Selasa, 08 Januari 2013

Urgensi Penataan Birokrasi dan Kelembagaan Urusan HAM



Urgensi Penataan Birokrasi
dan Kelembagaan Urusan HAM
Hafid Abbas ;  Komisioner Komnas HAM
MEDIA INDONESIA,  08 Januari 2013



SALAH satu prioritas Kabinet Indonesia Bersatu II di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ialah mereformasi birokrasi yang ada. Banyak kalangan menilai struktur birokrasi yang ada saat ini sudah terlampau gemuk. Unitunit birokrasi yang satu dengan yang lain terlihat begitu nyata tumpang-tindih. Akibatnya, mesin birokrasi bergerak sangat lambat dalam melayani kepentingan publik.

Dalam urusan hak asasi manusia (HAM) misalnya, di tubuh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum dan HAM) terdapat tiga unit eselon satu yang menanganinya. Direktorat Jenderal HAM memiliki tugas pokok dan fungsi yang relatif sama dengan Balitbang HAM. Lagi pula, kementerian itu juga memiliki staf ahli (eselon satu) yang juga menangani urusan HAM, dan ditambah lagi dengan kehadiran wakil menteri yang tentu juga bertanggung jawab tentang urusan HAM. Karena kementerian tersebut masih sentralistis, tumpang-tindih itu akan menurun ke tingkat kantor wilayah hingga ke pranata-pranata unit birokrasi paling rendah.

Di luar Kemenkum dan HAM, urusan HAM juga tersebar di berbagai kementerian, seperti Kementerian Luar Negeri, Bappenas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, dan Kementerian Koordinator Polhukam. Selain itu, di lingkungan Dewan Pertimbangan Presiden terdapat pula Unit Hukum dan HAM yang memberikan masukan-masukan penanganan persoalan HAM kepada Presiden. Akibatnya, isu HAM di Tanah Air terdengar sangat ‘berisik’ karena didominasi aktivitas dari rapat ke rapat.

Realitas lain yang kelihatannya perlu direformasi ialah institusi-institusi HAM yang berada di luar struktur eksekutif seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Institusi-institusi itu, meski memiliki tugas pokok dan fungsi yang relatif berbeda, secara keseluruhan lebih banyak berperan sebagai lembaga pemberi rekomendasi belaka.

Mungkin itu sebabnya hingga kini penanganan persoalan HAM berjalan di tempat. Belum satu pun kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat diselesaikan. Pansus DPR 2004-2009 merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc tentang kasus orang hilang, termasuk segera mencari 13 orang yang masih dinyatakan hilang. Selain itu, pansus merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang, serta meratifikasi Konvensi Antipenghilangan Paksa.

Konsep dan Jalan Keluar

Untuk mencari jalan keluar atas realitas tersebut, dapat dilakukan dua pendekatan. Pertama ialah pendekatan komparatif dengan melihat pengalaman negara-negara lain dalam menangani urusan pemajuan dan perlindungan HAM-nya. Di antara 194 negara di dunia, ternyata hanya 1-2 negara yang menempatkan urusan HAM di kementerian kehakiman. Terdapat pula 1-2 negara yang memiliki kementerian tersendiri yang menangani urusan HAM.

Alasannya semua kementerian sesungguhnya mengemban amanat dan misi pemajuan dan perlindungan HAM. Kementerian pendidikan, misalnya, mengemban misi untuk memenuhi hak setiap warga negara terhadap pendidikan. Sewaktu saya menjabat deputi menteri urusan HAM pada 1999, hanya terdapat tiga negara yang memiliki kementerian urusan HAM, yaitu Indonesia, Norwegia, dan Burundi. Pada 2000, Norwegia mengintegrasikan Kementerian HAM ke Kementerian Luar Negeri dan Indonesia mengintegrasikannya ke Kementerian Kehakiman dan lahirlah Kementerian Kehakiman dan HAM yang saat ini bernama Kemenkum dan HAM.

Namun, jika terdapat kasuskasus pelanggaran HAM sebagai akibat penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur negara, di sinilah urgensi kehadiran Komnas HAM sebagai institusi negara yang independen untuk membenahinya. Secara kelembagaan, Komnas HAM Indonesia dapat memetik pelajaran dari sekitar 100 negara yang sudah memiliki Komnas HAM yang keberadaannya mengacu ke prinsip-prinsip Paris, dengan lima tanggung jawab, yakni (1) memantau pelaksanaan pemajuan dan perlindungan HAM, (2) memberi masukan kepada pemerintah dan parlemen, dan lembaga terkait lainnya tentang penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tertentu, penyelesaian isu-isu legislasi, dan penerapan instrumen-instrumen HAM internasional, (3) menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga regional dan internasional, (4) melakukan pendidikan HAM, dan (5) sebagai lembaga yang bersifat quasi-judicial.

Kelihatannya, prinsip-prinsip itu sesuai dengan amanat UU HAM No 39/1999, UU Pengadilan HAM No 26/2000, dan UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik, yang memberi mandat kepada Komnas HAM melakukan penelitian dan pengkajian, pendidikan dan penyuluhan, dan mediasi kasus-kasus pelanggaran HAM.
Selain itu, menarik pula ditelaah keberadaan Komnas HAM Filipina yang memiliki struktur organisasi yang mirip dengan Komnas HAM Indonesia. Komnas HAM Australia yang memiliki lima komisioner yang masing-ma sing menangani diskriminasi gender, penyandang disabilitas, penduduk asli, ras, dan lanjut usia.

Kedua ialah pendekatan reflektif konseptual sesuai dengan kepentingan bangsa. Meminjam pandangan Gandhi, pemerintahan sesungguhnya adalah alat untuk melayani rakyat, memajukan individu dan masyarakat yang tertinggal (swaraj). Mereka dilayani dan kepentingan mereka diperjuangkan karena mereka lemah. Semakin maju taraf kehidupan mereka, peran birokrasi yang mewakili dan memperjuangkan kepentingan mereka semakin berkurang.

Meski tidak mungkin dicapai suatu kondisi tidak diperlukan sama sekali birokrasi, otoritas nya harus semakin berkurang bila masyarakat sudah semakin maju. Saat ini terdapat 34 kementerian dengan 13 wakil menteri dan lebih seratus badan, komisi, dan dewan yang bersifat ad hoc yang juga kelihatannya difasilitasi setaraf menteri. Di negara-negara maju struktur birokrasinya lebih ramping. Jumlah kementeriannya pun lebih sedikit (bervariasi 12-20), tetapi kaya fungsi. Yang berkembang ialah jabatan fungsional atau keahlian.

Semoga dengan kedua pendekatan itu, Indonesia kelak akan terbebas dari segala bentuk disorientasi penataan struktur birokrasi dan kelembagaan, khususnya yang menangani urusan HAM.

Memang, kendala yang mungkin muncul bila reformasi total dilakukan ialah adanya resistensi dari mereka yang selama ini diuntungkan struktur birokrasi yang gemuk. Para menteri atau pejabat negara yang mengakar dari partai politik kelihatannya sulit menghindar dari kepentingan partai untuk memperoleh beragam kepentingan, termasuk permainan jabatan-jabatan internal di kementeriannya sehingga sangat diuntungkan dengan struktur birokrasi yang gemuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar