Namun, yang menarik, masih ada 31 persen masyarakat Indonesia yang memandang
bahwa sang istri tidak perlu mempertanyakan asal-usul uang yang diberikan
suami.
Sekitar 27 persen masyarakat menganggap kendaraan
dinas identik dengan kendaraan pribadi yang dapat digunakan untuk keperluan
keluarga. Masih ada sekitar 20 persen masyarakat yang mengharapkan uang
pemberian dari para calon kepala daerah di pilkada. Memberikan antaran barang
dan uang kepada tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh formal in situ (di
lingkungan komunitas) sebagai penghormatan saat menjelang hari raya atau
hajatan/kenduri sebagai hal biasa. Transfer aliran kekayaan dari lapisan
masyarakat bawah ke lapisan di atasnya justru masih menjadi kebiasaan lebih
dari 60 persen masyarakat Indonesia.
Pada domain publik, meski tindakan
nepotisme ditentang 53 persen masyarakat, 47 persen masyarakat menganggap
wajar bagi seseorang yang bekerja di pemerintahan atau swasta untuk
memasukkan kerabatnya bekerja tanpa harus melalui proses seleksi. Bahkan,
32-45 persen masyarakat masih memandang wajar memberi uang lebih dalam
pengurusan SIM dan STNK, memberi uang damai kepada polisi agar tidak
ditilang, dan memberi uang kepada guru saat kenaikan kelas.
Refleksi Nilai Budaya
Masyarakat yang menganggap wajar istri
tidak mempertanyakan uang ”tidak resmi” dari suami adalah refleksi dari nilai
budaya yang memandang penghasilan tambahan dari kerja ”kantoran” sebagai
rezeki. Rezeki tersebut tidak identik dengan uang hasil mencuri, tetapi lebih
mirip ke rezeki pedagang yang memperoleh keuntungan dari usahanya.
Penggunaan kendaraan dinas untuk
kepentingan keluarga adalah perwujudan dari budaya feodal bahwa kekuasaan
identik dengan keistimewaan bagi diri dan keluarga. Kebiasaan yang di ”bawah”
harus memberi yang di ”atas” mengukuhkan pemahaman kita tentang masih bertahannya budaya upeti. Menerima
suap pilkada merupakan refleksi dari mentalitas serakah (greedy behavior)
untuk memperoleh uang tanpa memedulikan standar etik dan moral.
Nilai-nilai budaya yang permisif terhadap
perilaku korupsi masih bertahan di masyarakat. Dalam konteks ini, menarik
membaca tulisan dari Gjalt de Graff dalam jurnal Paq Spring 2007 yang
menjelaskan tentang teori Clashing
Moral Values: ”the causal chain
start with certain values and norms of society, which directly influence the
values and norms of individual and the behavior of officials, making them
corrupt.”
Intinya, masyarakat yang memiliki mental
korup akan memengaruhi institusi pemerintahan untuk berbuat korup. Lebih
rumit lagi, kata Graff, jika mentalitas korup ini memasuki institusi yang
tidak memiliki nilai- nilai budaya integritas, resistensi terhadap upaya
pemberantasan korupsi akan sangat kuat. Dan, hasil SPAK 2012 dapat menjadi
pijakan penting bagi upaya membangun strategi pemberantasan korupsi yang
lebih komprehensif dan melibatkan semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar