Kearifan
Perkawinan Samin
Moh Rosyid ; Dosen STAIN Kudus,
Penulis
buku Nihilisasi Peran Negara: Potret Perkawinan Samin
|
SUARA
MERDEKA, 14 Januari 2013
Publik menimpakan beban berat kepada
komunitas Samin dalam wujud stigma negatif, antara lain pembangkang, miskin,
tertutup, kolot, bahkan ateis. Tuduhan dilontarkan oleh perangkat Desa
Klopoduwur Blora yang taat pada instruksi penjajah. Stigma itu hingga kini
masih terdengar karena tak semua orang memahami seutuhnya jati diri wong
Samin.
Tuduhan itu mendasarkan
pada fakta semasa kolonial komunitas Samin menentang segala instruksi melalui
gerakan diam dan menyendiri. Hal itu berbeda setelah Indonesia lepas dari
belenggu penjajahan. Ketaatan mereka juga demi memenuhi pesan leluhur.
Kemunculan komunitas Samin
berawal dari kesadaran Raden Kohar (anak Bupati Sumoroto, Tulungagung Jatim)
yang melihat kesewenang-wenangan pemerintah kolonial merampas harta petani
miskin, terutama tanah yang tak luas. Dia berganti nama menjadi Ki Samin
Surosentiko, untuk menyembunyikan keningratannya.
Sejatinya ia pujangga
pesisiran Jawa pasca-Ronggowarsito. Setelah mempunyai banyak pengikut, ia
merampas harta Belanda untuk si miskin. Tahun 1907 Belanda menculiknya
beserta 8 pengikut, dan membuang mereka ke Sawahlunto Sumatra Barat. Ki Samin
meninggal tahun 1914 sebagai tawanan.
Ada perbedaan jelas antara
wong Samin dengan bukan Samin. Warga Samin ndaku (mengaku) beragama Adam,
menaati prinsip ajaran hidup, dan menjauhi sejumlah larangan, termasuk
menyelenggarakan perkawinan yang tak melibatkan peran negara karena menerapkan
akad lisan.
Tuduhan terkait perkawinan
yang tidak mengindahkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi
perdebatan. Bahkan ada pihak mengategorikan sebagai ’’kejahatan’’ karena
memperbolehkan perkawinan di bawah umur (perkawinan dalam usia anak) dan
perkawinan yang tak dicatatkan (tak berakta nikah).
Konsistensi
Janji
Perkawinan warga Samin
tidak mendasarkan pada syarat usia tetapi keinginan calon mempelai. Terkait
usia calon, komunitas itu membaginya dalam beberapa tingkatan, yakni timur
(usia belia), brahi (siap kawin), dan putu Adam (sudah berkeluarga). Kawin
Samin tak dicatatkan, cukup mengucap janji (akad lisan) yang direstui kedua
orang tua mempelai.
Riset yang dilakukan
penulis, bila terjadi perceraian, gana-gini dimusya-warahkan secara
kekeluargaan, dan suami secara formal menyerahkan bekas istri kepada bekas
mertua. Pemicu perceraian umumnya karena suami atau istri hidup terpisah di
wilayah berbeda, dan berjauhan. Contoh, pasangan yang ingin merawat hari tua
masing-masing orang tua mereka, yang memang tinggal di wilayah yang berbeda
kabupaten atau provinsi.
Sebenarnya ada pelajaran
yang dapat kita petik dari kawin ala Samin, yakni konsistensi janji ketika
’’ijab kabul’’. Seandainya terjadi perceraian dan suami menikah lagi dengan wanita
lain, ia tetap memenuhi hak-hak (bekas) istri dan anak. Selain itu, meski
perkawinan itu tidak dicatatkan (tidak melibatkan petugas KUA alias tidak
akan ada buku nikah), penulis tak menemukan warga Samin yang berpoligami.
Komunitas Samin justru
menunjukkan kearifan lokal (local genius) hidup di negara Bhinneka Tunggal
Ika, dengan konsekuensi negara melindungi keberagaman.
Bagaimana soal
ketidaktaatannya mencatatkan perkawinan? Wacana ’’menghakimi’’ model kawin
Samin pernah terlontar dalam pembahasan RUU tentang Hukum Materiil Peradilan
Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPABP) dalam daftar Prolegnas 2010 yang
mengkriminalkan pelaku perkawinan siri.
Penulis berharap rancangan
regulasi itu bisa memperkaya UU Nomor 1 Tahun 1974. Seyogianya pembuat
regulasi jangan menafikan keunikan pernikahan yang dilakukan oleh semua
komunitas di negeri ini, sebelum pelayanan prima Kemenag pada bidang
perkawinan terwujud dalam bentuk menjauhkan dari perilaku korup. ●
|
mantep sekali info nya
BalasHapusbanyak sekali artikel kawin
BalasHapusjual cincin kawin