Selasa, 15 Januari 2013

Kearifan Perkawinan Samin


Kearifan Perkawinan Samin
Moh Rosyid ;  Dosen STAIN Kudus,
Penulis buku Nihilisasi Peran Negara: Potret Perkawinan Samin
SUARA MERDEKA, 14 Januari 2013



Publik menimpakan beban berat kepada komunitas Samin dalam wujud stigma negatif, antara lain pembangkang, miskin, tertutup, kolot, bahkan ateis. Tuduhan dilontarkan oleh perangkat Desa Klopoduwur Blora yang taat pada instruksi penjajah. Stigma itu hingga kini masih terdengar karena tak semua orang memahami seutuhnya jati diri wong Samin. 

Tuduhan itu mendasarkan pada fakta semasa kolonial komunitas Samin menentang segala instruksi melalui gerakan diam dan menyendiri. Hal itu berbeda setelah Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Ketaatan mereka juga demi memenuhi pesan leluhur.

Kemunculan komunitas Samin berawal dari kesadaran Raden Kohar (anak Bupati Sumoroto, Tulungagung Jatim) yang melihat kesewenang-wenangan pemerintah kolonial merampas harta petani miskin, terutama tanah yang tak luas. Dia berganti nama menjadi Ki Samin Surosentiko, untuk menyembunyikan keningratannya.

Sejatinya ia pujangga pesisiran Jawa pasca-Ronggowarsito. Setelah mempunyai banyak pengikut, ia merampas harta Belanda untuk si miskin. Tahun 1907 Belanda menculiknya beserta 8 pengikut, dan membuang mereka ke Sawahlunto Sumatra Barat. Ki Samin meninggal tahun 1914 sebagai tawanan.

Ada perbedaan jelas antara wong Samin dengan bukan Samin. Warga Samin ndaku (mengaku) beragama Adam, menaati prinsip ajaran hidup, dan menjauhi sejumlah larangan, termasuk menyelenggarakan perkawinan yang tak melibatkan peran negara karena menerapkan akad lisan.  

Tuduhan terkait perkawinan yang tidak mengindahkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi perdebatan. Bahkan ada pihak mengategorikan sebagai ’’kejahatan’’ karena memperbolehkan perkawinan di bawah umur (perkawinan dalam usia anak) dan perkawinan yang tak dicatatkan (tak berakta nikah).

Konsistensi Janji

Perkawinan warga Samin tidak mendasarkan pada syarat usia tetapi keinginan calon mempelai. Terkait usia calon, komunitas itu membaginya dalam beberapa tingkatan, yakni timur (usia belia), brahi (siap kawin), dan putu Adam (sudah berkeluarga). Kawin Samin tak dicatatkan, cukup mengucap janji (akad lisan) yang direstui kedua orang tua mempelai.

Riset yang dilakukan penulis, bila terjadi perceraian, gana-gini dimusya-warahkan secara kekeluargaan, dan suami secara formal menyerahkan bekas istri kepada bekas mertua. Pemicu perceraian umumnya karena suami atau istri hidup terpisah di wilayah berbeda, dan berjauhan. Contoh, pasangan yang ingin merawat hari tua masing-masing orang tua mereka, yang memang tinggal di wilayah yang berbeda kabupaten atau provinsi.

Sebenarnya ada pelajaran yang dapat kita petik dari kawin ala Samin, yakni konsistensi janji ketika ’’ijab kabul’’. Seandainya terjadi perceraian dan suami menikah lagi dengan wanita lain, ia tetap memenuhi hak-hak (bekas) istri dan anak. Selain itu, meski perkawinan itu tidak dicatatkan (tidak melibatkan petugas KUA alias tidak akan ada buku nikah), penulis tak menemukan warga Samin yang berpoligami.
Komunitas Samin justru menunjukkan kearifan lokal (local genius) hidup di negara Bhinneka Tunggal Ika, dengan konsekuensi negara melindungi keberagaman. 

Bagaimana soal ketidaktaatannya mencatatkan perkawinan? Wacana ’’menghakimi’’ model kawin Samin pernah terlontar dalam pembahasan RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPABP) dalam daftar Prolegnas 2010 yang mengkriminalkan pelaku perkawinan siri.

Penulis berharap rancangan regulasi itu bisa memperkaya UU Nomor 1 Tahun 1974. Seyogianya pembuat regulasi jangan menafikan keunikan pernikahan yang dilakukan oleh semua komunitas di negeri ini, sebelum pelayanan prima Kemenag pada bidang perkawinan terwujud dalam bentuk menjauhkan dari perilaku korup. ●

2 komentar: