Jumat, 04 Januari 2013

Indonesia Kekurangan Dokter


Indonesia Kekurangan Dokter
Kartono Mohamad ; Mantan Ketua PB IDI
KOMPAS,  04 Januari 2013

  

Dalam sebuah acara, Wakil Presiden Boediono mengatakan, Indonesia kekurangan 12.000 dokter spesialis mata. Baru-baru ini Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam mengungkapkan, Indonesia kekurangan 20.000 dokter spesialis penyakit dalam.

Retorika semacam ini bukan hal baru. Sejak 30 tahun yang lalu, setiap organisasi perhimpunan dokter spesialis mengadakan kongres diungkapkan betapa jumlah dokter spesialis dalam bidang mereka masih sangat kurang. Namun, sehabis kongres tak tampak rencana atau usul mereka secara konkret menyelesaikan soal itu.

Dalam hal dokter umum pun, Wakil Menteri Kesehatan pernah mengatakan bahwa jika sistem jaminan sosial nasional akan dilaksanakan, akan terjadi kekurangan dokter umum sekitar 15.000 orang. Di awal 1950-an, Bung Karno juga pernah mengatakan bahwa jumlah dokter di Indo- nesia masih sangat kecil. Salah satu penyebabnya ialah jumlah lulusan dokter tiap tahun sangat kecil akibat sistem pendidikan yang membebaskan mahasiswa menentukan sendiri kapan ingin ujian.

Pemerintah RI kemudian mengadakan kerja sama dengan berbagai universitas di Amerika Serikat yang memperkenalkan sistem ”studi terpimpin” untuk fakultas kedokteran Indonesia. Sejak itu mahasiswa wajib mengikuti jadwal belajar dan ujian yang sudah ditetapkan. Pendidikan kedokteran yang semula tujuh tahun dipangkas menjadi enam tahun. Dengan studi terpimpin itu, Fakultas Kedokteran UI untuk kali pertama meluluskan dokter sebanyak 100 orang pada 1959. Ada solusi yang secara konsekuen dilaksanakan.

Solusi serupa pada saat sekarang tentu tak bisa lagi diulang. Pertama, hampir semua fakultas kedokteran negeri melulus- kan lebih dari 100 dokter setiap tahunnya. Jumlah fakultas kedokteran negeri dan swasta sekarang 74 buah. Secara keseluruhan setiap tahun dihasilkan lebih dari 2.000 dokter baru. Namun, pertambahan penduduk yang perlu dilayani juga besar dan kesadaran mencari pertolongan medis modern juga meningkat. Maka, kebutuhan akan dokter juga semakin terasa akut.

Akan tetapi, penambahan dengan meningkatkan jumlah lulusan saat ini kurang tepat sebab tak semua fakultas kedokteran yang ada mampu menghasilkan lulusan dengan mutu yang baik. Banyak kekurangan fakultas kedokteran, terutama yang swasta, sehingga mutu lulusannya diragukan. Di samping itu juga tak semua fakultas kedokteran negeri mampu menghasilkan dokter dengan mutu cukup baik.

Tidak Sendirian

Kekurangan akan jumlah dokter untuk pelayanan garis depan (primer) tidak hanya dirasakan Indonesia. Bahkan, AS juga menyatakan masih memerlukan 52.000 dokter untuk pelayanan primer. Kekurangan itu akan makin terasa kalau kebijakan Obamacare benar-benar dilaksanakan. Menurut standar AS, seorang dokter pelayanan primer sebaiknya melayani 450 keluarga. Untuk mengatasi kekurangan itu, Pemerintah AS akan menempatkan lebih banyak perawat di pelayanan primer dan memperluas wewenang mereka dalam memberikan terapi.

India juga merasa kekurangan dokter umum. Meskipun India banyak menghasilkan dokter yang setara dengan pendidikan dokter di Inggris, banyak di antara mereka yang kemudian hijrah ke negara lain mengembangkan ilmu, karier, atau mencari rezeki. Menurut Menteri Kesehatan India (baru-baru ini), bila diikuti rencana yang ideal, India memerlukan tambahan 1 juta dokter umum lagi. Hal itu dapat dimengerti mengingat luasnya negara itu serta jumlah penduduk yang hampir 1 miliar. Untuk mengatasi kekurangan itu, India merencanakan menempatkan Rural Medical Assistant (RMA) di pusat layanan primer di pelosok-pelosok.

Bagaimana dengan Indonesia: solusi apa yang akan diambil pemerintah? Memperbanyak lulusan tanpa pengendalian mutu fakultas kedokteran akan menjadi bumerang di kemudian hari. Sebab, begitu terjun ke lapangan, dokter itu diluluskan dari fakultas mana tidak dapat lagi dibeda- kan oleh masyarakat. Apakah dokter lulusan universitas A punya ilmu, keterampilan, dan sikap yang sama dengan lulusan universitas B?

Dalam menentukan jumlah yang diper- lukan pun kita tak dapat menggunakan standar seperti AS. Di AS tampaknya tugas Primary Care Phycisian memang menekankan segi kuratif. Fungsi preventif pada umumnya dilakukan pemerintah melalui informasi dan pendidikan. Namun, tingkat pendidikan rakyat sudah cukup tinggi sehingga informasi dan edukasi mudah diserap oleh rakyatnya.

Indonesia harus terlebih dahulu menetapkan prioritas penyediaan pusat layanan primer, seperti puskesmas sekarang ini. Apakah mengutamakan layanan kuratif sehingga kehadiran dokter di sana mutlak diperlukan dan—kalau tidak cukup—dokter dapat diganti oleh, misalnya, perawat dengan tingkat pendidikan D-3 dan tambahan wewenang. Seperti yang akan dilakukan Pemerintah AS? Ataukah menekankan fungsi puskesmas sebagai pusat penyehatan masyarakat yang menekankan fungsi preventif dan promotif, seperti yang dicita-citakan Dr Leimena pada 1952?

Kalau penekanannya lebih ke preventif dan promotif, mungkin tak perlu ada dokter di sana. Adapun yang lebih diperlukan ialah tenaga yang memiliki ilmu dan keterampilan menjaga agar rakyat tetap sehat dan tidak sampai jatuh sakit. Kalaupun sakit dan perlu pertolongan medis, mereka dapat dirujuk ke pusat pelayanan kuratif terdekat.

Dokter Spesialis

Demikian pula dengan ”keluhan” perkumpulan dokter spesialis yang mengatakan diperlukan sekian ribu dokter spesialis. Untuk menambah jumlah, perlu dipikirkan tempat kerja mereka. Pada umumnya dokter spesialis bekerja di rumah sakit yang memiliki sarana penunjang kerja dokter spesialis. Maka, penambahan jumlah dokter spesialis harus juga disesuaikan dengan jumlah rumah sakit yang demikian. 

Penambahan jumlah spesialis radiologi, misalnya, harus juga disertai dengan penambahan rumah sakit yang mempunyai sarana pemeriksaan radiologi.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap perhitungan jumlah dokter yang diperlukan adalah otonomi daerah dan pemahaman kepala daerah mengenai tugas dokter. Kepala daerah yang lebih melihat sarana layanan medik sebagai sumber PAD tentu punya kebutuhan dokter yang berbeda dengan kepala daerah yang lebih mengutamakan penyehatan rakyat. Maka, untuk Indonesia ternyata menghitung kebutuhan dokter tidaklah sederhana. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar