Awal Musim
Semi di Irak
Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
|
KOMPAS,
15 Januari 2013
Dalam beberapa minggu
terakhir, Irak dilanda aksi unjuk rasa besar-besaran, khususnya di
wilayah-wilayah yang menjadi basis kelompok Sunni, seperti daerah Anbar,
Kirkuk, bahkan juga di Baghdad.
Ada
banyak hal yang menjadi tuntutan para pengunjuk rasa, mulai dari pencabutan
undang-undang antiteror yang diberlakukan pada 2005, pembebasan para tahanan
politik dari kaum Sunni, penghentian praktik politik diskriminasi yang
bersifat sektarianistik, hingga pemunduran dan pembubaran pemerintahan yang
dinakhodai Perdana Menteri Nouri al-Maliki.
Kekuatan-kekuatan
politik di Irak mendesak agar pemerintahan Nouri al-Maliki merespons cepat
tuntutan para pengunjuk rasa. Jika tidak, bukan tidak mungkin gerakan protes
yang marak terjadi di Irak dalam beberapa waktu terakhir akan berkembang
menjadi awal dari musim semi di negara itu sebagaimana telah terjadi di
sejumlah negara Arab, seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.
Dalam
perkembangan terkini dilaporkan, Parlemen Irak menggelar pertemuan darurat
untuk merespons tuntutan para pengunjuk rasa (aljazeera.net, 6/1/2012).
Pada
tahap tertentu, apa yang terjadi di Irak dalam beberapa minggu terakhir dapat
disebut sebagai penghakiman rakyat atas para elite, khususnya para elite yang
menjadi bagian dari pemerintahan Nouri al-Maliki.
Hal
ini terjadi karena para elite politik negeri yang kesohor dengan kisah 1001
malam itu kerap terjebak dalam konflik politik yang tak jarang berakhir di
jalan buntu, khususnya antara kubu koalisi negara hukum (I’tilaf Daulatul
Qanun) yang dipimpin Nouri al-Maliki dan kubu List Iraqiyah (Al-Qaimah
al-Iraqiyah) pimpinan Iyad Allawi, yang juga mendapatkan dukungan dari
kelompok Sunni.
Setidaknya
ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya krisis politik di Irak saat ini.
Pertama, kekuatan politik yang hampir berimbang. Pascaruntuhnya rezim Saddam
Hussein dengan Partai Baats-nya, Irak menjadi negara Arab pertama yang
merintis proses demokratisasi yang ditandai dengan munculnya
kekuatan-kekuatan politik secara seimbang. Tidak ada lagi kekuatan politik
yang dominan seperti kekuasaan Partai Baats pada era Saddam Hussein.
Hal
ini tentu tidak terlepas dari peran Amerika Serikat yang menyerang dan
menghancurkan negeri itu pada 2003.
Bagi
AS, pembentukan demokrasi di Irak menjadi sangat penting setelah mereka gagal
membuktikan tuduhan Irak mempunyai senjata pembunuh massal, sehingga AS tidak
mencoreng mukanya sendiri di depan masyarakat dunia sebanyak dua kali. AS
kerap menggunakan dua alasan di atas dalam menyerang Irak, yaitu alasan
senjata pembunuh massal dan demokratisasi.
Hasil
pemilu terakhir di negara itu (2010) adalah salah satu contoh dari tidak
adanya kekuatan politik yang menjadi pemenang secara mutlak.
Kubu
koalisi negara hukum dan koalisi List Iraqiyah sebagai dua kekuatan politik
utama di sana mendapatkan kursi yang hampir sama di parlemen, yaitu 91 kursi
bagi List Iraqiyah dan 89 kursi untuk koalisi negara hukum dari total 325
kursi di parlemen. Sisanya didapat oleh kekuatan politik lain, seperti
aliansi nasional Irak (70 kursi), aliansi Kurdi (50 kursi), kelompok
keagamaan, dan yang lainnya.
Komposisi
kekuatan yang hampir merata ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi,
komposisi seperti itu bisa dijadikan sebagai modal awal untuk membangun
demokrasi di Irak yang lebih stabil.
Kekuatan-kekuatan
politik yang ada bisa saling mendukung untuk menciptakan pemerintahan yang
pro-rakyat. Namun, di sisi lain, komposisi seperti ini juga bisa menimbulkan
politik saling menyandera mengingat adanya peta kekuatan dan dukungan yang
hampir seimbang.
Inilah
kurang lebih yang terjadi di Irak pasca-pemilu 7 Maret 2010.
Kekuatan-kekuatan politik yang ada acap saling bertabrakan, saling tidak
percaya, dan saling menyandera. Beberapa bulan lalu, contohnya, Nouri
al-Maliki melakukan kesepakatan dengan Rusia untuk membeli senjata dari Rusia
senilai lebih dari 4,2 miliar dollar AS. Nouri al-Maliki mengklaim pembelian
senjata ini sangat penting untuk memperkuat aparat keamanan dan persenjataan
Irak (alhayat, 9/10/2012).
Namun,
kesepakatan pembelian senjata itu justru membuat konflik internal Irak
semakin kompleks. Kalangan oposisi (khususnya dari kubu List Iraqiyah)
menuduh pembelian senjata itu untuk memperkuat politik otoritarian yang dimainkan
Nouri al-Maliki terhadap lawan politiknya.
Bahkan,
pembelian senjata itu kian memperpanas hubungan antara pemerintahan nasional
Irak dan pemerintahan wilayah Kurdistan yang memiliki otonomi khusus,
mengingat pembelian senjata itu kerap dianggap para elite Kurdistan sebagai
upaya Baghdad melumpuhkan mereka secara paksa.
Ibarat
menyiram api dengan bensin, elite pemerintahan Irak kerap merespons kritik
kelompok oposisi dengan arogansi, seperti dilakukan terhadap pengunjuk rasa
sejak akhir Desember lalu. Pemerintahan Nouri al-Maliki sempat mengancam
membubarkan paksa pengunjuk rasa.
Bahkan
tak jarang Pemerintah Irak menggunakan politik represif terhadap lawan-lawan
politik dengan memanfaatkan undang-undang antiteror, seperti penangkapan para
pengawal Menteri Keuangan Irak, Rafi’ al-Isawi, dan upaya penangkapan mantan
Wakil Presiden Irak Thariq Hasyimi yang divonis hukuman mati oleh pengadilan
Irak.
Kedua,
konflik Sunni dan Syiah. Mungkin bukan sebuah kebetulan, mereka yang menjadi
korban politik otoritarian pemerintahan Nouri al-Maliki adalah tokoh-tokoh
Sunni, seperti Thariq Hasyimi. Akibatnya, kekuatan-kekuatan politik Sunni di
negara itu semakin antipati dan turun ke jalan untuk memprotes pemerintah
seperti terjadi sekarang.
Persoalan
Sunni dan Syiah merupakan persoalan yang sangat sensitif mengingat adanya
lembaran konflik yang sedemikian tebal terkait dua sekte terbesar dalam Islam
itu. Khususnya, di negara-negara yang dihuni dua pengikut ini secara
seimbang, seperti Irak.
Mungkin
karena alasan itulah, hingga saat ini di Irak tak ada data pasti yang
disepakati terkait jumlah masyarakat Muslim Sunni dan Syiah. Masing-masing
kerap menolak data yang menegaskan ”pesaingnya” lebih banyak secara populasi.
Dalam
perjalanannya yang terus berlangsung hingga kini, musim semi Arab
”menyerempet” luka lama dalam bentuk konflik Sunni-Syiah ini, yaitu ketika
Bahrain sempat bergejolak dan Suriah terus bergejolak hingga sekarang.
Banyak
penduduk Bahrain dari kalangan Syiah, tetapi dipimpin segelintir elite Sunni.
Sebaliknya, mayoritas penduduk Suriah adalah Sunni, tetapi dipimpin
segelintir elite Syiah.
Intervensi
negara-negara Arab Teluk (GCC) memang berhasil ”mengakhiri” secara paksa
musim semi yang pernah terjadi di Bahrain. Meski demikian, sampai hari ini
GCC dan sekutunya dari negara-negara Barat belum berhasil melengserkan Bashar
al-Assad dalam konteks Suriah yang didukung kuat oleh Iran Rusia.
Dalam
konteks konflik Syiah-Sunni dan Iran-Arab, krisis politik yang terjadi di
Irak saat ini sangat menarik untuk dicermati. Di satu sisi, krisis ini
semakin memperkuat nuansa konflik sektarian (Syiah dan Sunni) terhadap musim
semi Arab.
Di
sisi lain, musim semi Arab yang sudah berbau sektarian ini semakin dekat ke
”kiblat” masing-masing, yaitu Iran dalam konteks Syiah dan GCC (khususnya
Arab Saudi) dalam konteks Sunni.
Jika
segenap elite Irak dan pihak-pihak terkait lainnya tidak segera mengambil
langkah cepat dan tepat, bukan tidak mungkin krisis politik yang terjadi di
negara itu akan semakin membuka lebar luka lama yang ada antara kelompok
Sunni dan Syiah.
Krisis
ini tak hanya menjadi pertanda bagi masuknya musim semi ke Irak, tetapi juga
bisa menjadi awal bagi terjadinya musim semi sektarian antara Sunni dan
Syiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar