Jumat, 04 Januari 2013

Kultur yang Sakit


Kultur yang Sakit
Mudji Sutrisno ; Guru Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia, Budayawan 
SINDO,  04 Januari 2013


  
Kultur adalah hidup sehari-hari dalam perilaku dan sikapnya menghadapi kenyataan, yang ingin diberi makna. Kultur adalah pula ranah menghayati hidup dengan mengacukannya pada yang suci, yang benar, yang baik dan yang indah lalu menjadikannya laku tindakan nyata. 

Kultur yang sehat merupakan acuan pelaku dalam sosialitas atau komunitas untuk secara pribadi memberi makna pada hidupnya dan mencari acuan nilainya untuk penghayatan hidupnya dalam temu bersama, srawung bersama agar saling hormat akan harkat dan keunikan perbedaan ditenun menjadi rumah bersama yang damai sejahtera. Maka kultur yang sehat secara sosial adalah ranah di mana pribadi dan komunitasnya menapaki acuan sejahtera sebagai nilai bersama dimana tidak seorangpun boleh dikucilkan atas nama beda suku, beda religi, beda ras dalam berbangsa yang berharkat di sebuah perjuangan terus-menerus untuk merajut keadaban.

Apa itu keadaban? Adalah penghayatan laku kultur untuk menghormati martabat setiap manusia tanpa kecuali atas dasar harganya, nilainya sebagai manusia, titik! Dalam merenda, merajut, menenun hidup bersama itulah kultur yang sehat menjadi “oksigen” bagi napas anggotaanggota komunitas yang dengan keadaban terus memperjuangkan bahasa-bahasa akrab secara ekonomis adalah pemerataan, secara politis adalah kesetaraan hak dan kewajiban warga negara, bahasa keadaban secara sosial kultural adalah sejahtera, secara hukum adalah keadilan.

Perjalanan menjadi Indonesia adalah perjalanan bersama dari kemajemukan suku, religi, ras untuk konsensus menjadi bangsa yang berkeadaban tanpa diskriminasi lalu sepakat 1908, 1928, 1945 menegara Republik Indonesia dengan format tata bernegara yang paling “mewadahi” keragaman identitas-identitas subkultur, religi itu dalam sistem politik demokrasi di mana daulat rakyat yang majemuk dengan kesamaan hak di depan hukum menjadi esensinya.

Maka dalam keragaman identitas kultural itulah lalu disepakati kepastian wasit aturan main konstitusional dalam negara hukum.Perbedaan yang saling menghormati dan damai relasinya dalam keragaman bila menjadi anarkistis dan menghancurkan harkat sesama warga negara akan berhadapan dengan hukum yang adil untuk menjaga keadaban dan menghukum kebiadaban. Kultur yang sehat akan memberi ruang tiap warganya untuk secara pribadi dan bersama dalam saling hormat untuk mengembangkan kemampuan kognitifnya (dalam ilmu dan pengetahuan), kemampuan rasa dalam estetika, kemampuan refleksi asal usul hidup dan maknanya dalam yang suci sebagai kemampuan religius serta kemampuan menimbang tindakan baik dan buruk dalam etika. 

Dengan kata lain praksis kehidupan yang dihayati dalam kemampuan-kemampuan di atas oleh pribadi dan dalam kebersamaannya di ranah makna dan acuan nilai (baca: apa yang benar, apa yang suci, apa yang baik,dan apa yang indah dalam kehidupan) dikatakan pula sebagai kebudayaan sebagai kemampuan-kemampuan cipta dalam budi, rasa dalam kedalaman hati, nurani serta cipta dalam kehendaknya. Jalan kultur(al) adalah jalan merancang, membuat nyata sistem hidup bersama dalam politik, ekonomi, sosial dengan sudut refleksi, sudut pandang atau dimensi kebudayaannya bertujuan peradaban dan bukan ketidakadaban! 

Meletakkan realitas hidup bersama kita saat ini dalam bingkai cermin jalannya kultur kita, ditemukan kondisi sakitnya kultur kita. Fenomena-fenomena kultur sakit itu adalah sebagai berikut. Pertama, dilupakannya habitat hidup bangsa ini dari budaya tanah dan air.Mengapa? Lihatlah, sungai-sungai kita, abad kedelapan lalu berbanding dengan bangsa Asia Tenggara lain, sungai-sungai kita masih menjadi urat nadi perjalanan dan sumber-sumber bangsa tani. 

Lihatlah pula wajah laut atau bahari kita sekarang, kekayaan alam laut dicuri tetangga dan nasib nelayan-nelayan kita serta pesisir dan pelabuhan-pelabuhan bahari kita mengalami kemunduran. Yang paling menyedihkan adalah ketika tanah subur sawah, hutan, kebun di bawahnya ditemukan aneka tambang-tambang berharga mineralmineral dan minyak bumi lalu “dihancurkanlah” tanahtanah itu dan direbutlah dari para petani dan perkebunan sehingga hutan bopeng-bopeng, tanah-tanah hancur, dan kini air tanah disedot habis oleh perkebunan kelapa sawit. 

Budaya air, tidak hanya dilupakannya budaya sungai, tetapi juga “kejayaan laut” semasa Sriwijaya serta pulau-pulau rempah Banda, Maluku yang sampai salah satu pulaunya ditukar oleh Kolonial Inggris dan Belanda dengan Manhattan kini menjadi pulau yang saling memisah karena pola pikir salah tentang lautan. Yang benar ialah di wilayah lautanlah kita hidup lalu pulau-pulau menjadi situs-situs, tempat-tempat hidupnya dan yang keliru adalah pikiran kita hidup di pulau-pulau dipisahkan oleh lautan. 

Karena itulah kultur sakit ini membuat seorang Pramoedya menulis novelnya Arus Balik (1980-an) untuk menunjukkan betapa selama ini kita itu berpikir dan bermentalitas melulu “daratan” dan bukan lautan! Konsekuensinya dalam ekonomia berpikir dan mentalitas daratan itulah jalan-jalan darat dikembangkan mengikuti Daendels Anyer-Panarukan dan kita teruskan pembangunan jalan-jalan darat dengan toltol untuk para pedagang mobil dan kini pedagang-pedagang motor. Kedua, ketika perjalanan kultur bangsa ini dikonstruksi dan harus melalui bahasa sebagai komunikasi warganya, tengoklah indikasi saling tidak percaya dan keras cemoohnya antarkita dalam berbahasa. 

Belum jelas apakah pejabat digeser atau diganti dalam sebuah partai politik, tetapi demi keriuhan yang teriak keras dan menyengat dipakailah kata-kata pecat-memecat, copot-mencopot antarkita yang berakal budi, berpendidikan. Belum lagi wacana saling menghancurkan melalui kekerasan kata-kata yang Anda semua bisa temukan di demodemo, di internet, dunia maya. Lebih halus tetapi tidak mencerdaskan; fenomena, gosip, kasak-kusuk bahkan menjadi judul rubrik-rubriknya. 

Namun kultur sakit dalam berbahasa yang sudah diajarkan menancap ke kesadaran dan bawah sadar sejak represi rezim lalu membuat bahasa memperhalus eufemisme untuk tidak jujur antarkita terus menjadi tradisi memakai bahasa yang tidak jujur dalam berbahasa. Kultur sakit dalam ungkapan berbahasa merupakan abainya edukasi kesantunan dalam salam-menyalam antara saudara-i sebangsa yang ranah budayanya ada diedukasi berbahasa santun di keluarga, sekolah-sekolah melalui metode dan praksis laku bahasa dengan hati, dengan rasa sastra dan rasa seni.

Bila porsi kognisi dan hafalan terlalu banyak, hati dan rasa berbahasa halus dan sopan jadi terjepit. Apalagi bila lingkungan hidup berbahasanya anak-anak dan remaja sudah penuh dengan kosakata kebun binatang sebagai ungkapan sehari-hari serta budaya latah yang enak saja tiap kali berucap monyong lu, monyet ludan seterusnya. Ketiga, sakitnya kultur kita terungkap dalam pengerdilan nilai harkat kemanusiaan saudara-i kita hanya dihargai sebagai “modal” (baca: kemampuan- kemampuan kultural disebut modal kultural; modal adalah bahasa ekonomi kapital); sesama direduksi harkatnya dengan kalkulasi untung dan rugi, uang serta rasionalitas (jalan pikiran) memperalat (instrumentalis) untuk mencapai tujuan kita. 

Di sebuah perguruan di Jakarta yang seharusnya menjadi acuan etis, teologis, filosofis martabat manusia,terjadi karyawan yang sudah bertahun-tahun memberikan pikiran dan kerjanya “diberhentikan” tanpa keberanian untuk resmi memberi tahu dan mengajaknya bicara serta menghargai jasa-jasanya. Mengapa? Karena ia diperlakukan oleh kultur sakit “habis manis sepah dibuang” dan oleh kelicikan menggeser seseorang yang “memukul”, tetapi meminjam tangan orang lain. Mentalitas jongos yang nabok nyilih tangan dari “emprit” mengaku “garuda”. 

Reduksi ekonomisasi karena menangnya kapitalisme inilah yang membuat uang, nafsu berkuasa serta menundukkan orang lain demi panggung egonya sendiri yang kerap dirasionalisasi dengan nilainilai luhur, spiritualisasi (baca: merohanikan alasan dengan dalih suci padahal busuk karena kelompoknya yang akan dimenangkan atau merekamereka yang satu kubu). Keempat, yang merupakan akarnya akar dari kultur yang sakit adalah distrust atau saling tidak sudi, tidak mau, dan tidak memercayai sesama saudara sebangsa karena dilukai kecewa lantaran tidak diwujudkannya janji-janji semasa pemilu baik nasional atau lokal. 

Saling tidak percaya ini juga disebabkan kondisi nyata sosial-ekonomi di mana yang berakses kemakmuran dan kuasa semakin kaya, sedangkan rakyat jelata semakin menderita. Contoh mutakhir soal gaji menusuk rasa adil kita manakala pegawai Bank Indonesia dinaikkan gaji-gajinya dengan enaknya, sementara THR, taraf hidup minimal sebagai buruhburuh gajinya kalau mau ditambah harus demo, unjuk rasa, dan dengan perjuangan korban waktu, tenaga. Pula untuk guru dan pegawai rendahan serta masalah outsourcing. 

Belum lagi paradoks pergi kunjungan kerja studi DPR ke luar negeri dengan biaya-biaya mahal dari uang rakyat dibandingkan dengan kasus-kasus bunuh diri ibu dan anak-anaknya, pengemis mati kelaparan dan makan nasi akingnya mereka yang susah nafkah! Distrust paling menggenang dan terawat subur manakala tragedi-tragedi kelam kemanusiaan bangsa ini hanya wacana dan janji tanpa realisasi santunan dan rekonsiliasi untuk kejahatan kemanusiaan. 

Kultur sehat membuahkan bangsa sehat, sedangkan kultur sakit butuh bedah kanker sakitnya agar menjadi sehat kembali bila perlu diamputasi bagian yang paling parah, yaitu korupsi wajah tidak jujur kita. Semoga!
 ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar