Sabtu, 05 Januari 2013

Babak Baru Panggung Politik Artis


Babak Baru Panggung Politik Artis
Didik Tri Atmaji ;  Pegiat Indonesian Care,
Alumnus FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA,  05 Januari 2013



"Lebih ideal, partai harus bisa menyiapkan kader unggulan untuk menjadi calon pemimpin yang berkualitas"

HARIAN ini menuliskan Tajuk Rencana bertajuk ”Fenomena Panggung Politik Artis” (SM, 20/12/12), yang menguraikan fenomena politik sejumlah artis yang saat ini memasuki babak baru. Bila beberapa waktu lalu kehadiran mereka hanya menjadi kembang politik, kini mereka merambah ke arena pilkada tingkat I dan II. Wacana terbaru, ada yang hendak maju ke Pilpres 2014.

Beberapa kalangan menilai kehadiran selebriti di panggung politik sedikit banyak dipengaruhi oleh kesuksesan rekannya. Tak dimungkiri kesuksesan Ruhut Sitompul, Angelina Sondakh, Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka, Eko Patrio dan beberapa lainnya di legislatif menjadi pemicu untuk menjajal di ruang politik berbeda.

Kesuksesan Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tangerang Jabar dan Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jabar juga menjadi semacam faktor pemicu beberapa artis untuk berkompetisi di tingkat lokal. Dalam Pilgub Jabar 2013 misalnya, 3 dari 5 pasangan cagub-cawagub berlatar belakang artis.

Pertama; Ahmad Heryawan calon petahana (incumbent) berpasangan dengan Deddy Mizwar. Deddy adalah aktor kawakan yang bisa jadi vote getter, terlebih memiliki popularitas tinggi, dan dinilai sebagai sosok religius lewat film dan sinetron yang pernah diperani.

Kedua; Rieke Diah Pitaloka berduet dengan Teten Masduki. Rieke, selain pernah menjadi artis juga aktivis sosial, terakhir politikus PDIP dengan rekam jejak baik. Adapun Teten, pegiat antikorupsi memiliki popularitas kuat pada tataran media. Meski namanya belum merasuk ke akar rumput, ia bisa melengkapi Rieke.

Ketiga; Dede Yusuf yang menggandeng Lex Laksmana. Sebagai wakil gubernur, Dede dianggap memiliki bekal pengalaman cukup dalam politik lokal. Ia juga dinilai visioner. Adapun Lex, kendati lemah dari sisi popularitas, lebih mudah menguasai birokrasi mengingat ia mantan Sekda Pemprov jabar.

Dua pasangan lainnya, Syafiuddin (Kang Yance)-Tatang Farhanul Hakim, dan Dikdik Muliana Arief Mansur-Cecep Nana Suryana Toyib murni nonartis. Mereka tokoh masyarakat yang mencoba peruntungan tapi bisa saja menjadi kuda hitam karena representasi dari wilayah (dapil) asal.

Dalam Pilgub Jateng, nama sutradara Garin Nugroho, disebut-sebut masuk dalam bursa penjaringan cawagub dari PDIP. Meski keputusan itu belum final, masuknya nama pekerja film dalam penjaringan mengindikasikan bakal terlibat dalam pertarungan politik. Semua tinggal menunggu aba-aba dari pusat sebagai pemegang hak veto yang direkomendasi.

Tak ketinggalan, Raja Dangdut Rhoma Irama bahkan diwacanakan maju sebagai capres. Dengan berbekal popularitas serta dukungan dari ulama dan habaib yang tergabung dalam Wasiat Ulama, ia secara terang-terangan mengumumkan ikhwal pencapresannya. (Kompas, 12/11/12).

Pada alam demokrasi terbuka, mencalonkan atau dicalonkan sebagai kepala daerah atau bahkan sebagai presiden bukanlah hal baru. Semua warga negara memiliki hak, asalkan memenuhi kriteria dan syarat tertentu. Karenanya, pencalonan artis dalam pilkada tidak bisa disalahkan, pun dengan pencapresan Rhoma.

Sebagian kalangan berpendapat majunya artis dalam pentas politik mampu menekan politik uang. Pasalnya mereka sudah mapan dari segi ekonomi didukung popularitas tinggi. Sayang, fenomena itu menimbulkan ragam persepsi. Sebagian masyarakat setuju, namun sebagian tidak sependapat karena beberapa alasan.

Oligarki Politik

Pertama; kehadiran artis dalam politik karena kegagalan kaderisasi partai. Fenomena ini pun menjadi makin parah akibat parpol tak lagi mampu mengakomodasi kepentingan kader dan anggota. Parpol kehilangan rasa percaya diri memunculkan tokoh muda. Kader umumnya tak memiliki cukup modal, pun dianggap kurang menjual. Satu-satunya jalan adalah ”menjual” artis kepada konstituen.

Kedua; sebagai alat politik. Jika dalam praktik jual-beli yang dijual adalah barang maka dalam konteks ini, artis ibarat komoditas. Predikat artis di panggung politik pada dasarnya hanya menjadi alat parpol mengelabui masyarakat yang cenderung permisif dan kurang tanggap terhadap fenomena baru.

Partai memberdayakan artis sedemikian rupa untuk menarik suara massa yang umumnya tak lagi peduli terhadap kehidupan demokrasi. Terlebih dengan modal dan popularitas yang dimiliki artis, parpol berupaya memenangi kontestasi politik.

Ketiga; kemunduran demokrasi. Pada alam demokrasi yang kian terbuka, siapa pun berhak terjun dalam dunia politik. Tapi perlu dicatat hal itu membuka ruang luas oligarki politik. Kemenguatan kepentingan kelompok dan aktor tertentu mendorong partai dikendalikan oleh mereka yang memiliki modal besar ditambah popularitas lumayan. Maka, pola kaderisasi dalam rangka menggali tokoh muda calo pemimpin hanya menjadi isapan jempol.

Parpol seyogianya memiliki standardisasi menentukan calon yang akan diusung. Lebih ideal, partai harus bisa menyiapkan kader unggulan untuk menjadi calon pemimpin berkualitas. Bukan sebaliknya, lebih memilih kader instan yang belum tentu mampu menyelesaikan permasalahan bangsa. Maka babak baru politik artis ini suatu saat melahirkan birokrasi artis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar