Jumat, 04 Januari 2013

Ancaman Defisit Lahan Pangan


Ancaman Defisit Lahan Pangan
Toto Subandriyo ; Peminat Masalah Sosial-Ekonomi,
Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed
SINDO,  04 Januari 2013

  

Dipandang dari segi sosial, ekonomi, kultural, dan lingkungan, sawah bukan hanya merupakan basis produksi terpenting bagi penyediaan pangan.

Lebih dari itu sawah memiliki fungsi sebagai pengendali ancaman sosial ekonomi, banjir dan erosi, serta kemungkinan terjadinya bencana karena menurunnya daya dukung lahan. Celakanya, saat ini kita dihadapkan pada kenyataan masifnya konversi lahan sawah, baik legal maupun ilegal. Sebuah sumber menyebutkan bahwa setiap tahun terjadi konversi lahan sawah seluas 110.000 hektare. Ditinjau dari ketahanan pangan nasional, pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting bagi petani. 

Masifnya konversi lahan sawah akan berdampak secara permanen terhadap penurunan produksi pangan nasional. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat hingga 2004 telah diajukan permohonan alih fungsi lahan sawah seluas 3,099 jutahektare. Jika dihitung menggunakan data rata-rata produksi beras nasional saat ini sebesar 5,12 ton/hektare gabah kering giling (GKG), indeks panen dua kali per tahun,maka potensi produksi padi yang hilang tidak kurang dari 15,87 juta ton GKG per tahun. Masifnya konversi lahan sawah ini merupakan ancaman serius bagi penyediaan pangan penduduk. 

Kementerian Pertanian memperkirakan tahun 2015 nanti Indonesia akan mengalami defisit lahan pangan seluas 730.000 hektare. Perhitungan matematika sederhana menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun tersebut sebanyak 255 juta jiwa.Jika diasumsikan konsumsi beras masih tetap seperti sekarang sebesar 135 kilogram/kapita/tahun, dibutuhkan beras sebanyak 38,49 juta ton. Untuk memproduksi beras sebesar itu dibutuhkan lahan sawah tidak kurang dari 13,38 juta hektare. Saat ini lahan sawah yang tersedia hanya sekitar 13,20 juta hektare. 

Defisit lahan pangan tersebut diperkirakan akan semakin luas jika pemerintah tidak melakukan langkah antisipasi yang memadai. Pada 2020, defisit akan mencapai 2,21 juta hektare, tahun 2025 seluas 3,75 juta hektare, tahun 2030 meningkat lagi menjadi 5,38 juta hektare. Jika dikonversi mengacu pada data produktivitas rata-rata padi nasional saat ini, defisit lahan pangan seluas 5,38 juta hektare tersebut setara dengan 15,49 juta ton beras. 

“Berasisasi” 

Tingginya defisit beras tersebut juga diakibatkan oleh tingginya pertumbuhan jumlah penduduk.Beberapa pakar sosial ekonomi telah mengingatkan tentang bahaya dari ledakan jumlah penduduk bagi peradaban manusia. Dr Norman Bourlag yang dijuluki Bapak Revolusi Hijau pernah mengingatkan bahwa pertumbuhan penduduk dewasa ini ibarat seekor makhluk dengan banyak tentakel yang menjulur dan mencoba menekan standar kehidupan manusia. Kalau masalah ini tidak teratasi, pemerintah akan tumbang, perselisihan dalam masyarakat akan berkembang menjadi revolusi.

Angka fertilitas nasional saat ini mencapai 2,6 dan pertumbuhan penduduk 1,3%/ tahun.Agar pertumbuhan penduduk seimbang perlu dilakukan revitalisasi program Keluarga Berencana (KB) sehingga angka pertumbuhan penduduk dapat ditekan kurang dari 0,5%/tahun. Untuk itu angka fertilitas harus diturunkan menjadi 2,0.Angka fertilitas ideal tercapai jika peserta KB mencakup 72% dari total pasangan usia subur. 

Defisit beras yang sangat besar itu secara tidak langsung juga disebabkan kesalahan kebijakan pemerintah di bidang pangan. Sekitar tiga puluh tahun lalu, guru besar teknologi pangan Institut Pertanian Bogor, Profesor FG Winarno, mengkritik keras kebijakan “berasisasi”yang ditempuh pemerintah Orde Baru. Kebijakan itu disebutnya sebagai sebuah kesalahan fatal karena menggusur kearifan pangan lokal dan menjadi bumerang bagi pemerintah di kemudian hari. 

Dulu, semua siswa sekolah dasar menjawab tepat saat ditanya makanan pokok penduduk beberapa daerah di Tanah Air.Mereka menjawab “jagung” saat ditanya makanan pokok masyarakat Madura, menjawab “sagu” saat ditanya makanan pokok masyarakat Papua, dan menjawab “singkong” saat ditanya makanan pokok masyarakat Wonogiri. Kini, kebijakan “berasisasi” telah memberangus kearifan pangan lokal tersebut. 

Sehari Tanpa Nasi 

Pemerintah harus menempuh berbagai upaya serius agar beras tidak selalu menyandera kehidupan bangsa.Upaya pertamayang harus ditempuh adalah menggenjot peningkatan produksi. Selama ini sistem produksi pangan Indonesia menganut pola peasent-based and family-based food production yang berbasis pada jutaan petani kecil dengan luas lahan yang sangat kecil. 

Nasib pangan bangsa ditumpukan pada sistem produksi pertanian tradisional dengan pelaku petani kecil. Sistem ini diyakini tidak akan mampu menjawab tantangan kebutuhan pangan yang meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas di tengah situasi pangan dunia yang tidak menentu. Oleh karena itu pemerintah harus memadukan sistem ini dengan sistem produksi pangan berbasis korporasi dan food estate. Kedua, menekan kehilangan hasil pascapanen. Saat ini angka kehilangan hasil gabah/beras nasional di atas 10%.

Bila angka itu bisa ditekan menjadi 6% melalui mekanisasi, akan dapat diselamatkan tidak kurang dari 2 juta ton beras per tahun. Ketiga, mengurangi konsumsi beras melalui program diversifikasi pangan. Angka konsumsi beras masyarakat kita saat ini tertinggi di dunia, yaitu 135 kilogram/kapita/tahun. Jika angka tersebut dapat diturunkan menjadi 100 kilogram/kapita/tahun, kita dapat menghemat jutaan ton beras. Jika kondisi itu bisa diwujudkan, bukan mustahil negara kita menjadi eksportir beras kenamaan di dunia. 

Namun satu hal yang perlu diingat, upaya diversifikasi pangan ini harus menghindari beralihnya konsumsi beras ke terigu. Jika hal ini yang terjadi, permasalahan baru yang lebih pelik akan muncul. Tanaman gandum yang menghasilkan terigu adalah tanaman subtropis yang sulit dibudidayakan di Indonesia sehingga ketergantungan impor terigu makin besar. Program diversifikasi pangan tidak dapat berjalan cepat dan berkesinambungan jika tidak berbasis pada tepung-tepungan (flour based food). Untuk itu agar program diversifikasi pangan berlangsung cepat, pemerintah harus menggalakkan konsumsi umbi-umbian. Gerakan “sehari tanpa nasi” (one day no rice) harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. 

Negeri ini sangat kaya varian bahan pangan sumber karbohidrat. Produksi umbi-umbian seperti ketela pohon, ketela rambat,ubi,dan kentang harus digalakkan untuk kemudian diolah dan dipasarkan dalam bentuk tepung. Saat ini komoditas yang telah banyak diusahakan adalah ketela pohon dalam bentuk modified cassava flour (mocaf) untuk substitusi terigu dalam pembuatan mi dan roti.
 ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar