Kampung
Berlabel Perusahaan
Silih Agung Wasesa ; Pengajar Postgraduate Program Universitas
Paramadina
|
KOMPAS,
04 Januari 2013
Menarik membaca berita tentang Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta gandeng swasta perbaiki kampung kumuh (Kompas,
18/12/2012) melalui program-program CSR perusahaan yang mampu mencapai Rp
14,1 triliun per tahun.
Dengan panglima pemerintahan yang baru, ini
tentu sebuah gebrakan. Sekalipun selama ini digandeng ataupun tidak,
perusahaan-perusahaan tersebut telah memiliki program tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR).
Persoalannya, mampukah Pemprov DKI
menyelaraskan kebutuhan kampung-kampung kumuh dengan brand value setiap
perusahaan? Sebab, kalau Pemprov DKI tak memiliki konsep yang jelas, terutama
realisasinya, perusahaan-perusahaan yang ikut serta hanyalah perusahaan-
perusahaan yang memiliki ”utang budi” secara langsung dengan DKI. Sementara
perusahaan-perusahaan lain memilih untuk mengerjakan CSR sendiri-sendiri,
seperti yang selama ini mereka lakukan.
Tanpa bermaksud menihilkan program kerja
sama ini, rasanya sejak awal Pemprov DKI harus mengubah total paradigma
tentang dana CSR di perusahaan terlebih dahulu. CSR bukanlah dana sisa yang
bisa dipakai begitu saja tanpa
pertanggungjawaban konsep yang kuat. CSR adalah dana dinamis yang
pencairannya harus berupa program yang mampu menunjang nilai merek perusahaan
itu sendiri. Bahwa ada program CSR yang bersifat karitatif, diberikan begitu
saja bagi yang membutuhkan, itu tidak bisa dimungkiri. Sebutlah seperti
bencana alam dan kelaparan.
Secara esensial gerakan CSR harus ”kembali”
ke perusahaan dalam bentuk penguatan nilai merek/label perusahaan itu
sendiri. Baik nilai-nilai korporasi maupun nilai-nilai produk yang mereka
miliki. Bagaimanapun CSR harus mendukung keberlanjutan perusahaan sehingga
CSR itu harus berkelanjutan, sekalipun penggagas CSR tak lagi mengucurkan
dananya.
Di Jakarta ada ribuan program CSR
perusahaan yang terus berjalan tanpa peduli digandeng atau tidak oleh
pemerintah. Sekadar menyebutkan contoh, beberapa di antaranya: Unilever punya
Green & Clean yang memperbaiki kampung-kampung jadi hijau dan bersahabat;
Toyota punya Toyota Eco Youth untuk memberdayakan anak-anak muda cinta
lingkungan; Sido Muncul juga memiliki dana Rp 12 miliar khusus untuk
pengentasan masyarakat miskin dan bantuan bencana alam; Tupperware giat
dengan pendidikan anak-anak jalanan; Garudafood memiliki Garudafood Sehati yang khusus menunjang pendidikan; Merck punya
Click Hati yang menggugah kita untuk peduli.
Ubah Paradigma
Tantangannya, mampukah Pemprov DKI menarik
hati merek-merek di atas untuk jadi bagian dari pemberdayaan kampung kumuh?
Lebih berat lagi, mampukah Pemprov DKI menyelaraskan tujuannya untuk
memberdayakan kampung kumuh dengan visi merek-merek perusahaan tersebut saat
melakukan CSR?
Sekali lagi, ini persoalan paradigma
berpikir tentang CSR pejabat-pejabat Pemprov DKI. Bila paradigmanya masih
belum diubah, bahwa CSR hanya berupa uang sisa hasil usaha, rasanya program
pembenahan kampung kumuh hanya akan berakhir pada meja penandatanganan MOU
yang diliput media massa. Sementara kampung kumuhnya itu tetap saja tidak
berubah.
Bukan berarti perubahan paradigma pejabat
harus dilakukan dengan cuci otak dan pelatihan- pelatihan yang menguras
energi. Cukup dengan memilah-milah persoalan yang harus ditangani dalam
kampung kumuh dan didiskusikan dengan perusahaan yang memiliki program CSR.
Katakanlah kampung-kampung kumuh butuh
pendidikan, air bersih, pengembangan infrastruktur, dan pemberdayaan ekonomi, pemerintah daerah tinggal
mengategorisasikan kebutuhan tersebut dengan merek yang ada. Katakanlah
perbaikan prasarana kampung diselaraskan dengan Green & Clean,
penghijauan kepada Toyota, pendidikan dimodifikasi sesuai kebutuhan CSR
Tupperware, Garudafood, lantas pemberdayaan ekonomi diberikan ke BRI,
Mandiri, ataupun BNI. Maaf, ini sekadar contoh, sama sekali tak bermaksud
mendukung merek-merek di atas.
Bila perlu, lakukan secara terbuka dan
transparan melalui program kompetisi kampung berlabel perusahaan. Siapa pun
boleh mengajukan usul yang memikat untuk memperbaiki kampung kumuh di
Jakarta. Sebagai imbalan, jadikan kampung itu sebagai kampung berlabel
perusahaan bersangkutan karena memang mereka yang membinanya. Mirip pola build,
operate, and transfer (BOT) seperti yang selama ini dilakukan di
proyek-proyek infrastruktur publik.
Hasilnya? Perusahaan pemilik merek juga
akan senang, Pemprov DKI Jakarta pun akan membangun tanpa harus banyak
bergantung pada dana APBD. Slogan Jokowi-Basuki untuk membangun Jakarta
bersama-sama pun akan tidak hanya bergaung semasa kampanye belaka.
Ini sekadar usul ringan, siapa tahu
berguna. Rasanya akan banyak juga yang senang kalau kemudian kita mendengar
nama Kampung Garudafood, Kampung Toyota, Kampung Mandiri, ataupun Kampung
Sido Muncul. Atau lebih simpel lagi: Gerbang Nestle, Desa Mayora, dan Kawasan
Orang Tua Group. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar