Selasa, 22 Januari 2013

Ekonomi Tumbuh, Rupiah Lemah


Ekonomi Tumbuh, Rupiah Lemah
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 21 Januari 2013



Perekonomian Indonesia sekali lagi mendemonstrasikan daya tahannya menangkal krisis tahun 2012. Saat hampir semua negara zona euro kontraksi, dengan rata-rata minus 0,5 persen, China melambat menjadi 7,6 persen, India menjadi ke 5,8 persen, Indonesia bisa tumbuh 6,3 persen. Negara emerging market di Asia juga tumbuh lambat: Singapura 1,5 persen, Korea Selatan 2,2 persen, Hongkong 1,6 persen, Taiwan 1,1 persen, Malaysia 5,2 persen, dan Thailand 5,8 persen.

Peristiwa ini merupakan ulangan kasus krisis ekonomi global tahun 2009. Ketika semua negara emerging market menderita kontraksi, hanya tiga negara yang tumbuh positif: China, India, dan Indonesia. Waktu itu produk domestik bruto Indonesia tumbuh 4,5 persen.

Selain pasar domestik yang kuat, Indonesia beruntung mendapatkan rezeki dari kenaikan harga produk primer (pertambangan dan perkebunan) sehingga surplus perdagangan 22 miliar dollar AS. Surplus perdagangan kita dalam beberapa tahun terakhir adalah 40 miliar dollar AS (tahun 2006 dan 2007), 11 miliar dollar AS (2008), 22 miliar dollar AS (2010), dan 26 miliar dollar AS (2011).

Namun, situasi itu kini berubah. Untuk pertama kalinya, neraca perdagangan defisit. Hingga November 2012, defisit perdagangan mencapai 1,3 miliar dollar AS. Sementara itu, transaksi berjalan juga defisit 18,5 miliar dollar AS (per September 2012). Situasi ini mirip tahun 1995-1996, atau menjelang krisis 1997-1998, saat defisit transaksi berjalan melebar, yang sering disebut perekonomian mengalami ”kepanasan” (overheating).

Kondisi kepanasan dapat dideskripsikan sebagai perekonomian mengalami pertumbuhan tinggi, yang didorong oleh konsumsi dan investasi. Namun, hal itu mengandung konsekuensi kenaikan impor barang dan jasa. Kenaikan impor tidak hanya untuk barang- barang konsumsi, tetapi juga mesin-mesin, bahan baku dan bahan penolong, hingga pesawat terbang. Mobilitas manusia yang bepergian ke luar negeri juga membuat defisit transaksi di sektor jasa kian membesar.

Defisit transaksi berjalan yang bisa menembus 20 miliar dollar AS akhir tahun 2012 berakibat kenaikan permintaan atas dollar AS di pasar uang. Sementara itu, cadangan devisa Bank Indonesia (BI) sebesar 112,7 miliar dollar AS akhir tahun 2012. BI mungkin tidak banyak melakukan operasi pasar.

Cadangan devisa merosot cukup tajam dari posisi tertinggi 124 miliar dollar AS pertengahan 2011, tetapi termasuk stabil pada semester kedua 2012. Stabilitas ini boleh jadi karena minimnya BI memasok valuta asing ke pasar. Tujuannya jelas: selain untuk menjaga posisi cadangan devisa agar tidak merosot, juga menunjukkan kehendak BI yang mengizinkan rupiah mengalami depresiasi.

Depresiasi rupiah merupakan keniscayaan. Tahun 1995-1996 kita mengalami lonjakan defisit transaksi berjalan, maka rupiah pun terkoreksi tajam saat krisis 1997-1998. Mekanisme ini bisa dipahami sebagai proses koreksi terhadap rupiah yang sebelumnya terlalu mahal (overvalued).

Situasi sekarang mirip. Seiring datangnya arus liberalisasi yang deras, impor barang naik tajam. Impor barang tahun 2012 diperkirakan 190 miliar dollar AS, atau memecahkan rekor tertinggi 177 miliar dollar AS tahun 2011. Sebaliknya, ekspor tahun 2012 diperkirakan 189 miliar dollar AS, turun tajam dari 203 miliar dollar AS (2011).

Situasi menjadi kian sulit ketika lifting minyak turun. Saat ini kita hanya bisa memproduksi 830.000 barrel per hari, jauh dari target 900.000 barrel per hari dalam APBN 2013. Dengan produksi yang kian rendah, Indonesia harus lebih banyak mengimpor minyak, karena konsumsi kita 1,3 juta barrel per hari. Dengan kata lain, neraca perdagangan makin tertekan tahun 2013.

Apa yang bisa kita lakukan? Upaya menekan konsumsi dan impor minyak saya yakin tidak bisa dilakukan hanya dengan menetapkan kuota bagi BBM bersubsidi. Berapa pun kuotanya, akan jebol. Ada dua penyebabnya. Pertama, konsumsi terus meningkat, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk, yang tidak diikuti dengan upaya penghematan. Kedua, disparitas harga BBM di Indonesia dengan negara tetangga akan sangat rawan adanya penyelundupan.

Jika kebijakan kuota tidak lagi efektif, satu-satunya cara adalah menaikkan harga BBM bersubsidi. Ada usulan lain, misalnya mewajibkan mobil tahun produksi 2006 ke atas agar menggunakan BBM nonsubsidi. Namun, implementasinya akan sulit.

Yang lebih mudah pengawasannya adalah tetap memberikan subsidi penuh kepada sepeda motor, tetapi menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mobil. Ini perdebatan lama yang tanpa berhenti karena pemerintah terus membiarkannya tanpa eksekusi, seolah berharap harga minyak kelak akan turun. Padahal, realitasnya tidak demikian.  

Harga minyak dunia tidak akan turun. Negara produsen di Timur Tengah akan merespons dengan memangkas produksinya, mencegah penurunan harga.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah segera memilih opsi apa yang akan ditempuh. Sang waktu tak lagi berpihak kepada pemerintah untuk bisa terus mengulur-ulur kebijakan penurunan subsidi BBM. Kenaikan harga BBM hanya soal waktu: sekarang atau sesudah tahun 2014?

Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengizinkan rupiah menemukan ekuilibriumnya yang baru. Pelemahan rupiah perlu untuk membantu mengatasi pemburukan defisit neraca perdagangan. Dalam situasi sekarang, BI tidak mungkin berharap rupiah menguat kembali ke level Rp 9.000 per dollar AS. Yang lebih masuk akal adalah membiarkan rupiah berada di atas Rp 9.500 per dollar AS, tetapi tetap diusahakan tidak menembus batas psikologis Rp 10.000 per dollar AS agar tidak memicu kepanikan. Rupiah yang terlalu lemah juga bisa merusak rencana pemerintah dan BI kampanye redenominasi rupiah mulai Januari ini.

Sementara itu, kita juga boleh berharap bahwa kebijakan jurang fiskal (fiscal cliff) di AS tidak mudah diimplementasikan. Pemerintah Amerika Serikat pusing menghadapi kendala kuota utang untuk membiayai defisit APBN-nya. Jika kuota utang tidak ditambah, AS akan kesulitan mendorong stimulus fiskal (The Economist, 5-11 Januari 2013).

Kombinasi antara kebijakan jurang fiskal dan mencetak uang baru untuk membeli kembali obligasi Pemerintah AS (quantitative easing) berpotensi menyebabkan pelemahan dollar AS. Jika ini terjadi, rupiah pun akan menguat, meski saya duga tidak bisa terlalu besar. Setidaknya, hal ini cukup membantu stabilitas rupiah tanpa BI harus keluar banyak cadangan devisa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar