Senin, 14 Januari 2013

Mendamba Restorative Justice


Mendamba Restorative Justice
dalam Kepala Hakim Kita
LR Baskoro ; Redaktur Hukum Majalah Tempo
KORAN TEMPO, 14 Januari 2013



 Alangkah leganya kita jika para hakim memiliki persepsi sama tentang hal ini: restitusi merupakan bagian tak terpisahkan dari hak korban. Sama dan sederajat dengan hak korban yang menginginkan pelaku kejahatan mendapat hukuman pidana setimpal. Karena itu, penolakan atas pengajuan restitusi sama artinya menginjak-injak rasa keadilan.
Sayang, pemahaman seperti ini tampaknya masih jauh dari harapan. Dari sejumlah kasus yang masuk peradilan, kita tahu, lebih dari 90 persen permohonan restitusi ditolak dengan beragam alasan. Harapan korban untuk mendapat ganti rugi, sesuatu yang bisa jadi sangat diperlukan dan didambakan, hanya tinggal di awang-awang.
Sampai sekarang tercatat, baru segelintir permohonan restitusi yang dikabulkan hakim. Pertama adalah kasus tewasnya M. Zarkasi pada 3 Mei 2009 akibat luka bakar setelah tokonya dibakar puluhan orang. Hakim Pengadilan Negeri Magetan, Jawa Timur, pada 30 November 2009 mengabulkan permohonan restitusi Rp 134,4 juta dari Rp 593,3 juta yang diajukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ganti rugi sebesar itu dibebankan kepada 14 terdakwa, yang juga mendapat hukuman satu hingga empat tahun penjara.
Kedua, terjadi di Pengadilan Negeri Menggalang, Tulangbawang, Lampung, pada 5 Januari 2012. Pengadilan mengabulkan permohonan restitusi Rp 11,6 juta dari Rp 841 juta yang diajukan pemohon, Arbakiyah, atas tewasnya sang suami, Sahab Sukri, yang ditembak Ajun Inspektur Satu Avit Kurniawan. Avit dihukum 15 tahun dalam kasus ini. Di luar kedua kasus itu, hampir semua pengajuan restitusi ditolak, termasuk kasus perdagangan orang (trafficking), yang persidangannya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara beberapa waktu lalu.
Kendati dua pengadilan di atas mengabulkan permohonan restitusi dari korban atau keluarganya, tetap ada catatan di sini: nilai ganti yang dikabulkan majelis hakim jauh dari harapan. Dalam kasus tewasnya Sahab Sukri, misalnya, Arbakiyah menyatakan kecewa atas putusan hakim yang menetapkan ganti rugi Rp 11,6 juta itu. Menurut Arbakiyah, uang sebesar itu jelas jauh dari cukup untuk membiayai hidup dan pendidikan delapan anaknya.
Di sini, konsep restitusi ini pun belum sepenuhnya dipahami hakim. Restitusi hanya dipahami sebagai membayar ganti rugi "dalam arti sempit" oleh pelaku tindak pidana. Bukan sebagai ganti rugi untuk korban atau keluarganya dalam arti luas akibat tindakan pelaku tindak pidana. Padahal ini yang penting. Kewajiban membayar ini sebagai hukuman yang mestinya sama beratnya dengan hukuman pidana yang dirasakan pelaku.
Dalam kasus tewasnya Sahab Sukri, hakim jelas tidak memperhitungkan bagaimana Arbakiyah mesti mencari biaya untuk menyekolahkan anaknya, katakanlah, sampai tingkat SMU, sesuatu yang pasti tidak akan menjadi bebannya jika suaminya tidak tewas. Hakim hanya berpedoman pada bukti kuitansi yang dikeluarkan keluarga korban. Padahal beban pendidikan dan kebutuhan sehari-hari yang juga telah diperhitungkan keluarga korban dan LPSK itulah yang mestinya jauh lebih penting. Ganti rugi Rp 11,6 juta juga tidak akan menimbulkan efek jera. Padahal, salah satu tujuan restitusi adalah memunculkan "efek kapok". Memberi pelajaran kepada pelaku agar berpikir dua kali jika akan melakukan perbuatan yang sama.
Konsep restitusi memang sebuah kemajuan besar dalam sistem hukum pidana kita. Restitusi merupakan bagian dari restorative justice. Dasar hukum restitusi telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, yang bunyinya, "Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana" (Pasal 7 ayat 1b UU Nomor 13 Tahun 2006).
Adapun perincian perihal tata cara proses pengajuan restitusi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Dalam peraturan pemerintah tersebut, restitusi mendapat penjelasan sebagai berikut, "Ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu." Lembaga yang memiliki peran terpenting dalam restitusi ini adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Pada akhirnya memang yang kita harapkan adalah pemahaman hakim atas restitusi ini. Jika hakim tetap saja menyikapi secara konservatif masuknya permohonan restitusi, kita dapat membayangkan bahwa restitusi sebagai bagian dari restorative justice gagal. Ini yang mesti dicegah. Pandangan hakim semacam ini mesti "dibongkar". Hakim mestinya tidak bisa berkelit, misalnya, belum ada aturan terperinci dari Ketua Mahkamah Agung, lewat SEMA (Surat Edaran MA) misalnya, perihal bagaimana memutus atau menghadapi permohonan restitusi. Hakim semestinya berpijak pada hak dan kewenangan yang mereka miliki: rechtsvinding. Apalagi dasar hukum restitusi sudah jelas: Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU Nomor 13 Tahun 2006) dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008. Dengan demikian, dengan keyakinannya, hakim mesti berani mengetukkan palu, berpihak kepada korban sebagai pemohon restitusi.
Demikian pula dengan penetapan besarnya nilai ganti rugi. Hakim mesti membuang jauh-jauh pemikiran "ganti rugi konservatif", seperti ganti rugi yang hanya didasarkan pada ada-tidaknya bukti kuitansi atau "kerugian langsung" seperti yang dikemukakan hakim yang mengadili kasus tewasnya Sahab Sukri.
Hakim semestinya berpikir jauh ke depan, mempertimbangkan penderitaan korban akibat tindak pidana dalam arti luas, sejauh ganti rugi yang diajukan korban memiliki dasar argumentasi yang kuat. Peraturan Pemerintah tentang Restitusi menyebutkan ganti rugi yang diajukan korban disahkan oleh pejabat berwenang (Pasal 22 PP Nomor 44 Tahun 2008). Jadi, jika penghitungan biaya pendidikan seorang anak hingga SMA mendapat pengesahan dari seorang kepala sekolah atau Dinas Pendidikan, argumen ganti rugi ini sudah kuat. Hakim tak memiliki alasan menolak.
Dengan demikian, bisa kita simpulkan, penegakan hak restitusi ini berpulang pada niat penegak hukum, khususnya jaksa dan hakim. Apakah mereka akan mengawal hak-hak yang ditetapkan undang-undang atau mengabaikannya, semua bergantung pada "rasa keadilan" dan keberanian yang mereka miliki. Pada titik inilah LPSK dan DPR tidak boleh berdiam diri. Dengan melibatkan Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, lembaga ini mesti segera merumuskan aturan lebih konkret perihal restitusi ini. Misalnya, termasuk, yang kini mendesak: siapa yang mengawasi pelaksanaan hukuman itu serta bagaimana mekanisme pemaksanya jika pelaku mengingkari hukuman ganti rugi yang telah ditetapkan hakim. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar