Senin, 21 Januari 2013

Banjir Jakarta, Kealpaan Manusia


Banjir Jakarta, Kealpaan Manusia
Martina Susanti ;  Pemerhati Masalah Lingkungan Hidup, Tinggal di Yogyakarta
SUARA KARYA, 21 Januari 2013


Banjir besar siklus lima tahunan kembali melanda kawasan Jakarta. Banyak orang menyalahkan bahwa penyebab (biang) dari bencana kali ini adalah akibat curah hujan tinggi di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya. Nah, kalau saja hujan terjadi bersamaan di Bogor dan Jakarta, bisa kita bayangkan dampak lebih buruk yang harus dihadapi masyarakat Jakarta. Kita pernah mengalami keadaan buruk itu bulan 2002 dan 2007 lampau. Dalam siklus banjir lima tahunan itu bahkan pelataran Istana Merdeka sempat tergenang pula.
Bencana alam seperti banjir, memang tidak pernah diundang. Namun, perilaku manusia yang tidak akrab dengan lingkungannya merupakan undangan tidak langsung hingga banjir datang. Demikian pula dengan bencana banjir yang melanda Kota Jakarta. Ini tidak pernah lepas dari ulah manusia yang seenak perut sendiri memperlakukan alam lingkungannya. Eksploitasi semena-mena terhadap alam, mengakibatkan alam "memberontak" atas perilaku yang diterimanya.
Jadi, pada dasarnya, banjir merupakan ekspresi demontrasi alam terhadap sesuatu yang kurang wajar mengenai dirinya. Banjir membawa pesan bahwa ada sesuatu yang perlu dibenahi dengan lingkungan di mana bencana itu terjadi. Bencana banjir sebenarnya merupakan akibat dari rusaknya lingkungan atau merupakan salah satu indikator tidak serasinya ekosistem di suatu daerah aliran sungai (DAS). Dengan kata lain, keseimbangan ekologis suatu DAS atau sub-DAS telah terganggu.
Sebuah DAS pada dasarnya adalah sebuah sistem sungai yang dapat dianggap sebagai sebuah ekosistem, yang di dalamnya terjadi interaksi kompleks antar-komponen makhluk hidup (tumbuhan, hewan, jasad renik, dan manusia) dengan lingkungan fisik di sekitarnya (radiasi matahari, angin, air, tanah dan lain-lain). Adanya perubahan yang berlaku pada salah satu komponen di dalamnya, menyebabkan ketidakseimbangan/gangguan terhadap sistem keseluruhan dari DAS.
Efek yang terjadi di antaranya adalah menurunnya kuantitas, kualitas dan fluktuasi ketersediaan air dari sistem DAS. Kasus nyata dari rusaknya sistem DAS adalah ekstrimitas fluktuasi ketersediaan air di mana terjadi bencana kekeringan pada musim kemarau dan sebaliknya bencana banjir pada saat musim penghujan. Penyebab klasik dari rusaknya sistem DAS, antara lain akibat ulah manusia itu sendiri dalam menggarap ladang/lahan di kawasan DAS. Misalnya, adanya perladangan yang berpindah-pindah, atau perbukitan yang dikupas dan dijadikan lahan pertanian atau petambangan.
Berubahnya situ dan danau alami tempat menampung air hujan menjadi lahan pemukiman, juga ikut memicu terjadinya bencana banjir. Dari puluhan situ di kawasan Jabodetabek, misalnya, sekarang keberadaannya bisa dihitung dengan jari. Kondisi ini akhirnya menjadikan air permukaan tidak tertampung, mengalir dan akhirnya meluap ke berbagai daerah yang sebelumnya merupakan situ atau danau alami tersebut. Pengurugan daerah-daerah rendah dan dijadikan lokasi pemukiman baru juga menambah runyam keadaan.
Fenomena penggundulan hutan yang dilakukan secara liar dan membabi buta demi tuntutan perut juga menjadi biang kerok kerusakan ekosistem DAS. Kasus gundulnya (kerusakan) hutan mengakibatkan daya infiltrasi tanah menjadi berkurang sehingga surface run off (aliran air permukaan) menjadi besar dan pada gilirannya dapat menaikkan debit sungai dengan cepat dan menyebabkan terjadinya banjir. Kondisi daerah hulu (dataran tinggi) yang relatif gundul tersebut, jika terguyur oleh tumpahan air hujan akan mengalami erosi dan terjadi proses pelumpuran (sedimentasi) yang dengan cepat mengalir ke anak-anak sungai di bawahnya. Pada akhirnya air sungai menjadi keruh dan terjadi proses pendangkalan sungai.
Faktor lain yang ikut memperbesar frekuensi banjir adalah pengaruh urbanisasi dan pembuatan rumah-rumah di kawasan puncak (hulu DAS) yang notabene merupakan daerah penyangga (buffer zone) bagi kawasan di bawahnya. Di samping itu, kawasan Puncak, Bogor juga merupakan daerah tangkapan air hujan (catchment area) bagi daerah di bawahnya. Inti pokoknya adalah berkurangnya lahan terbuka dan digantikan kedudukannya (tergeser) oleh lahan tertutup (impervious). Lahan tersebut umumnya tertutup oleh struktur bangunan seperti jalan raya, tempat parkir, dan pembuatan struktur bangunan beton.
Berbagai kondisi di atas masih ditambah dengan faktor alami berupa intensitas distribusi curah hujan yang demikian besar (terbesar semenjak 1974) dan merata menyebabkan terjadinya bencana banjir Jakarta awal 2013 ini. Pertanyaannya, bagaimana upaya pencegahan atau mitigasi bencana banjir? Apa yang perlu dibenahi?
Upaya mitigasi bencana banjir adalah (pengendalian/pencegahan bencana banjir) dapat dibagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap pengendalian erosi dan tahap pengendalian banjir yang kesemuanya dilakukan pada kawasan DAS. Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah membenahi ekosistem suatu DAS/Sub-DAS yang telah rusak atau bahkan sudah mencapai ambang kristis. Usaha mitigasi ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Hakikat mitigasi bencana banjir adalah menekan sekecil mungkin surface run off dan memperbesar jumlah air yang diinfiltrasikan ke dalam tanah.
Dengan demikian jumlah air yang disuplai tidak akan jauh berbeda antara musim penghujan dan kemarau. Atau, fluktuasi ketersediaan air tidak berbeda secara ekstrem antarkedua musim. Hal ini bisa dilakukan dengan kembali menata DAS-Sub-DAS yang sudah kritis bahkan rusak. Tujuan dari pengelolaan DAS/Sub-DAS adalah mendapatkan hasil air optimal, baik dari aspek kuantitas, kualitas maupun regim. Usaha pengelolaan DAS/Sub-DAS ini bisa diusahakan pemerintah dalam wujud penyelamatan hutan, tanah dan air yang biasa dikenal dengan program reboisasi dan penghijauan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar