Selasa, 15 Januari 2013

Bernegara Hukum Tanpa Budaya Malu


Bernegara Hukum Tanpa Budaya Malu
Sudjito ;  Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
SINDO, 14 Januari 2013



Kritik Mahfud MD tentang ketidakpahaman para politikus pada dunia perundang-undangan itu benar sebagai realitas empiris. Dikatakan, ketidakbenaran undang-undang (UU) selama ini disebabkan beberapa hal. 

Pertama, ada istilah tukar-menukar dengan cara kompromi. Kedua, karena jual beli atau dikendalikan oleh pihak luar dan itu berarti bisa dibeli. Ketiga, karena ketidakprofesionalan anggota DPR (23/11/12). Sebab terakhir terkait dengan latar belakang berupa faktor ketidakpahaman alias kurang ilmu tentang proses legislasi. 

Seandainya nilai-nilai Pancasila, khususnya nilai kemanusiaan, mengisi relung rongga dada para politikus,barangkali tanpa kritik pedas seperti itu yang bersangkutan sudah melengserkan diri. Mengapa? Karena malu. Pancasila sebagai dasar filsafat negara yang digali dari adat-istiadat, agama, dan budaya Nusantara sarat dengan budaya malu. Akan tetapi, sayang, budaya malu kini langka ditemukan di lembaga terhormat itu. 

Kita paham,DPR memang lembaga politik.Aktivitas politik berupa tarik-ulur pengaturan dan pengendalian kekuasaan dalam pemerintahan berlangsung setiap saat. Semestinya, seluruh aktivitas politik dilakukan dalam bingkai nilai-nilai Pancasila. Benarkah demikian? Mengacu pada pernyataan Mahfud MD di atas, ternyata tidak. Mereka sering terlibat kegiatan transaksional seperti tukar-menukar (barter) kepentingan, jual-beli pasal, bahkan mengorbankan kepentingan bangsa demi kepentingan lain. 

Perilaku politik seperti itu justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Perlu diingat bahwa DPR juga lembaga hukum. Secara konstitusional, lembaga ini memiliki otoritas memproduksi UU bersama-sama pemerintah. Sebagai lembaga hukum, ada hak dan kewajiban yang melekat kepadanya. Haknya sudah jelas membuat UU itu sendiri. Dukungan keuangan, sarana-prasarana yang melimpah (bahkan berlebihan) dialokasikan agar proses legislasi berjalan lancar.

Konsekuensinya, mereka wajib mempersembahkan kepada bangsa ini UU berkualitas, yaitu UU yang berpotensi tinggi sebagai sarana menyejahterakan rakyat. Dalam kenyataannya, kewajiban yuridis-konstitusional itu terabaikan. Sekadar bukti, Mahkamah Konstitusi (MK) mencatat bahwa permohonan pengujian undang-undang yang dikabulkan pada 2012 meningkat 31%. Itu artinya kekeliruan dalam membuat UU meningkat juga sebesar angka di atas. 

Tanpa adanya perhatian serius terhadap aspek moralitas, integritas (khususnya pengembangan budaya malu di kalangan politikus), saya perkirakan pada tahun-tahun ke depan persentase akan naik.
Ditarik ke belakang, eksisnya politikus “gagap hukum” dan “tunamalu” tidak lepas dari pendidikan yang diberikan oleh orang tua maupun guru. Pendidikan Pancasila pada era Orde Baru yang terkesan doktriner dan politis disambung pendidikan tanpa Pancasila di era Orde Reformasi boleh jadi berpengaruh signifikan terhadap karakter politikus saat ini. Saya terkesima dan malu ketika teringat cerita tentang budaya malu di Jepang. Anak-anak usia sekolah dasar dapat menata sendiri sepatunya di rak sebelum masuk kelas sehingga indah dan rapi.

Analisis pakar pendidikan menyimpulkan bahwa ada tiga landasan pola pendidikan di Jepang, yaitu bahasa sebagai alat komunikasi, budaya menolong orang lain,dan pengamalan agama. Di Indonesia,saya cermati ketiga landasan pendidikan itu sangat bermasalah.Pertama, bahasa sebagai alat komunikasi mengenal hierarki. Bahasa Jawa misalnya, ada ngoko, krama, krama madya, dan krama inggil. 

Berkomunikasi sarat dengan etika, hormat kepada siapa orang yang diajak bicara. Sungguh malu, ketika mengatakan ”aku durung dhahar” (saya belum makan). Kata ”dhahar” tidak pantas digunakan untuk meninggikan derajat diri sendiri. Sekarang, bahasa sudah disalahgunakan, dipermainkan dalam dunia peradilan. Apel malang, apel washington dimunculkan untuk mengelabui pihak lain di luar komunitas koruptor. 

Bahasa bukan lagi alat komunikasi, melainkan alat manipulasi. Kedua, budaya tolong-menolong. Ini merupakan wujud konkret pengimplementasian nilai-nilai kolektif, kebersamaan, dan kekeluargaan. Jepang memang menonjol dan sampai sekarang pun mampu bertahan dengan budaya kolektivitasnya. Kita sebenarnya memiliki budaya serupa yang dinamakan Bung Karno gotong royong. Dinyatakan intisari Pancasila adalah gotong royong. 

Budaya ini kini cenderung luntur dan berganti menjadi budaya individual.  Orang lain dipandang sebagai pesaing dan oleh karenanya tidak perlu ditolong. Orang lain diajak bekerja sama hanya ketika ada kepentingan dan akan bercerai lagi ketika kepentingannya sudah terpenuhi. Dunia politik dan bisnis cenderung mengarah pada budaya kongkalikong, pat gulipat, lu lu, gue gue. Rakyat miskin bukan subjek yang perlu ditolong oleh penguasa, tetapi justru sering dikorbankan untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya.

Falsafah hidup damai dalam keharmonisan telah berubah menjadi falsafah materialisme. Demi materi segalanya boleh dilakukan: jualbeli pasal, kompromi kepentingan, manipulasi tanpa merasa bersalah ataupun malu. Ketiga, pengamalan agama. Orang Jepang mayoritas penganut agama Shinto dan sebagian Buddha atau agama yang lain. Agama diajarkan bukan sekadar sebagai pengetahuan, tetapi diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Belajar mandiri, tertib, dan rapi mengerjakan tugas sekolah, taat pada rambu lalu lintas, hormat kepada orang tua dan guru adalah beberapa contoh konkret pengamalan agama. Ada sinergi antara keluarga,masyarakat, dan sekolah dalam menanamkan nilai-nilai agama. Di Indonesia sinergi dan kontinuitas itu tidak ada. Boleh jadi benar para politikus kita sebagian asal pondok pesantren, tetapi ketika telah berada di komunitas partai politik, yang diamalkan bukan ajaran agama, melainkan paham materialisme dan sekularisme. 

Sesungguhnya budaya malu selalu bergandengan tangan dengan komunikasi, kekeluargaan, dan agama. Apabila hilang salah satunya, hilang pula lainnya. Barangkali itulah realitas konkret proses legislasi dalam politik hukum yang dijalankan para politikus ”gagap hukum” dan ”tunamalu”. Wallahu a’lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar