Ekonomi
Tumbuh, Rupiah Lemah
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS,
21 Januari 2013
Perekonomian Indonesia sekali lagi
mendemonstrasikan daya tahannya menangkal krisis tahun 2012. Saat hampir
semua negara zona euro kontraksi, dengan rata-rata minus 0,5 persen, China
melambat menjadi 7,6 persen, India menjadi ke 5,8 persen, Indonesia bisa
tumbuh 6,3 persen. Negara emerging market
Peristiwa ini merupakan
ulangan kasus krisis ekonomi global tahun 2009. Ketika semua negara emerging
market menderita kontraksi, hanya tiga negara yang tumbuh positif: China,
India, dan Indonesia. Waktu itu produk domestik bruto Indonesia tumbuh 4,5
persen.
Selain pasar domestik yang
kuat, Indonesia beruntung mendapatkan rezeki dari kenaikan harga produk
primer (pertambangan dan perkebunan) sehingga surplus perdagangan 22 miliar
dollar AS. Surplus perdagangan kita dalam beberapa tahun terakhir adalah 40
miliar dollar AS (tahun 2006 dan 2007), 11 miliar dollar AS (2008), 22 miliar
dollar AS (2010), dan 26 miliar dollar AS (2011).
Namun, situasi itu kini
berubah. Untuk pertama kalinya, neraca perdagangan defisit. Hingga November
2012, defisit perdagangan mencapai 1,3 miliar dollar AS. Sementara itu,
transaksi berjalan juga defisit 18,5 miliar dollar AS (per September 2012).
Situasi ini mirip tahun 1995-1996, atau menjelang krisis 1997-1998, saat
defisit transaksi berjalan melebar, yang sering disebut perekonomian mengalami
”kepanasan” (overheating).
Kondisi kepanasan dapat
dideskripsikan sebagai perekonomian mengalami pertumbuhan tinggi, yang
didorong oleh konsumsi dan investasi. Namun, hal itu mengandung konsekuensi
kenaikan impor barang dan jasa. Kenaikan impor tidak hanya untuk barang-
barang konsumsi, tetapi juga mesin-mesin, bahan baku dan bahan penolong,
hingga pesawat terbang. Mobilitas manusia yang bepergian ke luar negeri juga
membuat defisit transaksi di sektor jasa kian membesar.
Defisit transaksi berjalan
yang bisa menembus 20 miliar dollar AS akhir tahun 2012 berakibat kenaikan
permintaan atas dollar AS di pasar uang. Sementara itu, cadangan devisa Bank
Indonesia (BI) sebesar 112,7 miliar dollar AS akhir tahun 2012. BI mungkin
tidak banyak melakukan operasi pasar.
Cadangan devisa merosot
cukup tajam dari posisi tertinggi 124 miliar dollar AS pertengahan 2011,
tetapi termasuk stabil pada semester kedua 2012. Stabilitas ini boleh jadi
karena minimnya BI memasok valuta asing ke pasar. Tujuannya jelas: selain untuk
menjaga posisi cadangan devisa agar tidak merosot, juga menunjukkan kehendak
BI yang mengizinkan rupiah mengalami depresiasi.
Depresiasi rupiah
merupakan keniscayaan. Tahun 1995-1996 kita mengalami lonjakan defisit
transaksi berjalan, maka rupiah pun terkoreksi tajam saat krisis 1997-1998.
Mekanisme ini bisa dipahami sebagai proses koreksi terhadap rupiah yang
sebelumnya terlalu mahal (overvalued).
Situasi sekarang mirip.
Seiring datangnya arus liberalisasi yang deras, impor barang naik tajam.
Impor barang tahun 2012 diperkirakan 190 miliar dollar AS, atau memecahkan
rekor tertinggi 177 miliar dollar AS tahun 2011. Sebaliknya, ekspor tahun
2012 diperkirakan 189 miliar dollar AS, turun tajam dari 203 miliar dollar AS
(2011).
Situasi menjadi kian sulit
ketika lifting minyak turun. Saat ini kita hanya bisa memproduksi 830.000
barrel per hari, jauh dari target 900.000 barrel per hari dalam APBN 2013.
Dengan produksi yang kian rendah, Indonesia harus lebih banyak mengimpor
minyak, karena konsumsi kita 1,3 juta barrel per hari. Dengan kata lain,
neraca perdagangan makin tertekan tahun 2013.
Apa yang bisa kita
lakukan? Upaya menekan konsumsi dan impor minyak saya yakin tidak bisa
dilakukan hanya dengan menetapkan kuota bagi BBM bersubsidi. Berapa pun
kuotanya, akan jebol. Ada dua penyebabnya. Pertama, konsumsi terus meningkat,
seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk, yang tidak diikuti dengan
upaya penghematan. Kedua, disparitas harga BBM di Indonesia dengan negara
tetangga akan sangat rawan adanya penyelundupan.
Jika kebijakan kuota tidak
lagi efektif, satu-satunya cara adalah menaikkan harga BBM bersubsidi. Ada
usulan lain, misalnya mewajibkan mobil tahun produksi 2006 ke atas agar
menggunakan BBM nonsubsidi. Namun, implementasinya akan sulit.
Yang lebih mudah
pengawasannya adalah tetap memberikan subsidi penuh kepada sepeda motor,
tetapi menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mobil. Ini perdebatan lama yang
tanpa berhenti karena pemerintah terus membiarkannya tanpa eksekusi, seolah
berharap harga minyak kelak akan turun. Padahal, realitasnya tidak demikian.
Harga minyak dunia tidak akan turun. Negara produsen di Timur Tengah akan
merespons dengan memangkas produksinya, mencegah penurunan harga.
Karena itu, sudah saatnya
pemerintah segera memilih opsi apa yang akan ditempuh. Sang waktu tak lagi
berpihak kepada pemerintah untuk bisa terus mengulur-ulur kebijakan penurunan
subsidi BBM. Kenaikan harga BBM hanya soal waktu: sekarang atau sesudah tahun
2014?
Hal lain yang bisa
dilakukan adalah mengizinkan rupiah menemukan ekuilibriumnya yang baru.
Pelemahan rupiah perlu untuk membantu mengatasi pemburukan defisit neraca
perdagangan. Dalam situasi sekarang, BI tidak mungkin berharap rupiah menguat
kembali ke level Rp 9.000 per dollar AS. Yang lebih masuk akal adalah
membiarkan rupiah berada di atas Rp 9.500 per dollar AS, tetapi tetap
diusahakan tidak menembus batas psikologis Rp 10.000 per dollar AS agar tidak
memicu kepanikan. Rupiah yang terlalu lemah juga bisa merusak rencana
pemerintah dan BI kampanye redenominasi rupiah mulai Januari ini.
Sementara itu, kita juga
boleh berharap bahwa kebijakan jurang fiskal (fiscal cliff) di AS tidak mudah
diimplementasikan. Pemerintah Amerika Serikat pusing menghadapi kendala kuota
utang untuk membiayai defisit APBN-nya. Jika kuota utang tidak ditambah, AS
akan kesulitan mendorong stimulus fiskal (The
Economist, 5-11 Januari 2013).
Kombinasi antara kebijakan
jurang fiskal dan mencetak uang baru untuk membeli kembali obligasi
Pemerintah AS (quantitative easing)
berpotensi menyebabkan pelemahan dollar AS. Jika ini terjadi, rupiah pun akan
menguat, meski saya duga tidak bisa terlalu besar. Setidaknya, hal ini cukup
membantu stabilitas rupiah tanpa BI harus keluar banyak cadangan devisa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar