Sabtu, 05 Januari 2013

Kemiskinan di Tengah Optimisme Pertumbuhan


Kemiskinan di Tengah Optimisme Pertumbuhan
Arfanda Siregar ;  Pascasarjana Manajemen UGM,
Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan
MEDIA INDONESIA,  05 Januari 2013



OPTIMISME pertumbuhan ekonomi In donesia pada 2013 menggelembung di tengah pusaran krisis ekonomi Eropa dan Amerika. Pemerintah mematok angka 6,8% sebagai ekspektasi besar perubahan wajah Indonesia menyongsong ramalan McKinsey Global Institute menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia.

Di balik asa besar pertumbuhan nasional, anak bangsa yang berwajah tirus, berpenghasilan segobang, dan tulang mencelat ke luar merupakan anak bangsa yang paling berhak mendapat tetesan berkah pertumbuhan tersebut. Bagi mereka, pertumbuhan ekonomi akan membawa masa depan yang gemilang, bukan sekadar angka kering statistik.

Berkaca pada Pertumbuhan 2012

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang selalu mengklaim kesuksesannya menurunkan angka kemiskinan. Kita masih ingat, ketika berpidato di depan Forum Rio+20 di Brasil, beberapa waktu lalu, dia dengan penuh kebanggaan mengatakan pemerintah RI berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 24% di 1998 menjadi hanya 12,5% di 2012.

Namun, orang miskin tak terlalu membutuhkan laporan kesuksesan pertumbuhan ekonomi melalui deretan angka dan tabel. Mereka hanya berharap perubahan nasib yang diindikasikan harga sembako yang terjangkau, tempat tinggal yang layak, lapangan kerja, dan jaminan masa depan gemilang. Mereka butuh bukti, bukan pidato.

Kita harus berani mengatakan bahwa kemiskinan di negeri ini sejak SBY menjadi presiden hingga sekarang belum menunjukkan prestasi yang lebih baik bila dibandingkan dengan presiden sebelumnya. Coba saja lihat, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2003, setahun sebelum SBY didapuk menjadi presiden, adalah 12,47%. Delapan tahun kemudian, angka kemiskin an tetap berada di angka 12,5%. 
Parahnya, pada 2009 angka kemiskinan Indonesia justru sempat melonjak ke angka 14,8%. Setelah itu, angka kemiskinan berada di sekitar angka 12%, hingga pada 2011 turun ke angka p 12,2%, dan pada 2012 1 mencapai 11,6%.

Kalau dirata-rata, angka kemiskinan kita selama tujuh tahun sekitar 12%, tak beda jauh dengan masa Megawati saat masih menjadi presiden. Masa Orde Baru bahkan mampu menurunkan kemiskinan 1,7% setahun, sedangkan 10 tahun terakhir kemiskinan hanya turun 0,6% per tahun.

Kalau kita mau jujur, pertumbuhan ekonomi pada 2012, yang menurut prediksi pemerintah bertahan di 6%, pun bahkan bukan prestasi spektakuler. Sejak tiga tahun belakangan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu positif dan di atas 6%. Itu berarti pada 2012 tidak terjadi prestasi luar biasa dari pemerintahan SBY dalam memberantas kemiskinan jika mengacu ke data sebelumnya.

Mantra ajaib pertumbuhan ekonomi yang selalu digadang-gadang pemerintah sebagai capaian kesuksesan ekonomi pun belum ampuh memberantas kemiskinan. Dampak yang diberikan kepada masyarakat, khususnya orang miskin, sangat minim. Fakta justru berbicara para pemilik modal dan orang kaya yang paling merasakan manfaat pertumbuhan karena mereka berpeluang menanamkan modal untuk investasi pembangunan.

Keadaan itu persis syair lagu Rhoma Irama di era 70-an, “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.“ Hanya orang kaya yang menikmati berkah dari pertumbuhan ekonomi, sedangkan orang miskin hanya menjadi penonton. Kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin menjadi persoalan besar di tengah optimisme semu pertumbuhan ekonomi.

Di hadapan mata, mobil mewah berharga selangit berseliweran di sela-sela tubuh ceking dan kurus yang menengadahkan tangan meminta belas kasih dari si pemilik mobil. Kontras. Anak-anak bertubuh dekil dengan kerincingan di tangan berkeliaran di manamana, menambah pahit hidup di negeri yang pertumbuhan kelompok menengahnya pesat.

Lebarnya ketimpangan si kaya dan si miskin tersebut dibuktikan juga oleh koefisien Gini Indonesia pada 2012 yang mencapai 0,45 (versi Harvard Business School). Angka tersebut jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu 1999 berada di angka 0,31, 2005 berada di angka 0,36, 2009 ber ada di angka 0,37, dan 2011 berada di angka 0,41.

Jomplangnya jumlah orang kaya dan miskin tersebut sejalan dengan laporan majalah Forbes yang mencatat terdapat 40 orang terkaya di Indonesia pada 2012 dengan gelimang harta hingga US$88,6 miliar. Hal itu juga didukung World Ultra Wealth Report 2012-2013 yang melansir populasi orang superkaya (ultra-high net worth individual/UHNWI) di Indonesia dalam setahun terakhir bertambah 35 orang menjadi 785 orang dengan kekayaan di atas US$30 juta atau setara Rp285 miliar.

Ironisnya, total kekayaan 785 orang superkaya pada 2012 bahkan menembus US$120 miliar atau naik sekitar 41,2% dari posisi US$85 miliar pada 2011. Bandingkan dengan jumlah orang miskin yang menurut data Badan Pusat Statistik per Maret 2012 mencapai lebih dari 30 juta orang dengan pengeluaran cuma sekitar Rp240 ribu per orang per bulan.

Pembangunan seharusnya berpihak kepada orang miskin. Indikator-indikator kerapuhan fondasi bangunan ekonomi itu sejatinya menunjukkan tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2012. Kita cenderung mengejar pertumbuhan, tetapi mengabaikan pemerataan.

Berbagai indikator kerapuhan ekonomi itu semestinya tidak lantas membuat pemerintah panas telinga. Dengan indikator itu, pemerintah justru bisa segera mengambil langkahlangkah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi pada 2013.

Pertama, meningkatkan alokasi anggaran negara untuk pengurangan kemiskinan. Sampai saat ini, porsi anggaran program pengentasan warga miskin baru 0,5% dari APBN 2013, lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata negara Asia Timur (1%), Ame rika Latin (1,3%), dan Vietnam (di atas 1%). Pemerintah lebih rela membantu para pemilik kendaraan bermotor yang notabene orang mampu dengan mengalokasikan subsidi energi pada APBN 2013 hingga mencapai 27,8%.

Dalam konsep Amartya Sen, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Jadi, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, melainkan karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Aktivitas itu hanya mungkin terjadi apabila ada akses dan infrastruktur yang alokasi biayanya disuplai dari APBN.

Kedua, pemerintah perlu memacu keterlibatan dan partisipasi seluruh elemen bangsa yang berpotensi agar bersamasama merumuskan kebijakan yang berpihak kepada rakyat untuk mengoptimalkan dan merealisasikan proyek-proyek pembangunan publik berkeadilan kalau tidak mau dikatakan sebagai negara tertinggal. Persoalan kemiskinan bukan hanya tugas pemerintah semata, seluruh elemen masyarakat yang berkemampuan, khususnya 780 orang superkaya Indonesia itu, sepatutnya diajak berpartisipasi mengenyahkan kemiskinan yang melanda rakyat negeri ini.

Keberhasilan pembangunan satu bangsa, seperti kata seorang ahli ekonomi Dudley Seers, hanya dapat diukur dari seberapa besar pertumbuhan nasional mampu menjawab persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakmerataan. Tanpa itu, jangan dulu bertepuk dada mengatakan sudah berhasil meskipun angka statistik kering menyatakan negeri ini mengalami pertumbuhan setiap tahun. Buat apa mengejar pertumbuhan semu jika yang merasakannya hanya segelintir rakyat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar