Selasa, 08 Januari 2013

Butuh Kesalehan Negara di 2013


Butuh Kesalehan Negara di 2013
M Bashori Muchsin ;  Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
MEDIA INDONESIA,  08 Januari 2013

  
BENARKAH pemerintah atau elite kekuasaan memang sungguh-sungguh memedulikan, memartabatkan, dan memanusiakan orang miskin? Apakah selama ini sudah terbukti bahwa pemerintah atau negara memang memihak orang miskin? Benarkah setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dimaksudkan untuk membebaskan atau menyejahterakan orang miskin? Ataukah justru sebaliknya, ‘memiskinkan orang miskin’ yang mengakibatkan lahirnya penjahat konvensional di mana-mana?

Ada pepatah berbunyi evil causes evil fallacy atau sesuatu yang buruk terjadi di masyarakat itu disebabkan kondisi buruk yang memengaruhinya. Penyakit sosial tidak akan sampai marak atau tumbuh subur di masyarakat kalau tidak didahului dan dipengaruhi kondisi buruk. Berbagai bentuk kejahatan tidak akan sampai merebak di mana-mana kalau di masyarakat tidak tersedia atau ‘disediakan’ akar kriminogen yang menyebabkannya.

Sikap dan perilaku patologis tidaklah berdiri sendiri, tetapi ditentukan aspek lainnya. Sikap dan perilaku demikian bukan disebabkan faktor hereditas, melainkan oleh lingkungan atau keadaan buruk yang membuatnya atau ‘mendidiknya’ agar menjatuhkan pilihanpilihan yang kontraproduktif, irasional, disobjektivitas, dan tidak menghormati harkat manusia (dehumanis) lainnya.

Di kota-kota besar berkemasan metropolitan atau modern sangat gampang dijumpai kasus-kasus yang bertemakan sebagai kejahatan bercorak blue crime, yang notabene pelakunya berasal dari elemen masyarakat dari kalangan bawah (lower class). Beberapa kali kasus perampokan yang diikuti pembunuhan dan pembantaian korban belakangan ini dapat dijadikan sampel bahwa kasus kekerasan yang dilakukan sebagian anggota masyarakat atau sekelompok orang tidak bisa dianggap ringan. Perilaku kriminal sadismenya layak disebut sebagai kriminalitas sangat istimewa (extraordinary crime).

Di suatu komunitas yang semula distigma sebagai daerah aman atau tak pernah dirambah kasus kriminalitas, tibatiba dikejutkan dengan kemunculan serombongan orang (preman). Mereka dengan keji merampok dan membunuh. Pembantu rumah tangga atau tukang kebun yang semula di-PHK majikannya tiba-tiba menjadi anggota kelompok preman terorganisasi, yang datang kembali ‘mengunjungi’ majikannya dengan cara keji seperti merampok dan menganiaya.
Kehilangan, Terpinggirkan
Tahun 2012 sudah memberikan pelajaran bahwa seiring dengan problem kesulitan ekonomi yang menghegemoni masyarakat miskin, tekanan krisis global dan PHK missal yang dilakukan korporasi atau perusahaan-perusahaan di Indonesia yang sudah tidak mampu menghidupi atau menjaga ke berlanjutan hidup karyawan atau tenaga kerjanya, telah menjadi bagian akar kriminogen di kalangan komunitas akar rumput.

Ketika buruh atau tenaga kerja kehilangan pekerjaan, misalnya, berarti mereka kehilangan penyangga utama konstruksi kehidupan diri dan keluarga. Atmosfer rentan, terpinggirkan, dan dikalahkan membuat dan memaksa mereka untuk melakukan aktivitas nekat, berbahaya, dan kriminal.

Komunitas akar rumput yang kehilangan fondasi ekonomi itu masuk babakan baru kehidupan yang menyakitkan atau menafi kan keberdayaannya, yakni kondisi kehidupan serbamarginal, kehilangan pengharapan kelayakan kesejahteraan, dan terpuruk dalam kemiskinan.

Saat aparat yang berwajib (polisi) dan pemerintah mengajak kita berani ‘berperang’ melawan preman, rasanya di 2013 ini kita akan kesulitan melawan, apalagi mengalahkannya, manakala problem kemiskinan dan pe ngangguran semakin komplikatif menghegemoni masyarakat negeri ini. Kita tidak akan mampu mencegahnya dari kemungkinan ketersesatan `opsi' yang dijatuhkannya (orang miskin) ke dalam wilayah `abu-abu' atau kriminalitas baru bilamana mereka terbiarkan terpuruk dalam ketidakberdayaan atau keterjajahan tersebut.

Ketidakberdayaan itu dapat dibaca sebagai `kondisi buruk' yang dapat menggiring seseorang terjerumus dalam perbuatan kriminalitas. Diri seseorang bisa terbentuk menjadi preman akibat lingkaran sosial bercorak defek, memiskinkan, tidak berkeadilan, dan tidak berkeadaban. Kata sosiolog A Halim (2007), orang miskin jadi preman atau pembunuh berdarah dingin bukan karena kemauannya, melainkan karena `digiring' kondisi buruk yang bernama disparitas, ketidakadilan kebijakan, dan arogansi pemerintah yang lebih memanjakan kaum kaya. `Preman struktural' atau `preman berdasi' lah yang sebenarnya menjadi akar krimi nogen tumbuh dan maraknya preman isme di masyarakat.

Langkah khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang d ikenal sebagai sufi, barangkali perlu dicontoh pemerintah Indonesia. Umar pernah melarang anak buahnya yang hendak memboroskan anggaran belanja negara untuk kepentingan pembangunan benteng (pertahanan) dengan kalimat, “Apalah gunanya membangun benteng kota kalau kebutuhan masyarakat belum dipenuhi. Bentengilah kehidupan masyarakat dengan keadilan (pemenuhan hakhaknya).”

Menggencarkan pembangunan fisik perkotaan atau memboroskan anggaran demi mendesain gedung-gedung pemerintahan supaya wajahnya menjadi lebih menarik dalam pandangan mata perlu dikaji kembali. Apalagi pembangunan itu sekadar untuk dijadikan investasi kepentingan politik atau menaikkan gengsi elite pejabatnya, jelaslah bukan sebagai model pembangunan dan perilaku elite yang seirama atau sebahasa dengan kepentingan riil masyarakat yang sedang hidup susah, apalagi di saat masyarakat terpuruk kronis akibat krisis global dan hilangnya hak-hak hidup berkelayakan.

Masyarakat tidak akan selalu, sering, terus-menerus, atau secara rutin (sistemis dan terstruktur) menjadi korban dan tumbal hingga menjadi sosok dan komunitas preman kalau saja pemerintah menunjukkan kemauan dan kemampuan dalam melakukan aksi-aksi ‘cerdas’ atau menggalakkan pola manajemen bernegara berbasis sufisme sosial terhadap derita empiris masyarakat.

Selama pemerintah belum juga ‘memperkaya’ pola praksis sufisme (penyucian diri) dalam pengambilan kebijakan, niscaya sulit problem riil masyarakat bisa diatasi, termasuk mengakomodasi macam derita (kesulitan) orang miskin. Memberi solusi tepat sasaran kepada masyarakat yang terimpit oleh masalah penderitaan dan ketidakberdayaan haruslah diawali dengan pembacaan dan pembedahan objek secara adil, egaliter, dan berkeadaban, bukan asal memproduk kebijakan.

Derita masyarakat miskin Indonesia sebenarnya sangat mudah dibaca. Kalau memang punya kemauan politik terjun langsung ke masyarakat, pemerintah tidak akan kesulitan mencari dan menemukan orang miskin. Sayangnya, selama ini masyarakat miskin lebih sering berada dalam atmosfer `horor' dan penindasan berlapis akibat selalu berada dalam ancaman lahirnya kebijakan pemerintah yang represif, dehumanistis, dan menghadirkan ketidakberdayaan. Masyarakat miskin telah jadi korban kebijakan yang tidak akuntabel dan populis, serta mengidap penyakit malversasi yang mengakibatkan mereka menjalani kehidupan keseharian dalam ketidakberdayaan dan keterpurukan.

Dari pembacaan objek sosial tersebut, itu idealnya dilanjutkan dengan menyusun rencana aksi dan mewujudkan gerakan riil kesalehan bernegara yang berbasiskan pemihakan kepentingan masyarakat. Gerakan riil demikian masih belum membumi di lingkungan elite negara. Pasalnya mereka masih lebih menyukai pola-pola formalisasi kekuasaan, semisal kalaupun terjun ke masyarakat, jalur protokoler dan aksesori serta konsumerisme struktural lebih dikedepankan. Padahal, aktivitas tersebut membutuhkan cost yang tidak murah, yang sebenarnya bisa digunakan sebagai modal untuk mengurangi kemiskinan.

Langkah tersebut hanya bisa dilakukan elemen pejabat yang perjalanan karier strukturalnya tidak diabdikan demi menghamba pada pola-pola permisif, seperti memiskinkan amanat membebaskan orang miskin atau memenangkan `kedurjanaan' dalam wilayah kekuasaan atau birokrasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar