Sabtu, 05 Januari 2013

Menyoal Pertempuran Politik


Menyoal Pertempuran Politik
Ahmad Ubaidillah ;  Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam UII Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  05 Januari 2013



Ada sejumlah kalangan yang mengatakan tahun 2013 adalah tahun panas bagi dunia politik Indonesia. Pertempuran politik bakal terjadi.

Ini karena partai-partai politik mulai pasang badan, mempersiapkan calon presiden di Pemilihan Presiden 2014. Bahkan, demi kepentingan politik mereka masing-masing, orang-orang partai akan saling membuka aib dan menyandera, terutama terkait isu korupsi yang melilit kader partai.

Kalau memang benar pergulatan politik nanti sedemikian menggelegak, kita sebagai rakyat tentu saja miris dan sedih melihat sepak terjang orang-orang partai tersebut.
Terlintas dalam benak kita sebuah pertanyaan, apakah sempat para elite politik, ketika sudah sibuk menyusun strategi pemenangan pemilu dengan cara-cara kotor tersebut, memikirkan kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik?

Tidak dapat dimungkiri bahwa kualitas politik yang diciptakan sejumlah elite politik di negeri ini hingga kini masih sangat rendah. Banyak keputusan politik yang dibuat, misalnya oleh DPR, menteri, gubernur, dan seterusnya yang notabene “anak-anak partai politik” sangat melukai hati rakyat. Hal ini diperparah lagi dengan tindakan sistematis korupsi antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Bahkan, laporan akhir 2012 Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, ada 52 kader parpol tersandung kasus korupsi. Para kader yang terindikasi korupsi tersebut berasal dari partai-partai besar dan mereka tercatat sebagai anggota DPR, DPRD, atau kepala daerah.

Sepanjang 2012, ada 24 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Mereka terjerat korupsi terkait penggunaan dana bantuan sosial dan hibah. Tidak jarang pula korupsi dilakukan dalam rangka mengumpulkan dana untuk mengikuti pilkada berikutnya.
Selain kepala daerah, juga ada 25 anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi 2012. Mereka terjerat korupsi karena melakukan penyalangunaan kekuasaan sebagai penentu alokasi anggaran (mafia anggaran).

Perlu Landasan Moral

Melihat laku politik yang semakin tidak menguntungkan bagi kemajuan dan kebaikan bangsa ini, tidak ada yang perlu dilakukan, kecuali politik harus didukung dengan moralitas yang tinggi. Dalam hal ini, Susan Mendus dalam karyanya, Impartiality in Moral and Political Philosophy (2002), menyebutkan politik bisa menjadi baik, apabila ia memiliki landasan moral yang kuat.

Dalam konteks inilah politik memerlukan orang-orang yang baik dan orang-orang yang memiliki moral yang tinggi. Negara bisa menjadi baik apabila penyelenggaranya baik dan memiliki dedikasi yang tinggi.

Sebenarnya, di negeri ini, jumlah orang baik tidak kurang untuk mengisi struktur-struktur kenegaraan yang ada. Namun yang menjadi masalah raksasa adalah mereka sering kali tergeletak tidak berdaya ketika berhadapan dengan godaan uang dan kekuasaan.

Idealisme memperjuangkan kemakmuran rakyat sering kali dilibas oleh pragmatisme mencari kekayaan diri dan kelompok partainya. Bahkan, orang-orang partai (politikus) yang baik pun terkadang sengaja disingkirkan kawan politik mereka sendiri demi politik yang remeh-temeh (hanya mencari uang dan kekuasaan).

Oleh karena itu, seorang politikus tidak harus menciptakan ketegangan antara moralitas dan politik, karena seperti yang digambarkan oleh Susan Mendus, guru besar filsafat politik di Universitas York, Inggris ini, politikus memiliki integritas moral yang rendah. Mereka melakukan banyak hal buruk, termasuk berbohong, untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri dan kelompoknya, termasuk partainya.

Karena itu, sekali lagi, para politikus di negeri tercinta ini sudah seharusnya memiliki landasan moral yang tinggi dalam berpolitik. Politik harus benar-benar dijadikan alat untuk menyejahterakan rakyat. Jangan sampai politik mendapat citra buruk dari masyarkat karena perbuatan yang tidak beradab, remeh-temeh, dan banal.

Dalam konteks Indonesia dengan segudang persoalan (korupsi, kemiskinan, kekerasan sosial, dan seterusnya), perlu adanya seorang pemimpin yang mau menerima kritik konstruktif dan mau meninggalkan budaya politik yang mementingkan diri sendiri dan kelompok (partai)-nya.

Segala bentuk narsisme dan hasrat politik rendah harus segera ditinggalkan. Tanpa itu, bangsa ini tidak akan pernah bisa berubah menjadi lebih baik dan persoalan-persoalan bangsa tidak akan pernah selesai.

Peranan presiden untuk menciptakan kesantuan dan kebaikan politik sangat diperlukan. Di sini dibutuhkan sosok presiden SBY yang memiliki sikap tegas dan berani dalam menghadapi keremeh-temehan politik yang dilakukan politikus dan mau mengingatkan mereka kembali bahwa politik harus mengutamakan kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya.

Sikap Media

Berkenaan dengan pertarungan politik di tahun ini, bagaimanapun juga, media massa sangat berperan dalam pemberitaan. Karena itu, saya mengimbau dalam menyajikan informasi tentang percaturan politik, media masaa harus bersikap tidak membiarkan berbaurnya kebenaran/kepalsuan, faktualitas/ideologi, objektivitas/subjektivitas (hiperrealitas media).

Meskipun perkembangan dan kecepatan teknologi informasi turut mengiringi media massa, media harus tetap mengedepankan fungsi komunikasi, kredibilitas informasi, dan kepastian makna.

Artinya, media massa tidak boleh terjebak pada pelecehan fungsi komunikasi, penyimpangsiuran tanda-tanda, pengaburan makna, pendistorsian realitas, dan penisbian kebenaran dalam mencari informasi tentang sepak terjang partai-partai politik beserta aktor-aktornya.

Media massa, baik cetak maupun elektronik, harus mengutamakan kepentingan publik (kepentingan ilmu pengetahuan) di atas kepentingan ekonomi dan politik tertentu.
Oleh karena itu, media massa tidak boleh terperangkap di dalam strategi simulasi, hiperrealitas, dan perang simbol. Ia tidak mesti meningkatkan efek hiperrealitas di dalam media tanpa upaya kritis, analitis, dan solutif. Media perlu menghindari pengeksposan realitas artifisial (rekayasa) yang diproduksi pihak-pihak yang berkepentingan karena dianggap dapat meningkatkan nilai media sebagai komoditas.
Intinya, media harus menampilkan berbagai berita secara faktual, bukan informasi yang direkayasa pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu pula.

Di sini, upaya pengendalian ekstremitas komunikasi dan informasi melalui regulasi sampai pada sebuah batas yang di dalamnya tersedia informasi yang dapat diinterpretasikan dan dicerna masyarakat secara logis dan bermakna sangat diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar