Sabtu, 05 Januari 2013

Ekonomi pada Tahun Politik


Ekonomi pada Tahun Politik
Sasongko Tedjo ;  Wartawan Suara Merdeka di Semarang
SUARA MERDEKA,  05 Januari 2013



Dulu, sering dikatakan ekonomi dan politik itu ibarat dua sisi keping mata uang. Artinya, keduanya saling bergantung dan memengaruhi. Tetapi sekarang tidak selamanya begitu. Kegaduhan politik yang bakal terjadi pada 2013 diyakini tidak akan sampai menggoyahkan perekonomian yang sudah memiliki basis pertumbuhan kuat. Terkecuali kegaduhan politik itu menjadi destruktif dan tidak produktif. Ibarat kapal sedang melaju di samudera, ombak tenang tetapi kapal bisa oleng karena penumpang ribut di dalam.

Tampaknya kegaduhan politik tak mengganggu ketenangan ekonomi. Masyarakat juga sudah mulai memiliki imunitas politik karena tak peduli lagi dengan persoalan yang diangkat ke permukaan dan itu lebih terkait urusan elite. Maka yang terjadi pastilah business as usual. Bahkan tahun politik juga bisa ditandai dengan penggelontoran uang yang lebih besar dan dari sisi ekonomi itulah yang dinamakan demand.

Harap dicatat, konsumsi alias permintaan itulah yang menjadi penopang perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Kendati ekspor melambat dan impor meninggi sehingga mengakibatkan defisit, dunia bisnis tetap tegak karena konsumsi masyarakat yang luar biasa. Maka tanpa gebrakan apa pun, atau yang sering disebut ekonomi autopilot, pertumbuhan ekonomi sekitar 6-6,5% sudah pasti tercapai. Apa modalnya? Sebanyak 240 juta penduduk Indonesia yang tiap hari mengonsumsi barang dan jasa.

Dulu, jumlah penduduk yang besar ibarat musibah dan problem berat yang mengadang. Sekarang hanya negara dengan penduduk padat yang bisa tetap tumbuh di atas 5% per tahun, yakni China, Indonesia, dan India. Mestinya Amerika Serikat juga termasuk paling padat penduduknya namun gangguan sistem internal mereka sendiri yang membuat negara adidaya itu menjadi makin tak berdaya.

Seberapa dahsyat tingkat konsumsi bisa menopang perekonomian? Sekadar contoh, industri motor di Indonesia tahun ini diperkirakan meraup omzet tidak kurang Rp 300 triliun. Itu baru motor, belum mobil. Itu baru sektor otomotif belum sektor properti dan retail.

Pernahkan disadari bagaimana penjualan properti di Jakarta, semisal apartemen, yang dalam sehari bisa terjual ratusan unit yang berarti juga ratusan miliar rupiah. Maka dalam setahun itu sudah melampaui nilai APBN kita. Itulah keampuhan sektor konsumsi. Belum lagi kalau kita menengok transaksi di ratusan gerai Carrefour, Hypermart, Giant, dan raksasa lain retail  di seluruh Indonesia.

Rumus lama makroekonomi Y = C + I + G tetaplah berlaku. Hanya sekarang G alias government spending sering terhambat realisasi dan penyerapan anggaran saking takutnya salah prosedur alias korupsi. Sementara huruf I (investasi) masih cukup baik, apalagi kalau tidak diganggu kendala-kendala klasik, seperti kelemahan infrastruktur, perizinan berbelit, dan kasus buruh yang makin merebak.

Melihat struktur ekonomi yang demikian maka tidaklah sulit menjalankan roda perekonomian asalkan kestabilan sektor finansial dan moneter tetap terjaga. Terbukti, presiden dan kabinet  lebih sibuk mengurusi skandal politik dan hukum saja, tidak apa-apa karena toh dunia bisnis tetap berjalan seperti apa adanya.

Proyeksi 2013

Tahun ini banyak yang lebih optimistis dengan perekonomian kita. Kegaduhan politik, asalkan tidak berimbas pada konflik horizontal, masih bisa diakomodasi, bahkan bisa menjadi stimulan baru dengan banyaknya belanja politik untuk kampanye, baik melalui iklan di media maupun kegiatan lain. Maka berbagai lembaga penelitian, termasuk pemerintah dan Bank Indonesia, masih berani mematok angka pertumbuhan 6-7%. 
Dengan inflation rate yang terjaga di bawah 5% maka dalam tahun depan relatif tidak ada gejolak.

Kondisi perekonomian internasional yang tahun lalu agak memburuk, terutama dengan kebangkrutan fiskal di negara-negara Eropa sudah mulai menemukan solusinya. Pereko­nomian Eropa yang sempat negatif pada 2012 akan bisa kembali positif walaupun hanya sekitar 1,1%. Tetapi Amerika Serikat, Jepang, dan Korsel akan lebih mendorong perbaikan ekonomi global karena mereka sudah meng­alami pertumbuhan yang makin baik. Ada­pun China masih tetap menjadi jaminan ke­sta­bilan ekonomi di dunia dengan laju per­tum­buhan yang tak terkalahkan. Keempat negara itu harus saya sebut karena sangat me­mengaruhi kinerja perekonomian Indonesia, terutama dari sisi investasi dan ekspor.

Atas dasar pertimbangan itulah maka defisit perdagangan kita yang memburuk pada 2012 bisa diperbaiki karena peluang ekspor yang ma­kin terbuka. Pada periode Januari-November 2012 neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 1,33 miliar dolar AS. Pe­nurunan ekspor juga diakibatkan oleh tren global yang memburuk, terutama penurunan harga komo­ditas ekspor kita, seperti batu bara. Dengan perbaikan situasi global tadi maka ekspor tahun ini diperkirakan meningkat dan defisit perdagangan akan kembali ditekan.

Faktor Ketidakpastian

Sebenarnya perkiraan-perkiraan di atas itu ibarat menebar optimisme namun harus tetap dibarengi kewaspadaan tinggi. Asumsi ekonomi selalu mudah dibuat dalam kondisi ceteris paribus. Realitasnya, dinamika global ataupun regional selalu terjadi kendati masih tetap dalam kendali. Di samping itu, persoalan pembangunan ekonomi tidak sebatas pada asumsi-asumsi makro yang sering hanya berbicara soal kestabilan dan pertumbuhan, namun bukan pemerataan. Maka haruslah tetap memperhatikan faktor ketidakmerataan dan kemiskinan yang masih sangat besar karena dari sanalah risiko kerusuhan sosial bisa muncul.

Ketidakpastian terbesar justru pada transformasi fiskal. Apakah pe­merintah berani melakukan kebijakan radikal dengan mengurangi atau menghapuskan subsidi BBM yang makin membebani anggaran? Logikanya, subsidi yang berjumlah ratusan triliun ru­piah dan salah sasaran itu bisa dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan prasarana sosial atau lebih khusus lagi untuk program-program pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

Tetapi lagi-lagi pada tahun politik, kebijakan ekonomi yang bakal menambah bobot persoalan politik pastilah dihindari. Maka kita belum dapat mengharapkan terjadinya transformasi fiskal pada 2013 dan itu berarti kesenjangan sosial ekonomi akan makin lebar. Apalagi kebijakan ekonomi masih selalu memihak kelas menengah atau kelompok mapan yang mempunyai potensi politik besar.

Data yang dilansir Badan Pu­sat Statistik (BPS) baru-baru ini me­nyebutkan penurunan jumlah penduduk miskin di negara kita pada September 2012 sebesar 0,3% dibanding Maret  2012. Da­lam angka kumulatif berarti ada 28,59 juta orang atau menurun di­banding sebelumnya yang 29,13 ju­ta orang. Namun dilihat dari In­deks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan, justru naik. Pada Maret 2012 In­deks Kedalaman Kemiskinan 1,88, kemudian pada September menjadi 1,90. Demikian pula de­ngan Indeks Keparahan Kemis­kinan naik dari 0,47 menjadi 0,48.

Maka persoalan terpenting dalam ekonomi pembangunan masih belum berubah, yakni bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis pemerataan. Dengan demikian kemiskinan berkurang dan itu secara makro juga berarti peningkatan demand yang lebih besar lagi. Tidaklah mengherankan apabila Indonesia sudah masuk dalam kelompok 20 negara terbesar di di dunia karena 1-2 dekade mendatang diharapkan menjadi lima besar bersama China, Amerika Serikat, dan India.

Seharusnya para pengelola dan pemimpin negeri ini tidak berpikir satu dua tahun ke depan yang diperkirakan sudah pasti aman namun tetap mampu merumuskan langkah transformasi fiskal ke depan agar percepatan pertumbuhan bisa dilakukan dalam struktur yang sehat, dalam arti mampu mengurangi kesenjangan sosial.

Ekonom Tony Prasetiantono sering melontarkan joke bahwa Indonesia beruntung karena sepak bolanya tidak maju dan pengurus PSSI terus berantem. Pasalnya, negara yang sepak bolanya bagus, seperti negara-negara Eropa, justru limbung ekonominya.

Indonesia sebenarnya lebih beruntung karena ekonominya bisa jalan bagus seperti sekarang padahal nyaris tanpa beleid apa-apa alias autopilot. Kasus Century atau Hambalang tak bisa meleng­serkan kekuasaan karena kita su­dah terbiasa dengan saling me­nyandera dalam politik. Jadi, ja­ngan khawatir dengan tahun politik karena di negara kita tiap tahun adalah tahun politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar