If You Wat To…
Rhenald Kasali ; Ketua
Program MM UI
|
JAWA
POS, 01 Januari 2013
DI ruang kerja saya di kampus, saya pernah
memajang kata-kata mutiara berikut ini: If you want to, you'll find a way. If you don't want to,
you' ll find excuses.
Kalimat itu tentu saya tujukan kepada anak-anak didik saya yang ingin hidupnya berubah dan yang tanpa menyadari terperangkap dalam banyak kesulitan. Tidak sulit membedakan mana orang yang mau maju dan mana yang terperangkap. Yang satu mencari jalan, sedangkan yang lain mencari alasan. Yang satu akan menjadi pemenang, yang satunya pecundang. Orang-orang yang mau maju selalu bergerak ke depan apa pun rintangan yang dihadapi. Mereka biasanya tidak menghindar dari pekerjaan-pekerjaan atau dosen-dosen yang menyulitkan hidup mereka. Tentu mereka berhitung dan memilih jumlah kesulitan, tetapi bukan melulu mencari jalan yang mudah. Mereka perlu membaca dan menganalisis apa yang akan dihadapi. Tetapi, apa pun kesulitan atau ancaman yang ditemui selalu dihadapi. Mereka teguh menggapai objective. Dan orang terpenting yang harus dihadapinya adalah dirinya sendiri. Sedangkan orang-orang yang terperangkap dalam kesulitan selalu berorentasi pada orang lain, yaitu mengharapkan pemakluman. Orang-orang itu pada dasarnya adalah orang yang "tidak mau" dalam arti yang seluas-luasnya. Tidak mau susah, tak mau pusing, tidak mengerjakan hal-hal yang sulit, tidak bekerja keras, tidak menerima hukuman, tidak mau disiplin, tidak mau membayar biaya yang harus dikorbankan dan seterusnya. Dia hanya akan datang kepada Anda dengan membawa alasan, bukan solusi atau hasil dari kerja kerasnya. Maka, bisa diterka ke mana muara mereka. Yang satu selalu menemukan jalan karena mencarinya, sedangkan yang satu selalu menemukan jawaban berupa alasan-alasan. Dan harap maklum, tak ada manusia yang membuat alasan untuk memperbaiki kesalahannya. Mereka membuat alasan semata-mata untuk mendapatkan pemakluman dari orang lain. Anak-Anak Kita Di akhir tahun ini anak-anak bisa berkumpul bersama orang tua. Dan di antara masyarakat yang berlibur selalu ditemukan jalan untuk berbagi dan menanamkan values kepada anak-anak. Pada saat itulah sebenarnya Anda bisa berbagi pengalaman hidup tentang apa yang telah Anda lakukan dan apa yang membawa Anda ke sini atau apa yang telah membuat hidup Anda penuh kesulitan. Salah seorang anak saya yang masih duduk di bangku SMU baru saja memutuskan untuk mengubah mata pelajarannya yang diambil tak lama setelah dia membaca kata-kata mutiara itu. Tidak seperti sekolah di sini yang memisahkan IPA dan IPS, di New Zealand dia dibebaskan memilih empat mata pelajaran selain dua mata ajaran wajib. Ya, cuma enam. Beda sekali dengan jumlah mata ajaran yang diambil rata-rata anak di Indonesia: 17! Karena pilihan, otomatis para remaja akan mengambil mata ajaran yang termudah, yang paling mereka suka. Itu persis dengan kebiasaan mahasiswa kita berwirausaha, selalu memilih bidang usaha yang gampang (gorengan atau rebusan kuliner) sekalipun sekolahnya teknik nuklir atau fisika. Namun, seperti saran ilmuwan Carol Dweck, anak-anak genius ternyata tidak menjadi apa-apa di masa depannya kalau selalu dipuji karena mudah mengerjakan mata ajaran yang diambilnya. Dan seperti yang kita duga juga, wirausahawan muda yang usahanya gampang-gampang akan gampang ditiru juga. Ibarat membangun rumah di padang pasir, fondasinya rapuh. Perintang agar orang lain tidak masuk, seperti hak paten, keunikan teknologi, atau keterampilan khusus, tidak ada. Bayangkan apa jadinya bila usaha gampang-gampangan itu segera diberi award dan dibanggakan pemerintah. Maka, lanjut Dweck, orang tua perlu mengatakan, "Kalau mudah itu tidak fun!" Saya pun menantang anak saya. Tetapi, seperti biasa, pikirannya selalu tertuju pada gampang atau sulit. Rupanya dia trauma dengan guru-guru yang banyak mempersulitnya selama bersekolah di sini. Dan setiap kali menemukan kesulitan, dia tak menemukan pintunya. Tetapi, kali ini saya mengajak anak saya menatap jauh ke depan. "Kalau semua subjek yang diambil yang mudah-mudah, engkau tak akan memiliki keunggulan di masa depan. Maka, selagi muda, lakukanlah hal yang sulit, berani hadapi kesulitan karena engkau akan mendapatkan kemahiran." "Kemahiran apa, Ayah?" tanyanya. "Minimal kemahiran mengatasi masalah," jawab saya. Esok paginya dia memberikan jawaban. Dia mengubah pilihan mata ajaran yang diambilnya. Sewaktu saya tanya lebih jauh, dia memberikan jawaban, "Aku harus bekerja dengan prioritas. Yang ini sulit, tapi kalau tidak kuambil sekarang, nanti hidupku yang akan sulit. Yang ini mudah, tapi kalau tidak aku ambil sekarang, nanti pun bisa kuambil dan tetap mudah." ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar