2013, Momentum
Produktivitas Legislasi Nasional
Agust Riewanto ; Doktor Ilmu Hukum
Universitas Negeri
Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Januari 2013
SEPANJANG 2012, publik disuguhi fenomena tentang buruknya
kinerja DPR RI, mulai terkuaknya skandal korupsi di Banggar DPR, pemerasan di
sejumlah BUMN, pemborosan anggaran untuk studi banding ke luar negeri, hingga
korupsi sejumlah anggota DPR. Salah satu isu yang minim, bahkan luput dari
perhatian publik, atas buruknya kinerja DPR yang lain ialah rendahnya
kualitas dan kuantitas produk RUU menjadi UU yang dilakukan lewat Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) 2012. Pada 2012 DPR hanya mampu menuntaskan
pembahasan 10 RUU menjadi UU dari target Prolegnas 69 RUU.
Tentu buruknya kinerja DPR pada 2012 dalam produktivitas
legislasi tak boleh terulang pada 2013. Untuk 2013, DPR telah mencanangkan
target mengesahkan 70 RUU menjadi UU. Padahal, dari 70 target RUU itu, hanya
terdapat 12 RUU baru, sedangkan sisanya 58 RUU merupakan RUU Prolegnas
2010-2012 yang belum selesai.
Mengingat kian dekatnya Pemilu 2014 yang kurang dari dua d
tahun h i sulit lagi, l li mengharapkan DPR dapat menyelesaikan target 70 RUU
pada 2013. Sepanjang 2009-2012, saat tidak disibukkan dengan agenda persiapan
pemilu saja, DPR tak cukup produktif dalam menuntaskan Prolegnas. Apalagi
pada 2013, sejumlah anggota DPR telah bersiap diri untuk menyiapkan amunisi
uang, membangun citra politik, dan merancang agenda kampanye. Sangat mustahil
DPR dapat lebih produktif menuntaskan tugas pembahasan RUU.
Jika 2013 ini DPR tak lebih produktif dalam menuntaskan
RUU menjadi UU, mudah dipastikan bahwa di 2013 hingga 2014 mendatang, energi
DPR akan lebih fokus pada fungsi anggaran (bujet) dan fungsi pengawasan
(kontrol) terhadap jalannya pemerintahan jika dibandingkan dengan fungsi
legislasi (legal drafting).
Dalam Sistem Presidensial
Fungsi DPR di sejumlah negara modern yang menganut sistem
pemerintahan presidensial, seperti Amerika Serikat, lebih produktif dalam
fungsi legislasi (pembuatan UU) jika dibandingkan dengan fungsi anggaran dan
pengawasan dalam menjalankan roda pemerintahan. Produktivitas pada fungsi
legislasi itu disebabkan dinamika persoalan masyarakat yang datang begitu
cepat menuntut solusi yang elegan dan mengikat dengan UU.
Komponen utama tegaknya hukum ialah hadirnya peraturan
undang-undang yang memadai. Bukan saja prosedur teknis pembuatannya yang
demokratis, melainkan juga substansi materinya yang bermutu dan mampu
dijadikan rujukan serta panduan berbangsa tanpa bertentangan dengan kehendak
dan keinginan publik. Adapun fungsi anggaran dan kontrol relatif tidak
menonjol karena soal anggaran dan kontrol dapat dilakukan, tidak hanya oleh
DPR, tapi dapat pula dilakukan institusi-institusi internal pemerintah dan
nonpemerintah seperti inspektorat jenderal, badan perencanaan negara, bahkan
oleh masyarakat sipil sendiri.
Hal itu berbeda signifikan dengan DPR Indonesia, sepanjang
2009-2012 yang menonjol justru fungsi anggaran dan kontrol terhadap
pemerintah. Padahal, sistem pemerintahan kita juga presidensial, seharusnya
fungsi DPR lebih menonjol di bidang legislasi (pembuatan UU) ketimbang fungsi
anggaran dan kontrol. Realitas tersebut menunjukkan DPR Indonesia secara
politis menganggap lebih penting fungsi anggaran dan kontrol ketimbang
legislasi. Karena fungsi legislasi tak cukup mampu memberi keuntungan ekonomi
dan keuangan. Sebaliknya, fungsi anggaran dan kontrol lebih berpeluang
memberikan keuntungan ekonomi dan sumber keuangan partai politik.
Itulah sebabnya sepanjang 2009-2012, ketika berhadapan
dengan pemerintah dalam membahas anggaran, DPR lebih serius dan `garang',
nyaris tertutup, kalaupun terbuka hanya terhadap persoalan politik yang akan
memberi dampak citra positif pada DPR, seperti kasus megaskandal bailout Bank
Century atau perseteruan KPK vs Polri (kasus cecak vs buaya).
Pada saat pembahasan anggaran lebih tertutup dari arena
publik. Pembahasan renovasi gedung DPR yang bernilai triliunan rupiah bahkan
baru diketahui publik saat Setjen DPR hendak memulai tender renovasi. Jika
DPR terbuka dalam pembahasannya, publik seharusnya dapat mengakses sejak
perencanaan anggaran di Banggar DPR. Implikasi kinerja DPR yang tak produktif
dalam legislasi berakibat program pembangunan nasional tidak mendapat
dukungan perundang-undangan.
Kelemahan pada produktivitas legislasi sangat mungkin
dipengaruhi terfragmentasinya kekuatan politik di DPR karena banyaknya fraksi
akibat tidak ada parpol dominan di DPR. Jumlah fraksi yang banyak di DPR
telah mempersulit pengambilan keputusan dalam proses legislasi antara
pemerintah dan DPR.
Ungkapan Giovanni Sartori (1997: 83) dalam Comparative Constitutional Engineering
terbukti, bahwa sesungguhnya problem-problem sistem presidensial tidak
terletak dalam arena eksekutif, tetapi dalam arena legislatif terutama saat
mewujudkan produk-produk legislasi. Hasil amendemen UUD 1945 telah
menempatkan fungsi dan kedudukan yang sama antara presiden dan DPR dalam
proses pembahasan dan persetujuan RUU sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945 pascaamendemen. Model itu mirip dengan
sistem parlementer karena DPR membagi kekuasaan fungsi legislasi dengan
presiden. Model tersebut bahkan telah memasukkan sebagian sistem parlementer
seiring dengan pemurnian sistem presidensial.
Perbaiki Kinerja Legislasi
Tahun ini merupakan momentum tepat untuk mengingatkan DPR
agar kian produktif dalam menyelesaikan pembahasan 70 RUU dalam Prolegnas
2013. Untuk itu, yang seharusnya segera dilakukan DPR dalam memperbaiki
kinerja legislasi ialah, pertama, semua anggota DPR didorong dapat menguasai
substansi isi, tujuan, maksud dan asas, serta filosofi sebuah RUU, tidak
hanya mengandalkan para staf ahli. Selama ini tidak semua anggota DPR memiliki
pemahaman terhadap sebuah RUU.
Begitu pula setiap anggota DPR diwajibkan kian memahami
ilmu legal drafting (perancangan undang-undang) yang lebih rinci, detail, dan
teknis. Fungsi legislasi berjalan lamban dan membutuhkan penguasaan substansi
dan teknis yang tinggi karena pembahasan mencakup pengaturan yang sifatnya
rinci.
Kedua, DPR melalui badan legislasi (baleg) harus lebih
fokus ke tujuan jangka panjang hadirnya RUU bagi pengaturan kepentingan
nasional ketimbang kepentingan jangka pendek bagi partai dan golongan
tertentu, apalagi faktor ekonomi politik tertentu. Produk UU memang produk
politik, tapi tidak berarti harus mendahulukan kepentingan pembuatnya (DPR
dan pemerintah). Fiona Haines (2008) dalam Problematizing Legitimacy and Authority in Law and Policy
mengatakan sebuah UU juga bagian dari produk kebijakan publik. Maka, semua
proses dan hasilnya seharusnya dilakukan dengan lebih memperhatikan
kepentingan publik.
Perilaku elite politik yang lebih
mengedepankan kepentingan politik jangka pendek, terutama untuk tetap
mengupayakan daya survival kepentingan parpolnya ketimbang kepentingan rakyat
dalam memproduksi UU, salah satunya disebabkan dominasi dan kuatnya
cengkeraman pimpinan fraksi dalam mengendalikan anggota. Hal itu melemahkan
kemandirian sikap anggota DPR dalam menyampaikan pikiran dan pandangan
terhadap sebuah RUU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar