Rabu, 02 Januari 2013

Risiko Kebijakan Industri


Risiko Kebijakan Industri
Ihwan Sudrajat ;   Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA,  02 Januari 2013



MENJELANG akhir 2012, saya mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan Menteri Perindustrian MS Hidayat dan staf khusus Menteri Perindustrian Bidang Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Benny Sutrisno, yang juga  pemilik PT Apac Inti Corpora. Pembicaraan itu dalam kerangka mengantisipasi sejumlah pengusaha industri TPT dari Korea yang berencana merelokasi investasi mereka dari Indonesia ke Vietnam, Thailand, dan Kamboja.  Menurut Menteri, banyak pengusaha garmen dari Korea yang berinvestasi di Jabar, Banten, dan DKI Jakarta mulai mengeluhkan kenaikan upah minimum yang sangat luar biasa. 

Padahal  mereka rata-rata sudah lebih dari 20 tahun berusaha dan tinggal di Indonesia, bahkan sebagian beristri orang Indonesia, dan sudah menganggap Indonesia sebagai negaranya yang  kedua.

Menteri mengajak keseriusan kita menyikapi keluhan industriwan Korea itu mengingat mereka pengusaha yang sudah lama berinvestasi di negara kita. Mereka pun sudah puluhan tahun merasakan fluktuasi kebijakan pemerintah Indonesia dengan segala dinamika-nya, tetapi tetap bertahan dan terus berkembang. Seandainya mereka menyebarkan isu tak sedap kepada calon investor lain tentu sangat dipercaya dan menjadi pertimbangan utama yang menentukan batal tidaknya investasi pengusaha baru itu di negara kita. 

Menteri Perindustrian menganggap Jateng lebih siap dibanding Jabar, Banten, dan DKI Jakarta untuk menerima relokasi industri itu, bahkan ketimbang tiga negara tersebut. Setidak-tidaknya ada tiga faktor yang mendukung, yaitu upah minimum yang bersaing, jumlah tenaga kerja yang memadai, dan kepesatan pembangunan infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir ini.

Motor Pertumbuhan

Tahun 2012, industri menjadi sektor dengan kinerja paling kinclong dibanding sektor lain. Meskipun perkembangan ekspor relatif melambat, dengan total ekspor per bulan kurang dari 15 miliar dolar AS atau secara agregat masih di bawah 200 miliar dolar AS dibanding tahun 2011, realitasnya karena daya beli konsumen makin baik maka pertumbuhan sektor industri tahun 2012 pun tetap tinggi, yakni sekitar 6,5%, melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.

Bahkan Menteri menargetkan tahun 2013 sektor industri manufaktur tumbuh sekitar 7,13%, sedangkan industri pengolahan sekitar 6,5%. Secara nasional sektor industri  adalah tumpuan yang mendorong pertumbuhan ekonomi. 
Daerah-daerah dengan industrialisasi yang terus berkembang, dengan kontribusi terhadap PDRB lebih dari 35% dan sektor pertanian kurang dari 15%, memperlihatkan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang lebih cepat ketimbang daerah yang terlalu mengandalkan sektor pertanian. 

Industri di Jabar dengan kontribusi 42%, mampu mempercepat penurunan kemiskinan hingga tinggal 10,57%. Hal yang sama terjadi di Banten, dengan kontribusi 48% bisa menjadikan tingkat kemiskinan hanya 6,26%. Sektor industri yang tumbuh tinggi dengan sharing terhadap perekonomian makin besar, memberikan dampak positif bagi peningkatan nilai tambah sektor pertanian. 

Hal ini ditunjukkan dengan nilai tukar petani (NTP) yang selalu lebih tinggi di daerah-daerah dengan sektor industri yang maju. Ini bisa dimengerti karena daya beli masyarakat di daerah industri selalu lebih tinggi dibanding daerah-daerah yang cukup kental keagrarisannya. Dengan daya beli yang lebih tinggi, produk-produk pertanian pun akan dinilai lebih tinggi.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin itu kiasan yang tepat bagi pengusaha sektor industri dalam menutup akhir 2012. Tahun 2013 mereka harus menambah biaya tenaga kerja karena ada kenaikan UMP yang sangat besar. Belum lepas dari bayangan yang satu itu, mereka harus merogoh kantong lebih dalam lagi karena PLN menaikkan tarif dasar listrik 15% secara bertahap tiap triwulan. Itu pun belum selesai karena pengusaha mungkin harus mempersiapkan diri menghadapi kenaikan harga bahan baku yang sebagian besar masih harus diimpor, yang harganya naik jika nilai tukar rupiah terus melemah.

Seandainya saya pengusaha, membayangkan semua kemungkinan itu tentu melemahkan semangat untuk terus berkembang. Saya pun agak pesimistis terhadap target pertumbuhan industri tahun 2013 jika pemerintah tidak mengantisipasi dampak negatif akibat kebijakan UMP dan tarif dasar listrik. Karena itu, pada kesempatan penting tersebut, saya menyarankan kepada Menteri Perindustrian supaya pemerintah melakukan beberapa terobosan untuk meminimalisasi risiko.

Pertama; secara bertahap mendorong relokasi industri berbasis tenaga kerja masif ke daerah-daerah dengan UMP yang masih bisa bersaing. Industri yang dimaksud adalah yang bergerak di sektor TPT. Kedua; pemerintah merestrukturisasi mesin secara drastis dengan memberi penggantian pembelian di atas 30%, tidak 10% seperti saat ini. Restrukturisasi mesin akan mendorong produktivitas guna mengimbangi peningkatan UMP. Ketiga; mengurangi biaya selama distribusi barang di jalan hingga ke pelabuhan pengiriman. Tiga hal tersebut sangat membantu pengusaha dalam menekan ongkos produksi.

Bekerja di sektor industri berarti bersiap memasuki persaingan yang sangat tajam, apalagi  produk yang dikembangkan negara-negara berkembang, seperti Indonesia, juga dihasilkan oleh negara berkembang lainnya. Untuk meraih pasar global, negara seperti Bangladesh, Vietnam, Kamboja dan Sri Lanka berani menjual barang yang sama dengan harga lebih murah dari Indonesia. 

Artinya, dalam menerapkan kebijakan, alasan yang menjadi dasar pertimbangan bukan hanya melihat sisi kepentingan lokal melainkan juga bagaimana agar produk Indonesia memiliki daya saing yang lebih baik tanpa mengabaikan kualitas. Namun pada sisi lain, kebijakan apa pun yang diterapkan, akan memberikan hikmah bagi sektor industri. Mereka selalu menghasilkan sistem produk baru yang lebih efisien supaya tetap bertahan di kancah global.  Itulah yang saya sebut kedewasaan industri, kedewasaan yang lahir dari sebuah pergulatan keprihatinan dan persaingan ketat.
Pada akhirnya, hanya industri yang dikembangkan secara profesional dan berorientasi pada kinerja yang dapat memenangi persaingan, bukan industri yang lahir dari oportunitas yang tidak profesional. Selamat bekerja dan selamat bersaing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar