Cermin Retak
Politik
Yasraf Amir Piliang ; Pemikir
Sosial dan Kebudayaan
|
KOMPAS,
21 Januari 2013
Ruang politik bangsa akhir-akhir ini
diwarnai iklim perpecahan, perseteruan, dan konflik di antara aktor politik
dalam aneka institusi politik sebagai ”ruang bersama” merealisasikan gagasan
politik dan kepentingan bangsa: partai politik, koalisi partai, parlemen, dan
kabinet pemerintahan.
Iklim keretakan menjadi
indikasi melemahnya kekuatan institusi dan komunitas politik, diambil alih
hasrat individualisme politik. Politik sebagai arena membangun rasa
kebersamaan (ide, gagasan, ideologi, tujuan, cita-cita) lewat komunitas kini
jadi arena pelepasan hasrat kekuasaan individu aktor politik, dengan
menggunakan institusi dan komunitas sebagai alibi dalam perburuan kekuasaan.
Komunitas politik digantikan personalitas politik, kepentingan bersama
ditutupi hasrat individu, ideologi politik diambil alih simulasi politik.
Politik kini layaknya
cermin retak, dengan individu sebagai komponen utama institusi politik secara
ideologis telah tercabut dari ikatan komunitasnya, meski secara sosial tetap
hadir dalam ruang-ruang komunitas itu, demi akses ke gerbang kekuasaan.
Kehadirannya di dalam ruang bersama kini tak lagi untuk memperjuangkan ide, gagasan,
ideologi, dan nilai komunitas, tetapi untuk melepaskan hasrat kekuasaan
individual, dengan memanipulasi ideologi komunitas.
Keberlangsungan komunitas
dan institusi politik ditentukan oleh kuatnya ikatan yang mengikat
aktor-aktor politik di dalamnya sebagai kesatuan. Melalui ikatan itu, nilai
individu bertemu secara dialektis dengan nilai-nilai bersama atau komunitas.
Nilai individual tak dapat meniadakan nilai komunitas meski tak dapat pula
dihilangkan sebagai tiang penyangga komunitas politik.
Politik adalah tempat ”ada
bersama” (being-together)
individu-individu sebagai warga sekaligus subyek, yang melaluinya disusun
gagasan, dijalankan misi, dibangun nasib, direlakan pengorbanan, diukir
sejarah, dan dirangkai makna bersama. Di dalam ruang bersama itu dibangun
simpul-simpul (knots) yang mengikat
individu-individu sebagai komunitas. Ruang itu adalah dialektika antara
interioritas—yaitu makna-makna bersama yang diinternalisasikan para aktor
politik—dan eksterioritas—yaitu makna individual yang disumbangkan untuk
”ruang bersama” (Jean-Luc Nancy, 1993).
Di dalam komunitas, setiap
individu diikat oleh simpul-simpul bahasa, tindakan, perilaku, pernyataan,
dan makna, yang diekspresikan melalui aneka media puisi, slogan, moto,
atribut, atau lagu. Politik adalah perangkaian ucapan, tindakan, dan
pernyataan menjadi simpul, yang secara terus-menerus disimpul ulang melalui
dialektika kekuatan individu dan komunitas. Politik adalah tegangan antara
dua kekuatan ini. Tanpa simpul, komunitas politik tak lebih dari kerumunan
individu tanpa ikatan nilai bersama.
Karena itu, individu
sebagai warga harus ditransformasikan menjadi subyek melalui proses
”subyektifikasi”, yaitu produksi serangkaian tindakan, ungkapan, dan ekspresi
di dalam medan pengalaman yang ada, tetapi mampu merekonfigurasi medan
pengalaman itu, dengan menawarkan nilai pengalaman baru dalam konstelasi
politik yang terus berubah. Melalui komunitas politik inilah, ”yang tak
dihitung” di dalam wacana politik menemukan ruang eksistensinya (Ranciere, 1995).
Dialektika antara yang
pribadi dan publik atau individu dan komunitas membangun medan dramaturgi
politik, di mana berlangsung pertarungan di antara kekuatan komunitas
politik. Politik yang tanpa dramaturgi tak lebih dari arena palsu, di mana
para aktor politik berkumpul bersama menampilkan identitas tampak luar,
tetapi secara esensial berjarak, karena diam-diam menyembunyikan agenda
pribadi, bahkan jika perlu menjadikan kawan sebagai lawan.
Individualisme politik
adalah kecenderungan ketika prinsip hadir bersama di atas landasan keyakinan
bersama—untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat-bangsa yang lebih
luas—direduksi jadi kepentingan pribadi-pribadi, yang menggunakan institusi
politik sebagai kendaraan menggapai hasrat kekuasaan pribadi. ”Hadir bersama”
sebagai ciri politik tak lagi bermakna, karena ideologi politik tak lagi
memiliki kekuatan, diselimuti gelora hasrat kekuasaan individual.
Individu dan warga hanya
berfungsi secara politik apabila ia dapat ditransformasikan jadi subyek
politik, yaitu ”diri” yang dibangun melalui celah antara imajinasi dirinya
dan bagaimana masyarakat membatasi imajinasi itu melalui seperangkat aturan,
konvensi, tabu, kebiasaan, atau konsensus yang ada di dalam komunitas,
kelompok, masyarakat, atau bangsa. Subyek politik dibangun dalam tegangan
antara imajinasi diri dan tekanan sosial.
Dalam membangun identitas
diri, subyek politik tak dapat melepaskan diri dari dua model identifikasi,
yang memberi subyek sebuah posisi di antara subyek-subyek lain (the other) di dalam ruang
sosial-politik. Di satu pihak, subyek membangun identitasnya dengan
menginternalisasikan ”diri ideal” (ideal
ego) bersifat imajiner (imaginary
identification); di pihak lain, identitas itu harus menyesuaikan diri
dengan ”tataran simbol” (symbolic order),
yaitu segala bentuk aturan, konvensi, dan kode-kode sosial, yang bersifat
membatasi dan memaksa (coercive) (Zizek, 1989).
Karena itu, di dalam
politik selalu ada ruang ideologis sebagai penanda ”ada bersama”, di mana
ide, gagasan, keyakinan, dan ideologi politik dibangun, dipertahankan,
disosialisasikan, ditawarkan, dan dipasarkan dalam pasar politik, melalui
komunikasi, persuasi, propaganda, dan seduksi politik, dengan subyek sebagai
bagian esensialnya. Ruang ideologis diisi dengan seperangkat ide, gagasan,
atau penanda besar (master signifier):
gagasan politik (demokrasi, komunisme), ekonomi (kapitalisme), atau jender
(feminisme).
Subyek politik dibangun
lewat mekanisme interpelasi ideologis di mana aktor politik (merasa)
dipanggil oleh ide, gagasan, keyakinan, atau ideologi politik, dan
menjadikannya landasan tindakan politik. Ideologi memanggil individu sebagai
subyek politik dengan menginternalisasi gagasan dan makna-makna politik yang
ditawarkan. Panggilan ideologis ini mengikat seorang aktor politik di dalam
komunitas politik, khususnya parpol (Althusser,
1983).
Ruang politik adalah arena
yang di dalamnya berlangsung pertarungan ideologis di antara
komunitas-komunitas politik memperebutkan posisi hegemoni dalam pasar
politik. Setiap kelompok politik—khususnya parpol—mengerahkan segala bentuk
modal ideologis, ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik untuk memenangi
pertarungan. Inilah dramaturgi politik, di mana setiap elemen politik
menampilkan segala gestur politik sebagai jalan mencapai hegemoni politik.
Akan tetapi, yang terjadi
kini adalah semacam desubyektivisme politik, yaitu ketika ruang pertarungan
hegemoni di antara komunitas-komunitas politik melalui arena dramaturgi
politik diambil alih oleh pertarungan kekuasaan di antara individu di dalam
arena di belakang layar politik, yang tak tampak dan tak terakses publik.
Arena politik telah beralih dari pertarungan hegemoni di ruang publik menjadi
pertarungan tak-tampak di antara individu di dalam internal parpol sendiri—the invisible political arena.
Eksterioritas pertarungan
ideologi di antara parpol—di mana ”hadir bersama” dimaknai sebagai perjuangan
bersama membangun tanda, makna, dan nilai bersama—kini menjelma jadi
interioritas pertarungan kekuasaan di antara aktor-aktor di dalam institusi
politik itu sendiri, di mana mereka mengerahkan segala trik dan tipu daya
untuk menggapai kekuasaan di dalam retakan komunitas politik, dengan
meminggirkan ideologi, dan kalau perlu menyingkirkan kawan sendiri. Kekuasaan
adalah masa depan ideologi kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar