Babak Baru
Panggung Politik Artis
Didik Tri Atmaji ; Pegiat Indonesian Care,
Alumnus FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 05 Januari 2013
"Lebih ideal, partai harus bisa menyiapkan kader
unggulan untuk menjadi calon pemimpin yang berkualitas"
HARIAN ini menuliskan
Tajuk Rencana bertajuk ”Fenomena Panggung Politik Artis” (SM, 20/12/12), yang
menguraikan fenomena politik sejumlah artis yang saat ini memasuki babak
baru. Bila beberapa waktu lalu kehadiran mereka hanya menjadi kembang
politik, kini mereka merambah ke arena pilkada tingkat I dan II. Wacana
terbaru, ada yang hendak maju ke Pilpres 2014.
Beberapa kalangan menilai kehadiran
selebriti di panggung politik sedikit banyak dipengaruhi oleh kesuksesan
rekannya. Tak dimungkiri kesuksesan Ruhut Sitompul, Angelina Sondakh, Nurul
Arifin, Rieke Diah Pitaloka, Eko Patrio dan beberapa lainnya di legislatif
menjadi pemicu untuk menjajal di ruang politik berbeda.
Kesuksesan Rano Karno sebagai Wakil Bupati
Tangerang Jabar dan Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jabar juga menjadi
semacam faktor pemicu beberapa artis untuk berkompetisi di tingkat lokal.
Dalam Pilgub Jabar 2013 misalnya, 3 dari 5 pasangan cagub-cawagub berlatar
belakang artis.
Pertama; Ahmad Heryawan calon petahana (incumbent) berpasangan dengan Deddy
Mizwar. Deddy adalah aktor kawakan yang bisa jadi vote getter, terlebih memiliki popularitas tinggi, dan dinilai
sebagai sosok religius lewat film dan sinetron yang pernah diperani.
Kedua; Rieke Diah Pitaloka berduet dengan
Teten Masduki. Rieke, selain pernah menjadi artis juga aktivis sosial,
terakhir politikus PDIP dengan rekam jejak baik. Adapun Teten, pegiat
antikorupsi memiliki popularitas kuat pada tataran media. Meski namanya belum
merasuk ke akar rumput, ia bisa melengkapi Rieke.
Ketiga; Dede Yusuf yang menggandeng Lex
Laksmana. Sebagai wakil gubernur, Dede dianggap memiliki bekal pengalaman
cukup dalam politik lokal. Ia juga dinilai visioner. Adapun Lex, kendati
lemah dari sisi popularitas, lebih mudah menguasai birokrasi mengingat ia
mantan Sekda Pemprov jabar.
Dua pasangan lainnya, Syafiuddin (Kang
Yance)-Tatang Farhanul Hakim, dan Dikdik Muliana Arief Mansur-Cecep Nana
Suryana Toyib murni nonartis. Mereka tokoh masyarakat yang mencoba
peruntungan tapi bisa saja menjadi kuda hitam karena representasi dari
wilayah (dapil) asal.
Dalam Pilgub Jateng, nama sutradara Garin
Nugroho, disebut-sebut masuk dalam bursa penjaringan cawagub dari PDIP. Meski
keputusan itu belum final, masuknya nama pekerja film dalam penjaringan
mengindikasikan bakal terlibat dalam pertarungan politik. Semua tinggal
menunggu aba-aba dari pusat sebagai pemegang hak veto yang direkomendasi.
Tak ketinggalan, Raja Dangdut Rhoma Irama bahkan
diwacanakan maju sebagai capres. Dengan berbekal popularitas serta dukungan
dari ulama dan habaib yang tergabung dalam Wasiat Ulama, ia secara
terang-terangan mengumumkan ikhwal pencapresannya. (Kompas, 12/11/12).
Pada alam demokrasi terbuka, mencalonkan
atau dicalonkan sebagai kepala daerah atau bahkan sebagai presiden bukanlah
hal baru. Semua warga negara memiliki hak, asalkan memenuhi kriteria dan
syarat tertentu. Karenanya, pencalonan artis dalam pilkada tidak bisa
disalahkan, pun dengan pencapresan Rhoma.
Sebagian kalangan berpendapat majunya artis
dalam pentas politik mampu menekan politik uang. Pasalnya mereka sudah mapan
dari segi ekonomi didukung popularitas tinggi. Sayang, fenomena itu
menimbulkan ragam persepsi. Sebagian masyarakat setuju, namun sebagian tidak
sependapat karena beberapa alasan.
Oligarki Politik
Pertama; kehadiran artis dalam politik
karena kegagalan kaderisasi partai. Fenomena ini pun menjadi makin parah
akibat parpol tak lagi mampu mengakomodasi kepentingan kader dan anggota.
Parpol kehilangan rasa percaya diri memunculkan tokoh muda. Kader umumnya tak
memiliki cukup modal, pun dianggap kurang menjual. Satu-satunya jalan adalah
”menjual” artis kepada konstituen.
Kedua; sebagai alat politik. Jika dalam
praktik jual-beli yang dijual adalah barang maka dalam konteks ini, artis
ibarat komoditas. Predikat artis di panggung politik pada dasarnya hanya
menjadi alat parpol mengelabui masyarakat yang cenderung permisif dan kurang
tanggap terhadap fenomena baru.
Partai memberdayakan artis sedemikian rupa
untuk menarik suara massa yang umumnya tak lagi peduli terhadap kehidupan
demokrasi. Terlebih dengan modal dan popularitas yang dimiliki artis, parpol
berupaya memenangi kontestasi politik.
Ketiga; kemunduran demokrasi. Pada alam
demokrasi yang kian terbuka, siapa pun berhak terjun dalam dunia politik.
Tapi perlu dicatat hal itu membuka ruang luas oligarki politik. Kemenguatan
kepentingan kelompok dan aktor tertentu mendorong partai dikendalikan oleh
mereka yang memiliki modal besar ditambah popularitas lumayan. Maka, pola
kaderisasi dalam rangka menggali tokoh muda calo pemimpin hanya menjadi
isapan jempol.
Parpol seyogianya memiliki standardisasi
menentukan calon yang akan diusung. Lebih ideal, partai harus bisa menyiapkan
kader unggulan untuk menjadi calon pemimpin berkualitas. Bukan sebaliknya, lebih memilih kader instan yang belum tentu mampu
menyelesaikan permasalahan bangsa. Maka babak baru politik artis ini suatu
saat melahirkan birokrasi artis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar