Sabtu, 19 Januari 2013

Quo Vadis Pencalonan Ical


Quo Vadis Pencalonan Ical?
Ridho Imawan Hanafi ;  Peneliti Masalah Politik
dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA, 19 Januari 2013


  
PENCALONAN Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie yang akrab dipanggil Ical sebagai calon presiden (capres) 2014 dari partai berlambang pohon beringin ternyata belum sepenuhnya tuntas. Dalam internal partai, pencalonan pengusaha besar itu masih mengandung setumpuk keragu-raguan.

Ketua Dewan Pertimbangan Pusat DPP Partai Golkar Akbar Tandjung misalnya, mengingatkan partai untuk kembali mencermati elektabilitas Ical yang saat ini tidak kunjung bergerak naik. Elektabilitas pimpinan tertinggi partai itu masih di bawah elektabilitas partai. Ingatan Akbar seperti menyiratkan pesan akan ketidakyakinan kemenangan Ical.

Memang partai itu secara formal telah memutuskan dengan status final terkait dengan pencapresan Ical. Bahkan lewat Rapimnas Partai Golkar pada Oktober 2012, keputusan untuk meneguhkan pencalonan Ical sudah tidak dapat ditawar lagi. Yang menjadi pertanyaan publik, kenapa peneguhan seperti itu tidak segera menghasilkan perbandingan lurus terhadap pengerucutan dukungan dari kalangan internal? Yang tampak perlahan-lahan justru berkebalikan, yakni kemunculan suara-suara yang menginginkan partai perlu kembali mengevaluasi pencalonan Ical.  

Setidak-tidaknya ada dua pembacaan yang bisa dilihat dari suasana ''batiniah'' Golkar saat ini. Pembacaan pertama; meskipun sejauh ini keputusan partai untuk mencalonkan Ical bersifat final, tidak bisa dimungkiri bahwa kerikil sandungan bagi tokoh itu masih belum terbersihkan. Artinya, Ical dan Golkar masih butuh kesolidan internal yang kukuh untuk menapaki kontestasi pilpres. Kesolidan yang kukuh sejauh ini masih rawan goyah. Di antara pengkritik Ical malah masih menyuarakan supaya Gokar melirik calon lain.

Bagi Ical, situasi internal tersebut tentu tidak menguntungkan. Pencalonannya rupanya masih ada yang mempersoalkan. Yang dikhawatirkan adalah, dukungan bagi Ical oleh pengurus internal tidak dilakukan dengan sepenuh hati. Padahal, untuk hal ini Ical membutuhkan satu sikap yang firm, sikap yang satu kata satu perbuatan dari pengurus partai. Baginya, jika di kalangan internal saja sikap politik yang diisi keteguhan dukungan tidak juga muncul bagaimana mereka akan menghadapi lawan.

Hal seperti itu tentu didorong oleh faktor elektabilitas Ical. Faktor ini memperlihatkan adanya jeda penerimaan publik antara Golkar sebagai partai dan Ical selaku pimpinan tertinggi. Dalam berbagai rilis survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga, Golkar memang menempati posisi teratas. Namun, lain hasilnya bagi Ical. Elektabilitas Ical masih kalah bersaing dengan nama-nama seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, bahkan dengan Jusuf Kalla. Artinya, posisi elektabilitas inilah yang mengunggah keraguan.

Bagaimanapun setiap kali hajat pilpres digelar, Golkar akan selalu terbayang memori kekalahan dalam dua pilpres sebelumnya. Pada Pilpres 2004, dan posisi Golkar adalah pemenang pemilu, realitasnya tak bisa mengantarkan capres yang mereka usung untuk meraih kemenangan. Begitu halnya dengan tahun 2009, capres dari Golkar juga tak bisa berbuat banyak dalam pertarungan.

Mengulang Proses

Dua kekalahan seperti itu tentu memberi pelajaran tersendiri bagi Golkar untuk bersikap ekstrahati-hati agar tidak mengulang kekalahan serupa. Tidak hanya itu, saat ini publik juga masih menyimpan tanda tanya besar terhadap sosok Ical.

Menyebut nama Ical bukan tidak mungkin publik akan menautkan pada sejumlah persoalan, seperti lumpur Lapindo Sidoarjo dan kasus pajak yang melibatkan beberapa perusahaannya. Ganjalan publik inilah yang bisa menjadi beban pemberat bagi Golkar untuk mengibarkan nama Ical.

Kedua; mengetahui kondisi seperti itu apa yang akan dilakukan Golkar? Ada dua pilihan bagi Golkar untuk disodorkan: tetap mempertahankan Ical sebagai calon presiden atau merevisi ulang pencalonannya. Terkait dengan pilihan pertama, Golkar dihadapkan dengan risiko peluang-peluang ketidakyakinan kemenangan Ical. 

Berbagai referensi penelitian kuantitatif menunjukkan bahwa peluang Ical untuk menang tidaklah besar. Dengan kata lain, tetap majunya Ical dalam pilpres semestinya juga disadari Golkar bagaimana nanti hasilnya.

Sementara pilihan kedua, Golkar bisa merevisi pencalonan Ical dengan melirik beberapa nama lain yang memiliki elektabilitas yang lebih memungkinkan untuk menang. Hanya, pilihan ini juga bukan tidak mengandung resiko. Salah satunya adalah memunculkan diaspora suara dukungan yang tidak mudah untuk dikendalikan.

Dalam hal ini Golkar bisa seperti mengulang proses awal yang tentu memerlukan energi politik yang tidak kecil. Dua pilihan bagi Golkar memang sama-sama mengandung risiko. Namun pilihan dengan kalkulasi kemenangan setidak-tidaknya sudah menabung satu langkah dan keyakinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar