Menghitung
Harga Jual BBM 2013
Ichsanuddin Noorsy ; Pakar Ekonomi
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Januari 2013
DESEMBER 2012 Wagub DKI Basuki Tjahaja Purnama yang kerap
disapa dengan nama Ahok menggagas pencabutan atau penghapusan subsidi harga
BBM. Gagasan itu disambut gembira oleh pejabat pusat. Wakil Kepala BPH Migas
Fahmi Harsandono bahkan membandingkan antara besarnya APBD Provinsi Jawa
Tengah sekitar Rp10 triliun dan besarnya subsidi BBM yang diserap provinsi
yang bersangkutan Rp22 triliun. Padahal, daerah masih kekurangan alokasi
untuk pembangunan. “Jadi jika para pemimpin daerah sudah setuju dengan
menghapus subsidi, tinggal mau apa tidak dilakukan ide dari JokowiAhok.
Hapuskan subsidi yang masyarakatnya sudah siap dan mampu. Kami dukung penuh,”
kata Fahmi Harsandono.
Alih-alih menghitung berapa biaya produksi BBM sendiri dan
biaya impor sehingga didapat harga campuran, saya kira gagasan itu
membuktikan para pejabat yang bersangkutan yang bersikap aideologis dan
ahistoris. Aideologis karena Pasal 33 ayat (2 dan 3) mengamanatkan sumber
daya alam dan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengertian negara menguasai sumber daya untuk sebesarbesar
kemakmuran rakyat sendiri tidak mempunyai interpretasi tunggal. Berbagai UU
sejak Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) 44/1960 dan UU
5/1960 hingga ragam UU yang diterbitkan di era reformasi mendefi nisikan
negara menguasai sumber daya dalam berbagai pengertian. Di sini bukti bahwa
para pembuat UU sendiri tidak mencoba memahami, mendalami, dan menerapkan
gagas ekonomi konstitusi sesuai dengan jiwa dan semangatnya.
Ideologi bangsa ini tentang sumber daya yang dikuasai
negara dan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak
menyerahkannya kepada mekanisme pasar bebas dan tidak menyetujui hal itu
menjadikan orang per orang sangat kaya dan membuat mereka menjadi menindas
rakyat banyak, tegas penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang dihapus oleh kaum
reformis. Mahkamah Konstitusi sendiri pada 21 Desember 2004 dan 13 November
2012 menyatakan yang dimaksud dengan negara menguasai sumber daya mencakup
pengertian regulasi, kebijakan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan.
Untuk pengurusan dan pengelolaan tidak berarti melulu di
tangan BUMN. Sementara itu, kewenangan menerbitkan kebijakan dan regulasi
serta pengawasan memang di tangan pemerintah. Tidak adanya pengertian yang
sama dan interpretasi tunggal itu yang membuat pengetahuan dan keterampilan
sosok birokrat, teknokrat, dan politisi di Indonesia mudah ‘dicuci’ dan
disusupi pemahamannya sebagaimana saya membuktikannya dalam berbagai forum
resmi pemerintahan.
Pencucian dan penyusupan itu pula yang melahirkan sikap
ahistoris. Di tengah kesibukan waktu menjalankan amanah rakyat sesuai dengan
sumpah jabatan, para petinggi negara itu tidak lagi punya waktu untuk
membaca, apalagi kebanyakan anggota DPR yang memang mempunyai penyakit kronis
malas membaca, mencari, dan menganalisis. Mereka tidak memahami sejarah
bangsa ini tentang apa, bagaimana, dan kenapa sumber daya strategis dan
cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus tetap berada
dalam kewenangan negara. Ideologi dan sejarah bangsa ini menetapkan soal
sumber daya strategis dan cabang produksi itu negara tidak bersaing dan tidak
didikte oleh pasar, bahkan tidak dikendalikan oleh kekuatan korporasi
domestik atau asing baik langsung maupun tidak langsung.
Lalu bagaimana kita harus merespons posisi Indonesia yang
sudah mengimpor minyak mentah dan olahan sebanyak 40%-44% dari total
konsumsi? Sejak penaikan harga BBM pada 2005, lalu saat menjadi narasumber
Pansus BBM di DPR pada 4 September 2008, narasumber di Banggar DPR Maret
2012, kemudian menjadi saksi ahli atas gugatan UU 22/2001 di Mahkamah
Konstitusi pada 6 Juni 2012, saya menggagas upaya bangsa menegakkan
kedaulatan ekonomi energi. Termasuk tentang pentingnya menghitung biaya
produksi minyak mentah, menjualnya, mengimpor minyak mentah dan olahan,
mengolah dan menyimpannya, hingga mendistribusikannya. Alih-alih menerbitkan
dan menyosialisasikan perhitungan itu, pemerintah malah sibuk me nyampaikan
beban subsidi BBM yang terus membeng kak hingga membebani APBN.
Ada tiga kesalahan dalam hal ini. Pertama, pemerintah
tidak pernah memenuhi janji good
governance yang mewajibkan keterbukaan dan kejujuran akan perhitungan
biaya produksi sendiri dan biaya impor BBM sehingga didapat harga campuran.
Kedua, pemerintah tidak memberikan pengertian hukum apa yang dimaksud dengan
subsidi. Namun, langsung menerima gagasan Bank Dunia dan lembaga
internasional lainnya bahwa subsidi pada barang ialah salah dan hal itu telah
membuat subsidi salah sasaran. Padahal, pengertian subsidi dalam rujukan
ekonomi konstitusi termasuk ke makna untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Ketiga, pemerintah tidak membuat perbandingan alokasi
subsidi. Misalnya saat pemerintah membayar bunga obligasi rekapitalisasi
perbankan dan membayar bunga obligasi bermata uang asing dengan bunga tinggi
seperti yang terjadi pada 2010.
Sesungguhnya subsidi BBM lebih bersifat
organik konstitusional ketimbang obligasi-obligasi itu yang hanya dibenarkan
melalui UU. Yang jelas, subsidi pada pembayaran bunga obligasiobligasi itu
ialah wujud nyata memberi penghasilan orangorang kaya sehingga melahirkan
jurang ketimpangan yang makin menganga sebagaimana angka yang dirilis LPS
dalam soal kepemilikan tabungan di atas Rp2 miliar dan di bawah Rp1 miliar.
Saya sendiri menghitung harga bensin premium dengan real
octane number (RON) 88 sebagai berikut. Dengan asumsi nilai tukar per dolar
AS dengan rupiah ialah 9.000, lifting
minyak mentah 900 ribu barel per hari, dan untuk APBN 2013 cost recovery yang disetujui DPR ialah
US$15,5 miliar, biaya produksi minyak mentah per barel per hari ialah
Rp430.556 atau Rp2.710 per liter per hari. Namun karena Indonesia memenuhi
kontrak bagi hasil dengan kontraktor minyak asing (menguasai 85,3% dari total
lifting), dari pelaksanaan kontrak itu Indonesia hanya memperoleh 60% dari
hasil minyak yang diisap dari perut bumi Indonesia.
Porsi 60% itu disebabkan kita menanggung biaya cost
recovery yang dibayar lebih dulu oleh kontraktor minyak dan berdampak
mengurangi hak bagi hasil Indonesia. Justru dengan porsi itu biaya produksi
minyak mentah per liter per hari yang ditanggung pemerintah menjadi Rp4.516. Dalam
praktik pada umumnya biaya bensin premium terdiri atas 60% minyak mentah
(Rp4.516) dan 40% hal-hal lainnya (Rp3.011). Jadi, total biaya minyak olahan
ialah Rp4.516 ditambah Rp3.011 sama dengan Rp7.527, belum termasuk fee
produksi minyak mentah, pengolahan dan distribusi serta alfa Rp642 per liter.
Kalau dihitung termasuk pajak 15% (Rp1.241), harga jual
akhir di pemakai RON 88 ialah Rp9.518 per liter, dibulatkan Rp9.500. Jika dibandingkan
dengan harga pertamax, RON 88 itu terlalu mahal. Artinya, rakyat membeli
minyak (bensin RON 88) milik bumi Indonesia--sesuai dengan target
makroekonomi yang ditetapkan APBN--dengan biaya yang sangat tinggi. Harga RON
88 Rp9.500 per liter itu diasumsikan antara biaya yang dikeluarkan untuk
mendapat minyak dalam negeri dan harga untuk membeli minyak impor ialah sama.
Padahal, dalam kenyataan tidak demikian.
Berdasarkan subsidi adalah harga
keekonomian (harga pasar) dikurangi harga ditetapkan pemerintah, besarnya
subsidi ialah Rp9.500 dikurangi Rp4.500 sama dengan Rp5.000. Kalau kuota
subsidi mencapai 48,72 juta kiloliter, alokasi subsidi BBM menjadi Rp243,6
triliun. Itulah yang membuat para pemegang amanat rakyat menggagas
penghapusan subsidi. Alokasinya terus membengkak disebabkan penjualan
industri otomotif terus meningkat, diikuti kegagalan transportasi publik dan
kegagalan konversi ke gas.
Dari situasi itulah muncul pertanyaan, apakah karena
penyimpangan paradigma perekonomian, kesalahan kebijakan, regulasi,
pengawasan, pengurusan, dan pengelolaan BBM lantas masyarakat luas yang harus
menanggung bebannya melalui penghapusan subsidi? Apakah mereka telah becermin
diri tentang konsistensi dan konfirmasi gagas mereka terhadap ekonomi
konstitusi yang terus-menerus dicabik-cabik melalui liberalisasi perbankan,
perdagangan dan keuangan, serta investasi?
Kalau mereka ingin terhormat selama berpangkat dan
bermartabat selama dan setelah menjabat, sikap aideologis, ahistoris, dan
perhitungan harga BBM tersebut patut mereka pertimbangkan sebagai bahan
membangun kebijakan publik yang berpihak kepada domestik, kepentingan
nasional. Lantas, berapa kenaikan harga BBM pada 2013 ini? Dengan menggunakan
argumentasi tersebut, saya kira harga RON 88 akan mencapai Rp6.000-Rp6.500.
Harga ini tentu saja dengan mempertimbangkan penaikan harga tarif tenaga
listrik sebesar 15% dan kenaikan harga-harga umum yang berlaku musiman. Semuanya
berdampak pada inflasi. Jika inflasi adalah pemangkasan daya beli masyarakat
bawah, adakah pemerintah berani menaikkannya? Waktu yang akan menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar