Sisi Lain
Pelemahan Rupiah
Helmi Arman ; Country Economist Citibank Indonesia
|
KOMPAS,
15 Januari 2013
Pengalaman tahun 2012
menunjukkan, dampak negatif dari pelemahan nilai tukar bisa diminimalkan
dengan mengawal pergerakan secara bertahap.
Apabila
volatilitas harian nilai tukar dan likuiditas pasar tetap terjaga, tidak
perlu khawatir nilai rupiah akan menyentuh level Rp 10.000 per dollar AS.
Apalagi
kinerja perekonomian Indonesia menggembirakan. Menurut Badan Pusat Statistik,
tahun 2012 inflasi 4 persen dan pertumbuhan ekonomi 6 persen. Namun,
pencapaian tersebut bukanlah tanpa biaya. Akibat kuatnya impor di tengah
turunnya harga komoditas ekspor Indonesia, seperti batubara dan kelapa sawit,
tahun 2012 untuk pertama kalinya neraca perdagangan Indonesia defisit
pasca-1998.
Maka,
nilai tukar rupiah mengalami tekanan dan terdepresiasi melebihi Rp 9.700 per
dollar AS, dari posisi terkuat Rp 8.500 pada pertengahan 2011. Pelemahan
nilai tukar itu akibat tingginya kebutuhan valas untuk impor.
Harga
beberapa komoditas ekspor belakangan memang perlahan membaik. Namun, tekanan
terhadap nilai tukar rupiah belum hilang total. Data terakhir menunjukkan
neraca perdagangan (November 2012) masih negatif, didorong oleh defisit
neraca perdagangan minyak dan gas yang membengkak hingga 1,4 miliar dollar
AS. Ini seiring
meningkatnya
konsumsi gas dan bahan bakar minyak domestik, dampak kebijakan bensin murah.
Menyentuhnya
nilai tukar rupiah ke level Rp 10.000 per dollar AS dikhawatirkan membuat
Indonesia resesi, seperti pengalaman 1998, 2005, dan 2008 saat nilai tukar
menembus Rp 10.000.
Alergi
psikologis terhadap level 10.000 itu menyulitkan karena pada saat yang sama
Bank Indonesia (BI) juga ingin mempertahankan cadangan devisa di atas 100
miliar dollar AS. Akibatnya, BI memiliki dua tujuan yang sulit dicapai di
tengah tingginya tekanan neraca perdagangan, yakni mencegah penurunan
cadangan devisa serta mengerem pelemahan rupiah. BI terlihat mengirit
cadangan devisa yang dilepas ke pasar dalam intervensi hariannya, yang
membuat jumlah transaksi atau likuiditas di pasar valas turun cukup signifikan.
Dalam
jangka panjang, kondisi pasar yang demikian bisa berakibat kontraproduktif.
Pelaku pasar, baik investor sektor riil maupun portofolio, akan memandang
rupiah sebagai mata uang yang tidak likuid. Hal ini membuat pasar rentan
terhadap isu kontrol devisa dan kalangan perbankan sulit melaksanakan
manajemen risiko. Likuiditas pasar valas yang ketat juga bisa menaikkan biaya
lindung nilai (hedging) perusahaan sektor riil.
Sebenarnya
’alergi’ pelemahan ke level 10.000 tidak perlu berlebihan. Pelemahan rupiah
bisa menjadi sarana penyesuaian untuk mengurangi impor sekaligus kontrol
terhadap peningkatan utang valas baru. Belajar dari pengalaman, dampak
depresiasi rupiah bisa diminimalkan apabila pelemahannya terjadi tidak
tiba-tiba (orderly).
Memang,
saat rupiah melemah melampaui level Rp 10.000 per dollar AS tahun 2005 dan
2008, tingkat keyakinan masyarakat dan pelaku usaha terhadap perekonomian
turun tajam. Indeks keyakinan konsumen dan indeks bisnis anjlok.
Namun,
saat ini tingkat keyakinan konsumen dan pelaku usaha terjaga cukup baik dan
malah meningkat walaupun rupiah telah melemah lebih dari 14 persen
dibandingkan pertengahan 2011. Padahal, sebagaimana tahun 2005 dan 2008,
tahun lalu sempat terjadi penarikan modal investor asing yang signifikan,
ditandai dengan defisit pada neraca pembayaran Indonesia paruh pertama tahun
lalu.
Hal
penting yang membedakan episode pelemahan rupiah sekarang ini dengan
sebelumnya adalah depresiasi terjadi secara gradual. Ini seiring dengan
kebijakan pengelolaan nilai tukar BI yang relatif lebih baik dengan cadangan
devisa lebih kuat.
Selain
itu dampak pelemahan rupiah terhadap perekonomian dipengaruhi juga oleh
pergerakan nilai tukar rupiah secara ’riil’, yang berarti memperhitungkan
perubahan harga barang-barang impor di negara asal. Akibat lemahnya
pertumbuhan ekonomi global, pabrik di negara mitra dagang Indonesia, termasuk
RRC, kelebihan kapasitas sehingga mereka menurunkan harga barang yang
diekspor.
Ke
depan, seyogianya harga bahan bakar minyak dinaikkan secara signifikan agar
defisit neraca perdagangan migas mengecil dan tekanan terhadap nilai tukar
rupiah mereda. Bank sentral hendaknya terus menjaga volatilitas nilai tukar
rupiah dan di samping itu juga harus terus menjaga likuiditas pasar valas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar