Selasa, 08 Januari 2013

Kawasan Berikat, Mau Dibawa ke Mana?


Kawasan Berikat, Mau Dibawa ke Mana?
Sari Wahyuni ;  Dosen Strategi FE UI,
Editor in Chief the South East ASEAN Journal of Management
SINDO,  08 Januari 2013



Seiring dengan menjamurnya kawasan berikat di mana-mana, pemerintah pun mulai kesulitan untuk mengawasinya. Banyaknya penyimpangan yang terjadi di kawasan tersebut, seperti kebocoran barang ekspor ke pasar dalam negeri dan smuggling, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 147/04 Tahun 2011 jo PMK 255/04 Tahun 2011 tentang Kawasan Berikat, yang ternyata sangat dilematis dan menuai banyak kritik. Betapa tidak gara-gara PMK itu, sejumlah pabrik akan terkena imbasnya. 

Minimal ada dua hal yang menohok dari PMK 147. Pertama, peraturan ini mengharuskan perusahaan yang luasnya di bawah satu hektare pindah tempat ke kawasan industri. Jika tidak dipindah ke kawasan industri, status kawasan berikat akan dihapus. Fasilitas pembebasan pajak pun hilang. Peraturan ini amat sangat dilematis. Bagaimana kalau sudah tidak ada lagi lahan yang bisa dibeli? Atau bahkan tidak ada yang mau menjual karena sudah diperuntukkan untuk hal lainnya. 

Kedua jalan buntu tersebut adalah kemungkinan besar yang terjadi saat ini. Karena crowded-nya kawasan berikat, kalaupun ada lahan kosong, harganya biasanya sudah berlipat-lipat. Nah, kalau perusahaanperusahaan tersebut harus direlokasi, siapa yang menanggung biayanya? Memindahkan industri tidak semudah memindahkan gerobak. Investasi industri berupa tanah dan bangunan tidak wajar untuk dipindah, apalagi merelokasi tenaga kerja, jelas tidak semudah membalikkan tangan. 

Bayangkan kalau ada 500 karyawan yang telah membeli rumah 1–3 km dari tempat kerja, tahu-tahu pabriknya harus pindah 50–100 km dari lokasi semula. Jelas peraturaan menteri ini bisa menimbulkan kerawanan sosial yang superrumit. Kedua, kalau sebelumnya produk di kawasan berikat ada aturan 50% produk dijual di dalam dan 50% produk luar negeri, PMK yang terbaru mengharuskan 75% ekspor dan 25% untuk pasar lokal. 

Peraturan ini tentunya dibuat dengan maksud yang baik, yaitu meningkatkan ekspor dan daya saing perusahaan di Indonesia bisa. Namun sayangnya, di tengah krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan Eropa serta beberapa bagian di dunia, peraturan baru ini dapat memberatkan dunia usaha. Kalau permintaan internasional saja menurun, bukankah peraturan ini seperti menggali lubang kubur kita sendiri? 

Kenapa peraturan ini tidak dilakukan secara bertahap sambil mempersiapkan kemampuan industrial kita serta serta memberi kesempatan mencari tujuan ekspor baru? Kenapa justru pasar Indonesia yang cukup besar tidak diperhitungkan? Ketika di awal special economuic zone (SEZ) diberlakukan di China pada 1985, perusahaan di Shenzen memproduksi 30% untuk pasar internasional dan baru pada 1998 mereka mampu menjual 40% produknya untuk pasar internasional.

Pertanyaannya, apakah peraturan menteri ini relevan dikeluarkan saat ini? Bagaimana negara-negara tetangga kita memperkuat SEZ mereka? Jangan-jangan peraturan ini akan menyebabkan perusahaan relokasi ke negara tetangga, dan kemudian mengekspor lagi ke Indonesia tanpa bea masuk? Salah satu buku saya mengenai kawasan ekonomi khusus (KEK) di empat negara Asia menunjukkan bahwa konsep bounded zone sebenarnya sudah out of date. 

Untuk memperoleh insentif, perusahaan tidak perlu berlokasi dalam satu kawasan ekonomi khusus. Yang penting adalah perusahaan harus mendapatkan izin khusus untuk melakukan kegiatan ekspor dan impor demi kelanggengan usahanya, seperti halnya yang telah diimplementasikan oleh Malaysia, China, Thailand, dan Singapura. 

Perusahaan-perusahaan yang berlokasi di luar kawasan ekonomi khusus pun dapat memperoleh fasilitas dan insentif sama dengan perusahaan yang berlokasi di kawasan ekonomi khusus, asalkan mereka dapat memenuhi berbagai persyaratan tertentu. Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan dengan bidang usaha “high technology” dan merupakan “strategic project”, serta perusahaan itu mampu mengekspor komoditinya minimal 80% tetapi tidak berlokasi di kawasan ekonomi khusus, maka perusahaan tersebut berhak memperoleh fasilitas dan insentif yang sama dengan perusahaan yang berada di kawasan ekonomi khusus. 

Hal ini menandakan bahwa lokasi perusahaan, apakah terletak di kawasan ekonomi khusus ataupun tidak, bukanlah sesuatu yang penting. Bayangkan saja kalau semua lahan KEK sudah penuh, apakah investasi tidak boleh masuk lagi? Saya dengar peraturan ini ditangguhkan, tapi sampai kini tidak jelas peraturan apa yang menggantikannya. 

Bagaimana konsekuensinya dan lain-lain? Memang negara ini penuh dengan area abu-abu, tapi kalau jalan di tempat seperti ini terus, kapan majunya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar