Agama dan
Lingkungan Hidup
Syahrul Kirom ; Alumnus Master Filsafat UGM Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 21 Januari 2013
Akhir-akhir ini bencana banjir, tanah longsor, dan angin ribut
masih mengancam beberapa daerah di Indonesia seperti di DKI Jakarta. Fenomena
bencana banjir dan tanah longsor itu karena manusia telah gagal mengemban
misinya sebagai pemimpin atau khalifah di muka bumi, untuk memelihara
lingkungan hidup.
Salah satu faktor penyebabnya adalah umat manusia kurang peduli
dalam menjaga lingkungan. Hal itu menjadikan manusia dengan kadar keimanan
dan ketakwaan semakin tipis dan acuh terhadap proses perusakan lingkungan
alam yang makin cepat dan meluas.
Kejadian bencana banjir dan tanah longsor yang hampir terjadi
setiap tahun pada musim hujan, menyiratkan sesuatu tentang kerusakan
lingkungan dan manusia tidak mampu melestarikan lingkungan.
Bumi pertiwi Indonesia seakan-akan mengalami kesakitan yang luar
biasa akibat kenyataan ini. Rusaknya alam membuat keseimbangan lingkungan
hidup mengalami ketimpangan. Rentetan bencana seperti banjir, tanah longsor,
kebakaran, pencemaran lingkungan memperparah kondisi lingkungan hidup
manusia.
Keberadaan pepohonan dan penghijauaan yang ada di kota-kota
jangan digusur dan dibabat habis untuk kepentingan pembangunan perumahan dan
pendirian toko-toko, supermarket dan mal serta perluasan jalan. Kota-kota
membutuhkan banyak pohon dan penghijauan sebagai upaya penyerapan terhadap
zat zat yang kotor dan upaya penyerapan air, sehingga banjir yang datang tiap
tahun di Ibu Kota ini bisa dicegah.
Alam semesta dalam pikiran Yunani kuno merupakan suatu harmoni
dan teratur. Akan tetapi, sekarang ini mulai terlihat tak teratur dan
menimbulkan persoalan kompleks. Ini karena tidak hanya menyangkut masyarakat
dan teknologi, alam saja, tapi juga mengena perilaku manusia terhadap alam
dan lingkungan yang sangat merusak.
Komunitas alam ini yang terdiri dari tumbuhan-tumbuhan, hewan,
air, dan tanah, udara, dan manusia, telah dirusak oleh perilaku manusia
sendiri. Salah satunya yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah paradigma
antroposentrisme yang selalu mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi
memenuhi kepentingan manusia.
Tindakan yang eskploitatif, destruktif dan tidak peduli terhadap
alam tersebut berakar kuat pada cara pandang yang hanya mementingkan manusia.
Pandangan ini jelas akan melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang
menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa mempertimbangkan
keseimbangan dan kelestarian.
Arne Naess dalam “Ecology,
Community and Lifestyle” (1993) menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai
hak untuk mereduksi kekayaan dan keanakeragaman ini kecuali untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang vital. Manusia harus menggunakan kebutuhan sumber
daya alam sesuai dengan kebutuhan dan tidak boleh berlebihan.
Pandangan antroposentrisme, disadari atau tidak, telah
menimbulkan kejahatan terhadap lingkungan. Peristiwa yang paling banyak
disoroti dalam kaitannya dengan keberlanjutan bumi, yang paling sering kita
dengar setiap harinya adalah kejahatan lingkungan. Terjadinya polusi udara,
air, tanah, illegal logging, dan
yang lainnya merupakan bagian dari kejahatan lingkungan.
Spiritualisme Lingkungan
Karena itu, kita sebagai pemimpin di bumi ini adalah untuk
memenuhi amanah Tuhan yang mencakup kewajiban dan tanggung jawab moral,
sosial manusia terhadap Tuhan terhadap diri manusia sendiri dan sesama
manusia serta lingkungan hidup.
Dengan demikian, relasi manusia dengan lingkungan dan kehidupan
ini berarti menjadi pengelola, penguasa, pemakmur dan penyelenggara atas
kehidupan yang berlangsung ini. Manusia dianggap oleh Tuhan yang memiliki
otoritas penuh terhadap alam, sebagai wakilnya manusia harus mampu
melestarikan lingkungan alam dengan baik.
Lingkungan hidup merupakan salah satu bagian dari konsep
religius. Karena itu, dalam perspektif Islam bencana alam sebenarnya
memberikan otokritik bagi kita sebagai manusia beragama, sejauh mana
nilai-nilai spritualitas mewarnai kebijakan kita tentang lingkungan.
Selama ini kita hanya terjebak dengan
kecenderungan-kecenderungan yang vested interest, sehingga melahirkan
kebijakan-kebijakan yang tidak ramah lingkungan yang berakibat pada
eksploitasi alam secara tidak proporsional dan merusak keseimbangan
ekosistem.
Dalam hal ini, wajar kalau Al-Gore, mantan Wakil Presiden
Amerika, dalam karyanya “Earth in the
Balance: Ecology and the Human Spirit” menyatakan, “Semakin dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda
dunia, semakin mantap keyakinan saya bahwa krisis ini tidak lain adalah
manifestasi nyata dari krisis spiritual kita.”
Pada tahap inilah statement
Al-Gore di atas sangat menggugat dimensi terdalam dari sisi kemanusiaan kita.
Fenomena bencana alam sebenarnya manifestasi nyata dari krisis spiritual,
demikian mengikuti bahasanya. Kalau begitu, berarti nilai-nilai keberagamaan
kita selama ini apatis begitu saja.
Karenanya, tidak mempertimbangkan nilai-nilai spiritualitas
dalam setiap mengambil kebijakan mengenai lingkungan yang sesungguhnya itu
adalah langkah mendasar yang perlu dilakukan di masa mendatang. Kesadaran ini
tidak hanya dilakukan pada tingkat kolektif-formal oleh para aparatus negara,
tetapi juga mesti dimulai dari tingkat individual sebagai kesadaran pribadi.
EF Schumacher dalam karyanya “A
Guide for The Perplexed”(1981), mengatakan masalah krisis lingkungan ini
sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta
krisis orientasi kita terhadap Tuhan. Mengikuti kerangka berpikir Schumacher
ini, seharusnya manusia yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Kitalah yang
melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap lingkungan alam.
Karena itu, kehadiran The
Celestine Vision sangat dibutuhkan dalam konteks saat ini, yang bermaksud
mengingatkan kembali (recollection of
meaning) kepada manusia, khususnya manusia modern yang rakus, materi
dengan mengeksploitasi alam, agar mulai menyadari bahwa hidup itu sebatas
pengejaran materi bukanlah “segalanya” dalam kehidupan manusia.
Ada sesuatu yang lebih berharga dari sekadar materi yaitu
spiritualitas. Pergesaran ke orientasi spiritual ini merupakan protes keras
gerakan New Agers terhadap dosa-dosa
sains, kapitalisme, imperialisme, materialisme dan segala sesuatu yang
sifatnya eksploitatif terhadap lingkungan.
Dimensi moral dan spiritual yang sepenuhnya dilahirkan kembali
sebagai sebuah harapan yang paling mungkin, setelah berbagai usaha –usaha
praktis sains dan teknologi tidak membawa pemecahannya. Inilah apa yang
sering disebut orang sebagai mengembalikan world view dan etika. Thomas Bery mencatat bahwa kita perlu
mengembalikan spritualitas terhadap lingkungan hidup dan alam sekitarnya.
Lingkungan alam yang dinamis merupakan “sebuah ladang spiritual” yang sudah seharusnya dijadikan sebagai
langkah dan tindakan untuk selalu melakukan eksploitasi amal ibadah, bukan
dalam rangka melakukan eksploitasi alam yang sebanyak-banyaknya; sehingga
menyebabkan terjadinya bencana alam, karena alam harus dijadikan sebagai
bagian untuk tercapainya alam transendental sebagai komunitas spiritualitas
dengan sandaran Tuhan sebagai tujuan akhirnya. Darinya seluruh komunitas alam
dan manusia berasal akan kembali kepada Tuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar