Selasa, 15 Januari 2013

Harmoni Pusat-Daerah


Harmoni Pusat-Daerah
Irfan Ridwan Maksum ;  Anggota DPOD RI; 
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik FISIP UI
KOMPAS, 15 Januari 2013

  

Suhu politik di 2013 diperkirakan memanas karena faktor persiapan Pilpres 2014. Di samping kegaduhan politik, manajemen pemerintahan dipenuhi transaksional yang dapat mengancam kinerja pemerintahan SBY-Boediono.
Sebagai negara dengan penduduk dan luas wilayah yang besar, dampak paling parah dari variabel politik yang memanas antara lain adalah mesin manajemen hubungan pusat-daerah yang terancam. Sinyalemennya adalah ketegangan pusat-daerah yang akan jadi sumber tumpulnya mesin birokrasi nasional secara akumulatif, sampai-sampai Mochtar Naim (Kompas, 7/1/2013) meragukan efektivitas NKRI.
Page dan Goldsmith (1987) menuliskan, dalam mengkaji hubungan pusat-daerah di berbagai negara-bangsa terdapat tiga indikator. Pertama, berbagai fungsi yang diberikan kepada daerah otonom. Kedua, seberapa besar diskresi yang terkandung dalam wewenang yang terdapat dalam berbagai fungsi yang diemban daerah otonom. Ketiga, akses yang dimiliki daerah otonom untuk melakukan kontak dengan berbagai pihak di tingkat nasional terkait jalannya otonomi daerah.
Hubungan pusat-daerah yang tidak tegang ditandai kejelasan fungsi-fungsi yang diemban oleh daerah otonom, tidak terletak pada sedikit atau banyaknya fungsi. Kejelasan fungsi membuat pemerintahan nasional dan lokal berjalan harmonis.
Ketegangan yang rendah antara pusat dan daerah juga ditandai rendahnya diskresi yang dilakukan daerah, di mana acuan kegiatan tertampung dengan baik dalam rincian fungsi yang ada. Selain itu, akses yang begitu bebas tersedia dan dijamin secara formal dengan baik dan transparan menandai rendahnya ketegangan hubungan pusat-daerah.
Sebaliknya, ketegangan hubungan pusat-daerah pun dapat terbaca dari ketiga indikator tersebut. Banyak fungsi yang tidak jelas dan tidak tuntas dibiarkan. Diskresi sering dikembangkan daerah otonom dan luas tanpa arah. Akses yang rendah dan lebih banyak akses informal dalam menangani berbagai komunikasi manajemen pemerintahan. Hubungan pusat-daerah dalam kondisi seperti ini mengancam efektivitas pemerintahan.
Kondisi demokratis atau otoritarian tak menjamin hubungan pusat dan daerah ke dalam suasana tegang atau harmonis. Dengan demikian, dalam proses demokratisasi seperti saat ini, di mana hubungan pusat-daerah jadi longgar, sebenarnya dapat ditengarai elemen-elemen mana yang merusak hubungan tersebut dan berpotensi mendorong ketegangan hubungan pusat-daerah sehingga mengancam manajemen pemerintahan NKRI.
Deteksi Dini
Dari segi fungsi, Indonesia menganut rincian dan begitu banyak rincian yang dibuat dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia, tetapi tak jelas. Inilah indikator fungsi yang tidak mendukung keharmonisan hubungan pusat-daerah. Kalaupun dibuat sederhana, jika tetap tidak menghasilkan model yang jelas fungsinya, tetap akan mengarah pada ketegangan pusat-daerah.
Diskresi bagi daerah otonom di berbagai fungsi sangat terbuka lebar. Coba kita teliti bidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, kehutanan, pertambangan, dan lain-lain. Umumnya daerah enggan mengambil rincian urusan yang menghabiskan uang. Kalau menghabiskan uang, daerah otonom meminta pusat ikut ambil bagian. Jika hal ini tak dipenuhi, hasilnya adalah konflik terbuka antara aktor di pusat dan daerah melalui berbagai akses.
Di satu sisi undang-undang sektoral jadi dasar bagi pemerintah pusat memangkas urusan yang cenderung ditarik daerah jika memiliki potensi keuangan negara. Di sisi lain, urusan yang membuat tidak nyamannya penyelenggara urusan dari pusat cenderung dilepas. Namun, diciptakan sumber keuangan bagi unit pusat tersebut dengan dalih membantu daerah yang kini disebut dana ”dekonsentrasi”.
Sering kali antarsektor di pusat tak berkoordinasi karena mementingkan urusan masing-masing agar daerah otonom tidak memiliki kesempatan berpikir untuk mengembangkan diskresi. Ketegangan pun tidak terhindar.
Di era sekarang, amunisi daerah untuk memprotes besar. Mereka memiliki akses dari berbagai penjuru. Ketegangan antara pusat dan daerah pun gampang muncul melalui indikator-indikator di atas.
Kata kunci untuk mengatasinya adalah harus diciptakan kekompakan antar-elemen. Potret komprehensif indikator-indikator di atas harus betul-betul dilakukan dengan teliti.
Dari potret tersebut kemudian dikembangkan sistem pemerintahan yang seminimal mungkin menimbulkan ketegangan hubungan pusat-daerah. Namun, memang hal ini sulit dilakukan di tengah-tengah suasana menjelang pemilu.
Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri adalah mesin yang diharapkan sepenuhnya mengambil alih pekerjaan ini. Kemdagri harus terus-menerus menguatkan sistem deteksi dininya terkait hubungan pusat-daerah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar