Jakarta Banjir
lagi, Bagaimana Solusinya?
Firdaus Ali ; Pengajar dan Peneliti Teknik Lingkungan Fakultas Teknik UI
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Januari 2013
HUJAN yang turun terus menerus di hulu
Ciliwung dan derasnya curah hujan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya serta
pasang air laut di Teluk Jakarta pada minggu lalu kembali mengakibatkan
banjir besar yang menggenangi sebagian besar wilayah Ibu Kota, mulai tanggal
15 Januari 2013 malam hingga 20 Januari 2013. Banjir besar kali ini sangat
berbeda dengan banjir besar 2002 dan 2007 lalu walau intensitas hujan di hulu
dan di dalam kota belum setinggi kondisi 2007.
Jalan-jalan protokol Ibu Kota tergenang ibarat
kolam renang raksasa yang membentang dari Dukuh Atas sampai ke Istana.
Kondisi itu diperburuk jebolnya dinding pengaman (tanggul) Kanal Banjir Barat
(KBB) di sisi Jalan Latuharhary, Menteng, yang membuat air bah dari KBB
melanda kawasan elite Ibu Kota. Tidak kurang memprihatinkan dan memalukan
ialah dua tamu negara, yaitu Presiden Argentina Cristina Fernandez de
Kirchner dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang semestinya disambut
dengan hamparan karpet merah harus menyaksikan betapa tidak berdayanya
infrastruktur pengendali banjir di ibu kota RI, yang merupakan negara dengan
populasi terbesar keempat di dunia dan sekarang sudah menjadi salah satu
anggota negara G-20.
Anatomi Banjir Ibu
Kota
Sebagaimana sering diulas dalam berbagai
media, wilayah Ibu Kota ini dihadapkan pada tiga ancaman bencana ekologi
terkait dengan air. Pertama, dan ini yang paling berat, ialah terus
bertambahnya beban air limpasan (run-off)
yang berasal dari daerah hulu 13 DAS yang melewati wilayah DKI Jakarta. DAS
Ciliwung dengan luas mencapai 375 km2 merupakan DAS yang paling tinggi beban
air limpasannya dan cenderung terus meningkat sejalan dengan aktivitas
perubahan bentang lahan di sepanjang DAS Ciliwung ini.
Kedua ialah tingginya air limpasan dari curah
hujan yang jatuh di wilayah DKI Jakarta. Itu terjadi karena masifnya
perubahan bentang lahan yang menyebabkan hilangnya kapasitas resapan alami
sehingga hampir sebagian besar air hujan yang turun akan menjadi air limpasan
yang sudah pasti tidak mampu lagi disalurkan seluruh jaringan pematusan baik
mikro, makro, maupun penghubung yang ada. Hal itu disebabkan saluran tersebut
dibangun 20-40 tahun lalu dengan kondisi ruang terbuka hijau kota masih di
atas 45%. Kondisi itu semakin diperburuk terjadinya penyempitan kapasitas
angkut saluran drainase yang ada akibat tumpukan sedimen dan sampah yang
dibuang seenaknya oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Yang ketiga ialah ancaman air rob dari Teluk
Jakarta yang dari waktu ke waktu terus meningkat ketinggian dan luas daerah
terdampaknya. Itu terjadi akibat dampak dari penurunan elevasi tanggul
pengaman di pinggir pantai yang disebabkan turunnya muka tanah pada kawasan
tersebut. Pada saat bersamaan, muka air laut naik sebagai dampak dari
pemanasan global. Apa yang terjadi di daerah Pluit dalam beberapa hari
terakhir ini ialah contoh nyata dari fenomena tersebut.
Kiranya perlu disadari bahwa Ibu Kota dengan
luas 662 km2 ini secara demografis saat ini telah memikul beban populasi
nyata di atas 12,5 juta jiwa. Kota ini berkembang dengan pesat sekali (bahkan
melampaui daya dukung lingkungannya), tetapi tidak diimbangi dengan
pembangunan infrastruktur pengelolaan sumber daya air (SDA) yang diperlukan.
Pada saat bersamaan, edukasi dan pemberian sanksi terhadap larangan membuang
limbah (padat dan cair) ke badan-badan air tidak pernah dilakukan dengan
serius.
Karena masih rendahnya cakup an layanan air
bersih perpipaan, sebagian besar entitas bisnis dan perkantoran `terpaksa'
mengambil air tanah dalam (deep
groundwater) dalam jumlah masif. Adapun pengisian kembali lapisan akuifer
yang terkuras tidak dilakukan sehingga menyebabkan laju turun muka tanah (land subsidence) di banyak kawasan
berlangsung dengan kecepatan tinggi dengan rentang 4 cm-28 cm/tahun. Angka
tersebut setidaknya menempatkan Jakarta dengan laju penurunan muka tanah tertinggi
di dunia setelah Kota Meksiko dan Bangkok yang akhirnya berhasil menekan laju
turun muka tanah pada 1950-an dan akhir 1990-an.
Jika Pemprov DKI berhasil menghilangkan 16
titik genangan dari 78 titik yang ada setelah banjir besar 2007, tidak
sepenuhnya disadari bahwa dalam saat bersamaan titik-titik genangan baru
bermunculan sebagai dampak dari penurunan muka tanah yang terjadi. Jumlahnya
bahkan lebih banyak daripada jumlah titik genangan yang bisa dihilangkan. Di
lain sisi, akibat penurunan muka tanah setempat, telah terjadi perubahan
slope saluran drainase akibat terjadinya patahan atau tekukan yang kemudian
menjadi tempat akumulasi sedimen dan sampah sehingga menyebabkan aliran air
terhambat dan akhirnya menyebabkan genangan.
Banyak pertanyaan dilontarkan kepada
pemerintah, kenapa masalah banjir, genangan, dan rob di ibu kota NKRI ini
tidak bisa dituntaskan pemerintah (pusat dan DKI Jakarta)?
Solusi Terpadu di
Tengah Kendala
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal
pertama yang harus dilakukan ialah membenahi pola koordinasi penanganan
masalah pengelolaan SDA yang ada saat ini.
Walaupun sudah ada badan koordinasi yang
dilengkapi peraturan pemerintah untuk mengelola kawasan Jabodetabekjur,
mereka selalu tidak berdaya. Kiranya level koordinasi yang ada harus diangkat
ke level yang lebih tinggi setara menteri koordinator. Hal itu bisa ditempuh
dengan penugasan salah satu menteri koordinator yang memegang kendali pembenahan
masalah Ibu Kota dan sekitarnya.
Atau, dengan memperjelas dan memperkuat status
Gubernur DKI sebagai jabatan yang setingkat menteri atau bahkan menteri
koordinator dengan didasarkan pada UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemprov DKI
Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI. Hal itu akan memberikan otoritas dan kemudahan
dalam menangani masalah-masalah perkotaan di DKI Jakarta, mulai hulu hingga
ke hilir.
Pengendalian jumlah air limpasan dari hulu
hingga hilir hanya akan bisa dilakukan jika pembenahan tata ruang dilakukan.
Jika itu sulit dilakukan karena sudah keburu terbangun, upaya intervensi
struktural perlu ditempuh, yaitu dengan membangun dam atau waduk pengendali
dan penyimpanan air bersamaan dengan pengembangan situ-situ atau waduk
retensi kecil di sepanjang DAS. Pilihan itu tentunya akan terkendala oleh
masalah pemilihan lokasi yang efektif dan masalah pembebasan tanah/ lahan
yang merupakan masalah luar biasa sulit di negara ini karena biaya sosial dan
politik semakin tinggi.
Mendorong bahkan kalau perlu `memaksa'
masyarakat untuk membuat sistem resapan air di persil mereka berupa sumur
resapan merupakan pilihan yang harus diambil pemerintah. Kewajiban membuat
sumur injeksi sampai kedalaman akuifer di atas 80 meter kepada entitas bisnis
dan perkantoran berbangunan tinggi sudah tidak bisa ditawar lagi.
Merevitalisasi seluruh sistem pematusan kota
mulai saluran drainase mikro, makro, hingga penghubung sudah tidak bisa
ditunda lagi. Gubernur Jokowi harus segera memastikan setiap ketua RT/RW/lurah/camat
sepenuhnya bertanggung jawab mengawasi masyarakat yang masih membuang sampah
ke badan-badan air.
Apakah pendekatan-pendekatan nonstruktural dan
struktural itu sudah cukup? Jawabannya jelas tidak. Beban populasi kota yang
ada sudah keburu tinggi sekali. Kawasan terbangun pun sudah jauh melebihi
batas rasional dan persoalan pembebasan tanah ialah masalah utama, ditambah
pula penataan kawasan hulu membutuhkan waktu dan biaya lebih besar. Maka,
pendekatan inovatif berupa `terobosan' membangun infrastruktur multifungsi di
bawah tanah yang tentunya tidak terkendala pembebasan lahan--seperti pada
pembangunan KBT yang memakan waktu hampir 38 tahun--merupakan alternatif
lompatan ke depan dari permasalahan yang membelenggu Ibu Kota selama ini.
Gagasan terowongan multifungsi (TMF) merupakan
solusi terpadu yang direncanakan dapat memotong puncak banjir Sungai Ciliwung
dan beberapa titik genangan krusial di sepanjang jalur TMF. Itu dapat
membantu mengatasi kemacetan lalu lintas dan sistem penyaluran air limbah
perkotaan, juga menjadi jaringan utilitas kota bawah tanah seperti yang sudah
lazim di kota-kota besar modern di luar negeri.
Usulan TMF bukanlah usulan dadakan seorang
Jokowi ketika mulai panik menghadapi peristiwa banjir 21, 22, dan 25 Desember
2012 lalu. Kajian pendahuluan terkait dengan desain, kelayakan teknis,
ekonomi, sosial, dan lingkungan TMF untuk diterapkan di Jakarta sudah di
mulai tanpa bantuan pe merintah sejak 2005. Tentunya masalah kondisi
topografi DKI Jakarta yang landai serta sifat dan struktur tanah yang juga
berbeda dengan di Kuala Lumpur dan Singapura sudah merupakan pertimbangan
dalam mengusulkan konsep tersebut untuk dikaji dan diuji lebih lanjut.
Mengintegrasikan jalan tol ke dalam konsep TMF
lebih dimaksudkan untuk membantu meringankan beban kemacetan yang terus
meningkat, memastikan ada pemasukan (revenue)
yang didapatkan untuk mengembalikan investasi yang relatif besar, sekaligus
membiayai operasional dan pemeliharaan seluruh fasilitas TMF.
Pertanyaan yang tinggal ialah apakah kita akan
terus berpolemik dengan pemikiran konvensional semata? Sementara akumulasi
permasalahan Ibu Kota ini terus berlangsung melewati batas nilai
`konvensional' sampai suatu saat kota ini kolaps dan kita tinggal menjadi
contoh sejarah kegagalan bangsa ini? Kiranya di sisa waktu pemerintahan SBY
yang kurang dari dua tahun ini, dia bersama Jokowi berani membuat keputusan
penting dan matang yang juga akan memastikan dignity ibu kota NKRI tercinta
ini.
Pemerintahan Megawati setidaknya sempat
mengukir sejarah dengan memutuskan pembangunan KBT, Jembatan Suramadu, dan
Jalan Tol Cipularang. Akhir kata, tidak ada pembangunan yang tidak berisiko
karena bersikap apatis saja juga akan mendatangkan risiko yang lebih besar
dalam alam yang terus berubah ini. Akan tetapi, berani melangkah untuk
menyelesaikan masalah dengan memperkecil segala risiko jauh lebih baik
daripada sekadar menerima nasib, berpolemik, dan saling menyalahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar