Di Bengkel Itu
Ada Ayat Allah
Ahmad Syafii Maarif ; Pendiri
Maarif Institute
|
KOMPAS,
12 Januari 2013
Jika orang punya mata batin yang tajam dan
rindu menemukan ayat-ayat Allah, yang tersebar di mana-mana, tak usahlah
menguasai teori Big Bang (Ledakan
Dahsyat). Atau harus paham karya fisikawan invalid Inggris, Stephen Hawking—A Brief History of Time—yang belum
tentu mudah dicerna.
Ayat Allah dapat dijumpai pada peristiwa
atau fenomena alam atau sosial yang sifatnya sangat sederhana. Bisa diamati
pada air serasah yang terjun, pada semut yang beriring, pada lebah yang
bergantungan, pada bunyi siamang ketika subuh, atau pada kicau murai di pagi
hari. Juga pada dengungan kipasan sayap enggang saat terbang tinggi, pada
percakapan seorang bocah dengan orangtuanya, serta pada sikap Pak Bengkel
yang lugu, tulus, dan murah hati.
Kepatuhan Alami
Demikianlah di hari Natal lalu, 25 Desember
2012, menjelang dzuhur saya bersepeda di kitaran Desa Trihanggo, Sleman,
Yogyakarta, untuk mencari onderdil komponen rantai sepeda yang harus segera
diganti. Jika tuan dan puan melewati jalan Kabupaten Sleman dari Jalan Godean
mengarah ke utara, dalam jarak sekitar 2 kilometer akan dijumpai pohon
beringin besar, persis di persimpangan empat jalan. Melaju ke arah timur pada
jarak sekitar 1 kilometer di kanan jalan sebelum jembatan, ada bengkel sepeda
yang laris dikunjungi langganannya. Di bengkel inilah saya memerhatikan ayat
Allah dalam dua fenomena sederhana yang saling berkaitan. Keterkaitan itu
tampak terjalin akrab sekali.
Ada seorang ayah bersama anak perempuannya
yang masih belajar di taman kanak-kanak milik A’isyiyah sedang mengganti
pedal sepeda bocah ini yang tak lagi bisa dipakai. Warna pedal itu dipilih
yang merah jambu agar serasi dengan warna sepedanya. Saya perhatikan
baik-baik tingkah bocah alit itu, tampaknya bahagia sekali karena pedal
sepedanya diganti dengan yang baru. Sebuah kebahagiaan yang sangat tulus dari
sebuah keluarga kebanyakan.
Tiba-tiba penjaja es krim lewat. Si bocah
minta kepada ayahnya agar dibelikan es kesukaannya itu. Ayahnya, dalam bahasa
Jawa, dengan lembut menjawab, ”Marahi
watuk (bisa menyebabkan batuk).”
Si bocah sama sekali tidak berontak agar
ayahnya memenuhi juga permintaannya. Tak ada rengut, tak ada gerutu. Malah
bocah ini senyum-senyum sambil dengan lincah mengitari ayahnya. Bukankah
sebenarnya seorang bocah sulit sekali dipisahkan dengan es krim?
Dalam batin saya menduga bahwa suasana
rumah tangga keluarga bocah ini tenteram sekali. Ayat Allah terlihat pada
sikap ayah yang lembut terhadap anak dan sikap anak yang patuh kepada
orangtua: sebuah kepatuhan alami hasil didikan dini yang teratur dan santun.
Tidak mudah ditemukan di kawasan modern
buah didikan anak semacam ini. Kegirangan bocah ini kian memuncak ketika
ayahnya melengkapi sepedanya dengan sebuah bel yang dipasang pada bagian
kanan setang. Untuk keseluruhan ongkos plus onderdil, Pak Bengkel cuma
meminta Rp 25.000, sebuah angka kacang goreng di kawasan kota.
Sikap Pak Bengkel yang satu ini tak kurang
memukau untuk dicatat. Semua serba murah. Ada lagi seorang laki-laki setengah
baya (rupanya kenal dengan saya) menambalkan ban sepeda motornya yang bocor.
Setelah rampung, Pak Bengkel saya tanya berapa ongkosnya. Dijawab, antara Rp
5.000 dan Rp 6.000, padahal pengerjaannya cukup lama karena karet penambal
ban harus dipanaskan lebih dulu.
Sekarang tibalah giliran sepeda saya ganti
onderdil. Kebetulan barang yang diperlukan tersedia. Ada dua yang boleh
diganti. Pak Bengkel bertanya, apakah diganti satu atau dua sekaligus? Jawab
saya: mana yang baiklah. Lalu diperiksa: cukup satu saja, katanya. Tak
terbetik pada pikiran Pak Bengkel untuk melariskan barang dagangannya, toh,
saya tidak akan bertanya jika keduanya diganti.
Setelah rampung, ongkos plus harga onderdil
yang diminta hanya Rp 5.000. Saya terkejut, mengapa terlalu murah, di mana
ongkos teknisi dan keringat? Tentu secara moral saya tidak boleh hanya
memberi ongkos hanya sejumlah yang diminta.
Di Luar Pola Umum
Sebagai bengkel yang laris, saya tanya
mengapa tidak sekalian jualan bensin. Jawab Pak Bengkel polos: agar berbagi
rezeki dengan tetangga yang punya kedai bensin, sekalipun banyak orang
menanyakan BBM itu kepadanya.
Pada sikap Pak Bengkel ini jelas sekali
terbaca ayat Allah: rezeki teman jangan direbut, sekalipun peluang untuk
menambah pendapatan terbuka lebar. Kearifan Pak Bengkel ini adalah
penyimpangan dari pola umum yang sedang berlaku di Indonesia: saling
menelikung, saling gasak, dan jika perlu saling menghancurkan demi berebut
rezeki.
Perkara haram atau halal sudah berada di
luar pertimbangan. Kultur Pak Bengkel yang masih bebas dari pencemaran ini
mungkin merupakan sisa-sisa sifat asli Indonesia yang belum tergerus oleh
ganasnya sisi buruk proses modernisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar