Sabtu, 05 Januari 2013

Kegalauan Jiwa Bangsa


Kegalauan Jiwa Bangsa
Thomas Koten ;  Seorang Esais, Penggemar Filsafat
SINAR HARAPAN,  05 Januari 2013



Meski dinasihati oleh orang-orang bijak untuk senantiasa optimistis dalam menapaki Tahun Baru dan merajut masa depan yang lebih baik, tetapi jika hendak jujur, semua orang akan selalu diliputi harapan optimistis namun bercampur pula kekecewaan dan kegalauan jiwa.

Seperti sebuah tamsil yang dikedepankan Raja George VI kepada bangsa Inggris dalam menapaki tahun 1939 dalam suasana krisis berkepanjangan menuju depresi ekonomi ketika itu. “Aku memohon kepada seorang tua yang berdiri di gerbang awal Tahun Baru.

‘Berilah aku cahaya yang memungkinkan melangkah aman menuju kegelapan’. Orang itu pun menjawab, ‘Pergilah menuju kegelapan dan letakkan tanganmu pada tangan Tuhan. Hal itu akan lebih baik bagimu ketimbang cahaya dan lebih aman daripada jalan yang dikenal.”

Sebuah krisis pun muncul, entah itu krisis global seperti yang melanda berbagai negara di dunia belakangan ini, atau krisis multidimensi yang pernah menyergap Indonesia beberapa tahun lalu, tak lain karena warisan sisi-sisi gelap masa lalu yang tidak sepenuhnya kita kenal.

Untuk mengenalnya, kita harus berani menyusuri lorong gelap masa lalu untuk menemukan visi, sehingga dapat membuat rencana untuk melakukan perubahan dengan resep-resep atau cara-cara dan metode yang tepat.

Untuk merealisasikan perubahan yang telah dicanangkan, menurut Donna Zajonc dalam The Politicics of Hope, Politik Harapan, suatu bangsa harus mampu keluar dari tahap anarki, tradisionalisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Pemimpin yang sadar adalah pemimpin yang tahu mempertimbangkan warisan masa lalu, peluang masa kini serta sanggup membangun keampuhan mengantisipasi masa depan.

Kegalauan

Kecemasan atau kegalauan jiwa bangsa di awal tahun 2012, tepat seperti yang ditulis Dante Alighieri, “Tu lascerai ogne cosa diletta piu caramente… Tu proverai si come sa di sale lo pane altrui.” (Engkau akan meninggalkan apa saja yang engkau kagumi; Engkau akan merasakan betapa asin dan pahit roti orang.)

Tulisan sang penyair kondang yang disitir ulang oleh Armada Riyanto (2007) itu termuat dalam Divina Commedia (Div-C) yang ditulis dalam bahasa dialog campuran Tuscano (Florentino) Seciliano, yang isinya berupa 100 syair yang justru mengungkap pelarian etis jiwa manusia menuju pematangan yang diselimuti gelap-pekatnya kekecewaan atau kegalauan nilai-nilai hidup sehari-hari.

Div-C dalam Armada Riyanto, melukiskan perjalanan pengetahuan jiwa galau di persimpangan jalan-penuh kegelapan seorang Dante dari inferno (neraka), purgatrio (api penyucian) ke paradiso (surga).

Suatu persimpangan jalan penuh ketidakjelasan moral distingsi antara “baik dan buruk”, atau “benar dan salah”, atau “suci dan munafik”, atau “adil dan tamak”, atau “koruptif dan tulus” atau “jujur dan licik” yang membuatnya galau, lantas lari ke dunia alegoris kematian – menuju kehidupan dalam bentuk lain dari ujung suatu penantian.

Di tengah jalan penuh kegelapan, di tengah intrik persaingan, kepalsuan hidup korupsi dan hipokrisi para politikus yang terus menciptakan ruang publik, terasa pengap dan menyesakkan.

Divina Commedia ala Dante itu persis melukiskan perjalanan jiwa galau bangsa Indonesia saat ini. Jiwa galau menyaksikan betapa jelas wabah korupsi yang terus menyeruak dan begitu nyatanya kekacauan moral, dan kemunduran etika kehidupan serta hipokrisi para pemimpin di bidang politik, ekonomi, sosial, moral, pendidikan dan agama.

Memang, sudah sekian lama para pemimpin negara, pemimpin agama dan punggawa moral terjerembab dalam aktivitas manipulatif terselimutkan godaan kenikmatan duniawi, kita nyaris kehilangan segalanya untuk berdiri tegak menapaki hari esok.
Meski demokrasi terus digelorakan dan dibanggakan, lantaran diyakini bahwa ia dapat menawarkan kesejahteraan, ternyata rakyat justru semakin apatis.

Harapan akan kecerahan hari esok kini memang mulai diharapkan pada generasi muda. Ini karena banyak yang tidak lagi percaya pada “yang tua” sebagai simbol cahaya terang atau kecerahan dan kekaburan. Ini juga lantaran kepemimpinan tatanan masa kini - seperti yang dilukiskan Yudi Latif dalam sebuah esainya - yang masih dikuasai kaum tua dari orbit dunia lama, yang tidak lagi menjadi pusat teladan.

Yang muda, yang maju, dan yang sadar tidak kunjung menemukan gelanggang. Tatanan baru tidak menemukan teladan dan kepemimpinan baru. Lompatan ke depan tertawan beban masa lalu yang terimpit aneka kebobrokan.

Etika Masa Depan

Mengingat jalannya waktu, seperti kata para filsuf, bagai busur yang tidak mungkin datang lagi jika sudah dilepas, maka kita tidak bisa terus berkubang dalam kegelapan masa lampau, tahun-tahun sebelumnya. Kini kita terpanggil untuk mengelak dari jebakan aneka kegelapan masa lampau dan harus berani keluar dari kungkungan kesulitan tahun-tahun sebelumnya.

Kita mesti merehabilitasi jiwa bangsa dalam menatap masa depan untuk menyusun pembaruan, reformasi pikiran, bangunan tekad, menggalang hari esok yang lebih baik, dengan nilai-nilai kebaikan yang disebut dengan etika masa depan. Etika masa depan yang memungkinkan kehidupan yang lebih baik bagi manusia, masyarakat bangsa, bahkan segenap makhluk hidup.

Etika masa depan, memang menuntut tanggung jawab segenap anggota masyarakat, terutama para pengelola negara dan atau pemimpin bangsa untuk membangun kebersahajaan hari esok yang lebih baik dengan mengelola dan menyempurnakan masalah-masalah masa lampau. Memang, Indonesia, seperti ungkapan Oscar Wilde, hanyalah lompatan dari satu masalah ke masalah lain.

Selain itu, sebagai pemenuhan panggilan sejarah, kita juga mesti bersyukur, menggugat diri, dan membangun kemauan sambil menyadari sebagai bangsa pembelajar yang terus memperbaiki dan memperbarui diri menuju ke arah yang lebih baik. Seperti sebuah ungkapan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru yang sering dikutip Presiden Soekarno, bagi bangsa pejuang, perjalanan tidak pernah berakhir.

Itulah fungsionalisme perayaan dan atau ritual pergantian tahun yang sudah kita lewati. Dalam hal mana kita menempatkan perayaan Tahun Baru sebagai momentum penanaman niat kita untuk terus belajar berdemokrasi, belajar menghormati hukum, belajar bersolider dan bersyukur.

Sebagai penerus generasi masa lampau, tinggal bagaimana kita belajar membangun kearifan untuk meneruskan apa yang sudah digagas oleh para pendiri bangsa. Adalah terus belajar untuk keluar dari lorong-lorong gelap masa lampau, belajar untuk menghapus kegalauan jiwa, bangsa ini lambat laun akan menemukan keindonesiaan yang lebih bersahaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar