Kemiskinan di
Tengah Optimisme Pertumbuhan
Arfanda Siregar ; Pascasarjana Manajemen UGM,
Dosen Manajemen
Industri Politeknik Negeri Medan
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Januari 2013
OPTIMISME pertumbuhan ekonomi In donesia pada
2013 menggelembung di tengah pusaran krisis ekonomi Eropa dan Amerika.
Pemerintah mematok angka 6,8% sebagai ekspektasi besar perubahan wajah
Indonesia menyongsong ramalan McKinsey
Global Institute menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia.
Di balik asa besar pertumbuhan nasional, anak
bangsa yang berwajah tirus, berpenghasilan segobang, dan tulang mencelat ke
luar merupakan anak bangsa yang paling berhak mendapat tetesan berkah
pertumbuhan tersebut. Bagi mereka, pertumbuhan ekonomi akan membawa masa
depan yang gemilang, bukan sekadar angka kering statistik.
Berkaca pada
Pertumbuhan 2012
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang
selalu mengklaim kesuksesannya menurunkan angka kemiskinan. Kita masih ingat,
ketika berpidato di depan Forum Rio+20 di Brasil, beberapa waktu lalu, dia
dengan penuh kebanggaan mengatakan pemerintah RI berhasil menurunkan angka
kemiskinan dari 24% di 1998 menjadi hanya 12,5% di 2012.
Namun, orang miskin tak terlalu membutuhkan
laporan kesuksesan pertumbuhan ekonomi melalui deretan angka dan tabel.
Mereka hanya berharap perubahan nasib yang diindikasikan harga sembako yang
terjangkau, tempat tinggal yang layak, lapangan kerja, dan jaminan masa depan
gemilang. Mereka butuh bukti, bukan pidato.
Kita harus berani mengatakan bahwa kemiskinan
di negeri ini sejak SBY menjadi presiden hingga sekarang belum menunjukkan
prestasi yang lebih baik bila dibandingkan dengan presiden sebelumnya. Coba
saja lihat, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2003, setahun sebelum SBY
didapuk menjadi presiden, adalah 12,47%. Delapan tahun kemudian, angka
kemiskin an tetap berada di angka 12,5%.
Parahnya, pada 2009 angka kemiskinan
Indonesia justru sempat melonjak ke angka 14,8%. Setelah itu, angka
kemiskinan berada di sekitar angka 12%, hingga pada 2011 turun ke angka p
12,2%, dan pada 2012 1 mencapai 11,6%.
Kalau dirata-rata, angka kemiskinan kita
selama tujuh tahun sekitar 12%, tak beda jauh dengan masa Megawati saat masih
menjadi presiden. Masa Orde Baru bahkan mampu menurunkan kemiskinan 1,7%
setahun, sedangkan 10 tahun terakhir kemiskinan hanya turun 0,6% per tahun.
Kalau kita mau jujur, pertumbuhan ekonomi pada
2012, yang menurut prediksi pemerintah bertahan di 6%, pun bahkan bukan
prestasi spektakuler. Sejak tiga tahun belakangan, pertumbuhan ekonomi
Indonesia selalu positif dan di atas 6%. Itu berarti pada 2012 tidak terjadi
prestasi luar biasa dari pemerintahan SBY dalam memberantas kemiskinan jika
mengacu ke data sebelumnya.
Mantra ajaib pertumbuhan ekonomi yang selalu
digadang-gadang pemerintah sebagai capaian kesuksesan ekonomi pun belum ampuh
memberantas kemiskinan. Dampak yang diberikan kepada masyarakat, khususnya
orang miskin, sangat minim. Fakta justru berbicara para pemilik modal dan
orang kaya yang paling merasakan manfaat pertumbuhan karena mereka berpeluang
menanamkan modal untuk investasi pembangunan.
Keadaan itu persis syair lagu Rhoma Irama di
era 70-an, “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.“ Hanya orang kaya
yang menikmati berkah dari pertumbuhan ekonomi, sedangkan orang miskin hanya
menjadi penonton. Kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin menjadi
persoalan besar di tengah optimisme semu pertumbuhan ekonomi.
Di hadapan mata, mobil mewah berharga selangit
berseliweran di sela-sela tubuh ceking dan kurus yang menengadahkan tangan
meminta belas kasih dari si pemilik mobil. Kontras. Anak-anak bertubuh dekil
dengan kerincingan di tangan berkeliaran di manamana, menambah pahit hidup di
negeri yang pertumbuhan kelompok menengahnya pesat.
Lebarnya ketimpangan si kaya dan si miskin
tersebut dibuktikan juga oleh koefisien Gini Indonesia pada 2012 yang
mencapai 0,45 (versi Harvard Business School). Angka tersebut jauh lebih
buruk bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu 1999 berada di angka
0,31, 2005 berada di angka 0,36, 2009 ber ada di angka 0,37, dan 2011 berada
di angka 0,41.
Jomplangnya jumlah orang kaya dan miskin
tersebut sejalan dengan laporan majalah Forbes yang mencatat terdapat 40
orang terkaya di Indonesia pada 2012 dengan gelimang harta hingga US$88,6
miliar. Hal itu juga didukung World
Ultra Wealth Report 2012-2013 yang melansir populasi orang superkaya
(ultra-high net worth individual/UHNWI) di Indonesia dalam setahun terakhir
bertambah 35 orang menjadi 785 orang dengan kekayaan di atas US$30 juta atau
setara Rp285 miliar.
Ironisnya, total kekayaan 785 orang superkaya
pada 2012 bahkan menembus US$120 miliar atau naik sekitar 41,2% dari posisi
US$85 miliar pada 2011. Bandingkan dengan jumlah orang miskin yang menurut
data Badan Pusat Statistik per Maret 2012 mencapai lebih dari 30 juta orang
dengan pengeluaran cuma sekitar Rp240 ribu per orang per bulan.
Pembangunan seharusnya berpihak kepada orang
miskin. Indikator-indikator kerapuhan fondasi bangunan ekonomi itu sejatinya
menunjukkan tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang
2012. Kita cenderung mengejar pertumbuhan, tetapi mengabaikan pemerataan.
Berbagai indikator kerapuhan ekonomi itu semestinya tidak lantas membuat
pemerintah panas telinga. Dengan indikator itu, pemerintah justru bisa segera
mengambil langkahlangkah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi pada 2013.
Pertama, meningkatkan alokasi anggaran negara
untuk pengurangan kemiskinan. Sampai saat ini, porsi anggaran program
pengentasan warga miskin baru 0,5% dari APBN 2013, lebih rendah jika
dibandingkan dengan rata-rata negara Asia Timur (1%), Ame rika Latin (1,3%),
dan Vietnam (di atas 1%). Pemerintah lebih rela membantu para pemilik
kendaraan bermotor yang notabene orang mampu dengan mengalokasikan subsidi
energi pada APBN 2013 hingga mencapai 27,8%.
Dalam konsep Amartya Sen, orang menjadi miskin
karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak
memiliki sesuatu. Jadi, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita
miliki, melainkan karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang
tersebut. Aktivitas itu hanya mungkin terjadi apabila ada akses dan
infrastruktur yang alokasi biayanya disuplai dari APBN.
Kedua, pemerintah perlu memacu keterlibatan
dan partisipasi seluruh elemen bangsa yang berpotensi agar bersamasama
merumuskan kebijakan yang berpihak kepada rakyat untuk mengoptimalkan dan
merealisasikan proyek-proyek pembangunan publik berkeadilan kalau tidak mau
dikatakan sebagai negara tertinggal. Persoalan kemiskinan bukan hanya tugas
pemerintah semata, seluruh elemen masyarakat yang berkemampuan, khususnya 780
orang superkaya Indonesia itu, sepatutnya diajak berpartisipasi mengenyahkan
kemiskinan yang melanda rakyat negeri ini.
Keberhasilan pembangunan satu bangsa, seperti
kata seorang ahli ekonomi Dudley Seers, hanya dapat diukur dari seberapa
besar pertumbuhan nasional mampu menjawab persoalan kemiskinan, pengangguran,
dan ketidakmerataan. Tanpa itu, jangan dulu bertepuk dada mengatakan sudah
berhasil meskipun angka statistik kering menyatakan negeri ini mengalami
pertumbuhan setiap tahun. Buat apa mengejar pertumbuhan semu jika yang
merasakannya hanya segelintir rakyat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar