Selasa, 08 Januari 2013

Keselamatan Ekologis dan Keamanan Manusia


Keselamatan Ekologis dan Keamanan Manusia
Poltak Partogi N ;  Kepala Bidang Pengkajian
di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
SINAR HARAPAN,  08 Januari 2013



Dalam situasi transisi demokratis yang tidak menentu, yang ditandai dengan devolusi kekuasaan yang tidak terkontrol, konsep perlindungan ekologis (ecological safety) menjadi tidak terperhatikan. Ini artinya, pentingnya kampanye kesadaran orang terhadap keamanan lingkungan (environmental security) menjadi tersingkirkan.
Padahal, para ahli hubungan internasional dan studi keamanan, sejak akhir dasawarsa 1980, misalnya Buzan, telah mulai mengingatkan pentingnya isu lingkungan hidup untuk diperhatikan dunia. Ini karena dampak kerusakan ekologi di banyak tempat atau degradasi lingkungan telah memunculkan konflik-konflik lokal (intra-negara) dan antar-negara.

Para ahli telah mengingatkan bahwa dampak pencemaran dan degradasi lingkungan tidak mengenal batas negara. Bisa saja ia dilokalisasi, tetapi itu tidak bisa dilakukan untuk seterusnya, jika dampak kerusakan ekologis bertambah parah dan meluas.
Sementara itu, kebutuhan akan sumber daya alam yang kian meningkat dewasa ini, sejalan dengan meningkatnya ancaman atas keamanan energi yang dihadapi banyak negara, terutama negara maju, telah menyebabkan ancaman yang meningkat atas masa depan ekologi global.

Ancaman tidak hanya muncul akibat perebutan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, tetapi juga dampak pencemaran yang sulit dimintakan tanggung jawabnya, akibat telah melampaui wilayah nasional dan memasuki wilayah negara lain. Risiko ganti kerugian yang tinggi dan konsekuensi hukum yang luas telah menyebabkan kasus pengabaian tanggung jawab.

Kasus tumpahan minyak dari wilayah eksploitasi yang dilakukan perusahaan swasta asing di wilayah perairan Australia, yang memasuki dan mencemarkan perairan Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang masih belum terselesaikan, merupakan contoh terbaru untuk ini.

Padahal, seharusnya pemerintah Indonesia dan DPR dan DPRD provinsi serta kabupaten bersama-sama turun tangan segera mengatasi masalah pencemaran ini, agar tidak semakin meluas dan berakibat buruk atas lingkungan hidup.

Untung saja, keresahan sosial dan konflik lokal akibat tumpahan minyak yang mencemari perairan laut NTT dan mengancam kehidupan nelayan dan penduduk lokal di sekitar perairan yang tercemarkan ini, belum muncul. Jika muncul, tentu masalahnya akan menjadi semakin kompleks dan sulit diatasi.

Darurat Kompleks

Di daerah-daerah lain di Indonesia, konflik-konflik ekologis akibat perebutan sumber daya alam dan upaya eksploitasi dan pengelolaan yang tidak dilakukan dengan baik, telah bermunculan. Ini juga didukung oleh faktor tidak adanya UU dan peraturan pelaksanaannya yang saling konsisten dan menguatkan satu sama lainnya, sehingga telah menimbulkan celah untuk bisa disalahgunakan.

Konflik-konflik sosial, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal bermunculan, tidak hanya karena soal pembagian hasil eksploitasi dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, tetapi juga akibat dampak kerusakan lingkungan hidup yang tidak diperhatikan dan diatasi.

Menurut laporan kepolisian, ada sekitar 200 kasus pertambangan ilegal yang terjadi di berbagai daerah; juga terdapat sekitar 900 titik api kekerasan (violent hot spots) di seluruh Indonesia. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai contoh, dua penduduk lokal tertembak mati oleh aparat akibat melakukan demonstrasi terhadap pemerintah setempat agar menutup usaha PT Sumber Mineral Nusantara, yang dinilai mengancam lingkungan hidup dan penduduk lokal.

Kasus eksploitasi tembaga dan emas oleh Freeport di Papua, dan masalah pembuangan tailing-nya, yang amat mencemarkan dan mengancam dalam jangka panjang lingkungan hidup Papua dan penduduknya, telah berimplikasi pada munculnya konflik antara penduduk asli Papua dan kaum migran.

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, eksploitasi atas sumber daya alam oleh Newmont, yang telah berdampak buruk atas munculnya pencemaran lingkungan di perairan Teluk Senunu, telah juga memunculkan konflik vertikal. Ini belum melihat kasus dan potensi konflik di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia akibat perebutan sumber daya alam dan pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diciptakannya secara luas.
Di bumi Kalimantan, perambahan kawasan-kawasan konservasi alam atau hutan lindung yang dijustifikasi oleh UU No 9/2009 tentang Minerba, terutama untuk batu bara, meninggalkan potensi konflik yang besar di masa depan.

Ini karena kawasan perairan darat (sungai) pun sudah dipetakan untuk dieksploitasi. 
Potensi konflik juga bersifat horizontal dan vertikal, dan terutama akan menimbulkan risiko lebih besar pada pemerintah daerah dan pengusaha, yang menjalin kolusi kuat di era devolusi kekuasaan ini.

Secara faktual diketahui, konflik-konflik sumber daya alam dan lingkungan hidup sulit diatasi, dan faktor pencegahan tetap saja merupakan upaya yang lebih baik dan mudah dilakukan.

Jika degradasi lingkungan itu sudah terjadi meluas dan parah sifatnya, sehingga telah menimbulkan seringnya bencana alam terjadi, dan meningkatkan kemiskinan dan keterbelakangan wilayah, serta menimbulkan konflik sosial, maka keadaan darurat kompleks (complex emergencies –Duffield, 1996) tercipta. Jika sudah seperti ini, upaya mengatasinya akan semakin berat.

Jika situasi seperti ini juga banyak tercipta di wilayah lainnya di Indonesia, negara ini akan berkembang menjadi sebuah negara dengan darurat kompleks di sana-sini. Sebagai konsekuensinya, keselamatan lingkungan harus segera menjadi perhatian serius dengan menjalankan aksi-aksi penyelamatan lingkungan.

Penjarahan dan Konflik

Keterlibatan politikus, aparat negara, seperti pegawai kehutanan, petugas pajak, bea cukai, kepolisian dan militer dan para penegak hukum di pengadilan telah menyulitkan pengawasan dan sekaligus penegakan hukum atas berbagai UU dan ketentuan perlindungan lingkungan hidup, terutama UU Kehutanan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kolusi aparat negara, pengusaha pelanggar izin penebangan dan pertambangan, dan pembalak liar membuat kejahatan pembalakan liar semakin marak terjadi belakangan. Kasus pembalakan liar yang digunakan bagi konsumsi industri kayu domestik terjadi sampai 80 persen.

Kasus yang menimbulkan degradasi lingkungan lain yang juga sama hebatnya adalah penjarahan lahan (land grabbing) konservasi alam untuk ditanam tanaman industri yang laku di pasar dunia, seperti kelapa sawit dan hortikultura untuk ekspor, antara lain padi, jagung dan palawija lainnya.

Ekspansi kebun kelapa sawit yang berlebihan, yang resmi maupun tidak resmi, sangat berkontribusi bagi degradasi lingkungan mengingat implikasi buruk terhadap kesuburan tanah dan cadangan air dalam jangka panjang.

Sementara itu, penjarahan lahan untuk komoditas palawija ekspor di daerah yang masih terisolasi dan jauh dari eksploitasi sumber daya alam, dan apalagi, untuk pembukaan lahan permukiman baru dan industri, seiring meningkatnya dengan cepat laju pertumbuhan penduduk dan dorongan mengejar serta menjaga pertumbuhan ekonomi, kian membuka peluang kerusakan lingkungan lebih luas dalam tempo lebih cepat.

Karenanya, ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan pangan semakin besar di masa depan, sehingga kerawanan atau kelangkaan pangan dalam dua tahun ke muka akan menjadi kenyataan. Dalam kasus di negara lain, seperti China, kasus penjarahan atau penggunaan lahan tidak terkontrol telah meningkatkan keresahan sosial di kalangan penduduk (Zhang, 2012), khususnya kaum petani, yang dulunya, dalam masa Mao Zedong, merupakan soko guru revolusi.

Potensi konflik vertikal serius rawan pecah akibat banyak dijumpainya keterlibatan para pejabat lokal dalam kasus-kasus penjarahan lahan bersama-sama dengan kelompok pemilik modal atau investor. Di Indonesia, kasus-kasus land grabbing telah menimbulkan potensi konflik sosial serupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar