Senin, 14 Januari 2013

Bunyi Terukur dan Samita Alam


Bunyi Terukur dan Samita Alam
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 14 Januari 2013



Pada masa pemerintahan Kaisar Yingzong (1064–1067), hiduplah orang bijak bernama Shao Yong alias Yaofu, ahli hukum kosmos yang mengetahui segalanya mengenai langit dan bumi. 

Waktu berjalan-jalan dengan teman-temannya dia mendengar suara burung tekukur. Kemudian dia berkata: “Akan terjadi kekacauan di seluruh negeri.”Salah seorang temannya bertanya apa arti tanda yang dia tangkap dan dia menjelaskan: “Jika negeri akan menikmati keadaan tenteram damai, maka energi bumi seharusnya mengalir dari utara ke selatan. Burung tekukur tadi menandakan bahwa energi bumi mengalir dari selatan ke utara.

Ini tanda negeri bakal tercabik-cabik oleh kekacauan.” Apa yang dikatakan orang bijak itu terjadi kemudian ketika Kaisar mengangkat Wang Anshi yang juga disebut Si Keras Kepala menjadi perdana menteri. Dia mengubah undang-undang yang sudah tepat dan memberi ketenteraman bagi penduduk selama berabad-abad. Undang-undang yang dibuatnya ditentang rakyat, tapi dipaksakan agar tetap berlaku dan perubahanperubahan dalam tata kehidupan masyarakat pun terjadi. 

Semua membawa derita dan kepedihan bagi rakyat. Ringkas cerita, ketika Si Keras Kepala meletakkan jabatan, dia mengadakan perjalanan ke berbagai daerah di mana dia menemukan tanda kepedihan hati rakyat yang selama memerintah tak pernah didengarnya. Tanda-tanda itu berupa puisi, yang ditulis oleh orang tak dikenal dan ditemukannya di dalam suatu WC di suatu tempat tak terduga, di kamar penginapan di suatu kota, bahkan juga di kamar penginapan di desa-desa kecil. 

Tentu saja penulis puisi itu bukan satu orang. Ini tanda bahwa di sana-sini, di seluruh negeri, yang telah kacau karena perubahan yang dipaksakan itu rakyat marah sekali, tapi pemerintahnya keras kepala, tak menggubris suara rakyat. Pajak dinaikkan. Kesalahan pemerintah ditutup-tutupi. Pejabat yang baik dipecat. Para penjahat dinaikkan dalam posisi penting. Keadilan pun lenyap. Di dalam rumah penginapan di desa, yang dimiliki kakek tua, bangsawan dan rombongannya menginap. 

Di dinding kamar terdapat puisi yang mencaci maki Si Keras Kepala. Kakek itu ditanya, siapa yang menulis puisi itu dan dia menjelaskan bahwa penulisnya seorang pengelana tak dikenal, yang kebetulan menginap di tempat itu. Mereka berdialog tentang puisi, tentang hukum, tentang kehidupan rakyat. Si kakek sangat marah. Pelayan Si Keras Kepala mengingatkan bahwa jika sang perdana menteri mendengarnya, dia pasti dihukum berat. 

Si kakek makin marah. “Mengapa aku harus takut mati?” katanya. “Jika aku melihat penjahat itu, akan kupotong kepalanya dengan tanganku sendiri, kukeluarkan jantung dan hatinya, lalu kumakan. Dengan begitu aku bisa mati dengan tenang walaupun di ketel yang mendidih atau dipenggal pedang tajam. Semua pembantu Wang Anshi ketakutan. Wajah Wang tampak pucat pasi dan malam itu juga mereka meninggalkan penginapan itu dengan tergesagesa. 

Si kakek berkata: “Kutukanku pada bajingan Wang itu tak ada hubungannya dengan kalian. Mengapa kalian pergi?” Di suatu desa di pinggir hutan yang sangat sepi,ada lagi penginapan. Mereka menginap di situ.Pemiliknya seorang perempuan tua yang hidup sendirian.Di situ pun ada puisi yang penuh kutukan menakutkan. Kemudian mereka memutuskan, lain kali harus menginap di penginapan milik pemerintah. 

Tapi di situ pun ada puisi kutukan yang lebih membuatnya sakit hati. “Siapa orang gila yang menulis ini, mencaci kebijakan pemerintah seperti ini?”Salah seorang pegawai di situ menjawab: “Puisi seperti itu bukan hanya di sini.Tapi ada di manamana.” “Mengapa mereka menulis seperti ini,” tanya Wang, Si Keras Kepala. “Wang Anshi membuat undang-undang yang menyiksa rakyat. Kebencian rakyat kepadanya sudah sampai ke tulang sumsum mereka.

” Dia pun memberi tahu bahwa ratusan petani sudah berkumpul di suatu tempat yang bakal dilalui rombongan Wang Anshi yang menyamar itu. “Apakah para petani itu akan menyambut kedatangan mereka?” “Untuk apa menyambut musuh? Mereka siap menanti dengan gada di tangan.” Wang sadar, puisi-puisi kutukan itu tak mungkin ditulis manusia. Dalam hidup tak ada kebetulan.Pastilah dewa-dewa atau hantu yang menulisnya. 

Wang merasa sangat tertekan. Dia sering muntah darah. Ajal pun menjemputnya. Begitulah Si Keras Kepala yang mati dalam duka nestapa sebagaimana dikisahkan dalam kumpulan kisah klasik Dinasti Ming (1574–1646).
Di muka bumi ini kelihatannya berlaku hukum alam yang pasti: penguasa bisa menindas rakyat sehebat-hebatnya, tapi itu tidak kekal. Sesudah itu,datang masa pembalasan rakyat, kaum lemah, yang kelihatannya tak berdaya itu. 

Mereka tidak membalas dengan kekuatan prajurit dan senjata-senjata, melainkan secara sendiri-sendiri, tak terkoordinasi, tak ada panitia, tak ada pimpinan yang meng-gerakkan mereka. Tak ada gerakan resmi untuk pembalasan. Tapi pembalasan itu ada dan nyata. Pemerintah kita pasti tak mau disebut menindas rakyat. Pemerintah pasti ingin disebut pelindung dan pengayom rakyat. Tapi dalam sangat banyak hal, jika kita telusuri undang-undang yang berhubungan dengan bisnis, pertambangan, perkebunan, 

perbankan, pengelolaan sumber daya air, pertanian—terutama yang berhubungan dengan nasib petani tembakau—, apa sebutan yang paling manis bagi tindakan pemerintah? Menjual negara dan aset bangsa? Ah, mereka akan marah dengan sebutan itu. Memanjakan kepentingan bisnis asing dan menyengsarakan nasib bangsa kita sendiri? Ini juga tidak mengenakkan mereka. Membuka jalan bagi para pebisnis asing, membiarkan bangsa sendiri bersaing di pasar bebas yang terkutuk itu, yang semua aturannya ditentukan bangsa asing? 

Ataukah pemerintah harus disebut tak bertanggung jawab terhadap kehidupan bangsanya sendiri dan sangat peduli pada bangsa asing karena takut pada tekanan negara-negara besar? Atau karena mereka sudah kenyang dan menjadi kayaraya dari fasilitas negaranegara asing yang ahli melobi, dengan tekanan,dan bungkukan manis? Kita tak punya sebutan baik yang bisa membuat mereka senang dan kita tak bisa melacurkan diri dengan usaha mengaburkan kenyataan. 

Nama yang tepat hanya satu: kali ini, berdasarkan semua fenomena yang kita sebut di atas, harus disebut bahwa pemerintah menjadi penindas rakyat sendiri. Kekuatan-kekuatan yang paling lemah ditindas habis. Pihak asing yang kuat dan besar pengaruhnya diutamakan, dilayani, dihormati sejadijadinya, seolah pemerintah kita ini milik kekuatan asing, pelayan bagi pasar bebas sontoloyo, atau modal asing yang luar biasa serakah. 

Kasihan, pemerintah mengesankan dirinya sekadar pelayan? Rakyat sendiri ditindas. Jangan lupa, penindasan kepada petani kali ini berbahaya. Petani itu sejak abad ke-19 hingga kini tetap merupakan kekuatan revolusioner. Dalam segenap bentuk kelemahannya terdapat kedinamisan, mitraliur, senjata nitrogen, atom, dan sejenisnya yang bisa meledak menjadi kemarahan yang bikin hancur segalanya. Juga para petani itu sendiri.

Di negeri kaya sumber daya alam ini, petani masih merupakan soko guru kehidupan yang disebut Bung Karno “soko guru revolusi”itu. Jika mereka ditindas terusmenerus, sementara pihak asing dimanjakan, kemarahan yang masih mereka pendam akan diledakkan. Jalan dialog tak mempan,jalan ekstraparlementer pasti bakal terjadi dan semua menjadi kacau seperti masa pemerintahan Si Keras Kepala di zaman Dinasti Ming tersebut. Ini pelajaran, sebaiknya pemerintah kita tak usah menjadi Si Keras Kepala juga. 

Di zaman Dinasti Ming itu perlawanan rakyat begitu halus. Tapi itu perlawanan juga. Rakyat seolah hanya iseng-iseng menulis puisi. Seorang menulis dan ditinggal di WC. Seorang yang lain lagi menulis dan ditempel di dinding penginapan. Puisi demi puisi merupakan letupan perasaan yang tak diseragamkan. Semua berjalan sendiri-sendiri seperti angin bertiup, air mengalir, daun-daun melambai, ombak bergulung, gunung bergetar dan meletup dan burung tekukur menyanyikan baitbait sasmita alam: negeri bakal kacau, pemimpin yang menindas rakyat bakal mati dalam duka nestapa dan itu terjadi.

Di negeri ini terlalu banyak burung tekukur. ”Nyanyian” mereka bukan tanda apa pun. Tapi jika rakyat mulai membakar ban di jalanan dan satu kota kacau, disusul ban terbakar di kota lain, yang kemudian juga kacau, “api kemarahan” pun menyala di semua sudut negeri dan kita tak bisa mengendalikannya lagi. Itulah bait-bait “sasmita alam” yang wajib kita hindari. Para penindas rakyat bisa membacai sasmita macam itu agar tak mati dadakan seperti tragedi Si Keras Kepala? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar