Di Bawah
Kekuasaan Jam
Heri Priyatmoko ; Sejarawan muda Solo,
Mahasiswa Pascasarjana Sejarah, Fakultas Ilmu
Budaya, UGM
|
JAWA
POS, 01 Januari 2013
BUTIRAN waktu telah berjatuhan bak daun jati meranggas di musim kemarau. Tahun
2012 dan peristiwa yang terjadi di dalamnya telah kita lepas. Dengan kepala
tegak, akhirnya kita menapak menuju pintu 2013. Kalender lawas yang digantung
diganti anyar. Hanya jam dinding yang tak pernah dicopot, kecuali kalau
kondisinya rusak baru ditanggalkan. Sebetulnya, ialah elemen terpokok yang
mengantarkan kita menyaksikan hari berganti hari, bulan bergeser bulan, dan
tahun bersalin tahun. Semua ini pada mulanya jam waktu.
Sesungguhnya, orang Jawa klasik tak mengenal jam. Benda tersebut merupakan produk bangsa Barat, simbol orang modern. Nenek moyang kita melihat waktu dari gejala alam beserta ragam tanda yang bergerak ajek melewati siklus abadi kehidupan. Untuk disiplin berangkat ke sawah atau pasar, masyarakat tak perlu memelototi jarum jam lantaran memang tak punya. Mereka mengawali aktivitas cukup dengan memandang ufuk timur yang memerah dan memergoki kedatangan mentari yang bakal membagikan sinar. Bukan panggilan azan Subuh yang jadi tetenger lahirnya sebuah pagi, melainkan cericit burung liar serta kokok ayam. Sang waktu di pedesaan lebih ditandai dengan kebiasaan orang bekerja. Misalnya, waktu mengirim makan ke sawah, wektu bocah ngucul sore (saat anak gembala menggembalakan ternaknya), atau wektu gradag-grudug sepur ngetan (ketika kereta api melintas ke timur). Spirit bekerja petani maupun pedagang diatur simbol alam yang dirasakan lewat indra penglihatan. Contohnya, srengenge wis angslep (matahari sudah terbenam), tiba saatnya untuk laut (menyudahi pekerjaan). Lalu, mulai kapan jam waktu hadir di tanah Jawa dan dikenal oleh masyarakat pribumi? Jam Tua untuk Salat Jika Anda longgar atau punya waktu berlibur, sempatkan berkunjung ke Museum Radya Pustaka. Di museum yang dibangun pada 1750 itu, tersimpan koleksi rongsokan jam tua yang teronggok di salah satu sudut ruang. Barang bernilai sejarah ini pernah menghiasi Alun-Alun Kartasura ketika keraton (abad XVII-XVIII) belum hancur lebur gara-gara serangan pemberontak. Jelas tidak mungkin benda antik itu buatan bangsa pribumi, tapi hadiah dari petinggi Kumpeni kepada Sunan Paku Buwana II yang menjalin relasi politik yang mesra. Jam di tengah lapangan atau alun-alun yang kala itu menjadi pusat keramaian tidak lebih sebagai penunjuk waktu salat. Atas perintah raja yang getol mengislamkan penghuni tanah Jawa, kawula dalem (rakyat) diminta menaati waktu beribadah. Pendisiplinan beribadah para hamba adalah tanggung jawab sunan. Pasalnya, pembesar istana dan para penerusnya kelak memanggul gelar mentereng: Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Kehadiran alat penunjuk waktu model Eropa di pusat pemerintahan ini secara perlahan diperhitungkan warga. Ia juga difungsikan oleh petinggi kerajaan untuk alat kekang kegiatan masyarakat. Singkatnya, dimulailah penjadwalan pada saban aktivitas rutin penduduk. Meskipun demikian, tanda-tanda alam yang dipakai sebagai alat tetenger wong Jawa tidak ditinggalkan sepenuhnya. Menginjak pertengahan abad XVIII, jumlah jam di perkotaan mulai bertambah. Namun, hanya golongan aristokrat, kaum saudagar, dan komunitas toewan-toewan kulit putih yang mampu membeli barang istimewa tersebut. Satu sumber sahih ialah karangan bekas asisten wedana Tiknopranoto yang bertajuk Sejarah Kutha Sala. Priyayi birokrasi tradisional ini meriwayatkan bahwa detik itu jenis jam yang mudah ditemui di kota, yaitu jam dinding dan jam kikuk. "Jam gembol lan jam wekker kepetung durung ana," tulisnya. Jam saku dan jam beker belum ada. Sementara, Keraton Kasunanan Hadiningrat mengoleksi jam genta di Panggung Sangga Buwana. Ukurannya gedhe, dentang suaranya begitu keras hingga di sudut-sudut kota, terlebih didukung sunyinya malam. Jam di panggung yang dipercayai sebagai lokasi percumbuan raja dan Ratu Kidul tersebut jadi tengara penting masyarakat sekitar. Opas atau prajurit mengelilingi tembok istana yang kekar sembari memukul bende dan kentongan sesuai jam Javatidj (waktu Jawa) di panggung yang menjulang tinggi itu. Kemudian, penduduk perkampungan yang belum terserang kantuk dan mendengar bunyi bende tadi turut memukul kentongan yang berbahan bambu dan mengikuti jumlah tabuhan bende prajurit. Dengan jam mekanis tersebut, alhasil masyarakat kita tidak melulu menggantungkan aliran waktu alami berupa gejala alam seperti munculnya matahari dan suara hewan. Mengutip pemikiran Lewis Mumford, jam-jam modern membantu menciptakan keyakinan pada sebuah dunia independen yang berupa rangkaian-rangkaian yang terukur secara matematis. Berkat jam modern, masyarakat Jawa tanpa sadar telah memutuskan kapan harus mulai makan, bekerja, tidur, dan bangun. Dengan kepatuhan terhadap teknologi jam, itu berarti mereka menjadi lebih ilmiah, namun menjadi sedikit mekanis juga. Sinuwun Paku Buwana X (1839-1939), misalnya, baru bersedia makan ketika jarum jam sudah menunjuk pukul dua malam dan dua siang. Kendati tingkat intelektualnya tak meyakinkan, raja yang baru saja diganjar gelar Pahlawan Nasional tersebut lumayan akrab dengan teknologi dan budaya Barat. Sebagai bukti, kala membangun tugu dan gapura, sunan yang disebut-sebut sebagai "Kaisar Jawa" itu tidak lupa menemploki jam dinding. Misi menaruh jam di tubuh artefak kuno tersebut adalah warga senantiasa berdisiplin waktu dalam menjalani hidup. Bukan saat bekerja saja, tetapi juga ketika beribadah. Kehadiran jam waktu pun menindih kemerdekaan masyarakat Jawa dalam memaknai kosmologi alam. Sekarang tindakan apa pun harus diangkakan atau dijadwalkan, tidak lagi mengikuti gerak alam. Termasuk puncak perayaan tahun baru ala Barat yang jatuh saat jarum jam merambati angka 00.00 tadi. Sekali lagi, hidup kita ini kadung dikuasai jam waktu, bukan lagi oleh alam seperti leluhur kita berabad-abad silam. Apakah ini fakta "kekalahan" atau keluwesan wong Jawa? Monggo kerso. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar