Selasa, 15 Januari 2013

Taktik China untuk Mengerdilkan Jepang


Taktik China untuk Mengerdilkan Jepang
A Dahana ;  Pengamat China dan Wakil Direktur Eksekutif Institut Peradaban
SINAR HARAPAN, 14 Januari 2013



China menyebarkan propaganda tentang kemungkinan terjadinya kebangkitan militerisme Jepang.

Sampai sekitar dua bulan silam Beijing dan kota-kota besar di seantero China dibuat riuh oleh demonstrasi anti-Jepang.

Demo yang beraroma kerusuhan itu bagaikan tak pandang bulu. Segala hal yang berbau saudara tua itu diganyang, termasuk restoran yang menyajikan makanan Jepang, yang notabene milik para pengusaha China sendiri.

Namun, para wartawan Barat yang menyaksikan keriuhan itu punya pendapat sendiri. Para peserta demo anti-Jepang itu, menurut pengamatan mereka, tidak besar, hanya beberapa ratus saja.

Jumlah itu jauh lebih kecil ketimbang kerumunan para pendemo yang memperingati pembantaian Tiananmen pada 1989, pada Juni silam, dan ditindas polisi. Yang mengherankan, pada pengamatan mereka, polisi dan anggota para militer yang berjaga di tempat-tempat berbagai perusakan itu terjadi seakan membiarkan gerombolan yang melakukan kerusuhan itu.

Atas dasar itu para peninjau asing umumnya yakin demo anti-Jepang itu memang diatur pemerintah. Massa diberi keleluasaan untuk melampiaskan dendam sejarah dan semangat nasionalisme mereka kepada negara dan bangsa yang dianggap telah menghina China di zaman lalu, terutama pada Perang Dunia ke-2 (1939-1945).

Pemerintah China yang dikenal sebagai ahli dalam mengatur aksi massa cukup pandai. Demo diatur supaya tak besar agar terkelola dengan baik. Gunanya supaya tidak beringas dan beralih menjadi aksi massa yang menentang pemerintah seperti yang terjadi di Tiananmen pada 1989.

Gerakan anti-Jepang itu memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian upaya para penguasa China untuk mengecilkan arti Jepang di dunia internasional. Kebetulan isu klaim tumpang tindih antara Jepang dan China atas gugusan pulau (Diaoyutai dalam bahasa China)—pada saat yang sama bersamaan dengan klaim atas beberapa kepulauan di Laut China Selatan dengan beberapa negara ASEAN—pada saat ini tengah mengemuka dan menjadi isu besar baik di dalam maupun di luar negeri Cina.

Untuk mereka yang memahami sejarah, aksi Jepang itu dianggap sebagai dendam sejarah. Maklumlah perbuatan dan penindasan yang dilakukan Jepang terhadap China memang tidak terpuji. Sebut saja misalnya partisipasinya dengan imperialisme Barat dalam membagi-bagi wilayah China, penyembelihan atas Kota Nanjing (1931) yang memakan korban puluhan bahkan mungkin ratusan ribu orang China. Atau agresi menjelang Perang Dunia II, dan penciptaan negara Manchukuo (1937).

Sebut juga berbagai perjanjian sebagai akibat kekalahan perang yang memaksa para penguasa Qing membayar ganti rugi dan menyerahkan wilayah. Tema “perjanjian tak adil” (bu pingdeng tiaoyue) merupakan ungkapan yang selalu diulangi dalam membaca sejarah China.

Uniknya, pada mulanya aksi Jepang adalah demi “menyelamatkan” negara dan bangsa China sebagai sumber inspirasi kebudayaan Jepang dari kehancuran.

Namun, seiring dengan militerisasi negara dan masyarakat Jepang, tindakan penyelamatan itu telah berubah menjadi agresi imperialistik. China tak melupakan itu dan pengajaran sejarah serta serta pemompaan semangat nasonalisme terhadap kaum muda terutama, telah menjadikan api emosi anti-Jepang tetap menyala.

Sebagai contoh, ada sebuah museum, berada sedikit di luar Beijing, yang dimaksudkan buat memelihara ingatan kolektif akan kekejaman Jepang. Yang paling menarik misalnya, di dinding museum tersebut terpampang sebuah kliping dari koran Jepang yang menggambarkan tindakan yang menurut asas HAM sekarang bisa dianggap sebagai biadab.

Menurut koran itu, di Nanjing beberapa kali diadakan perlombaan di kalangan serdadu Jepang buat menentukan siapa yang mampu paling banyak membunuh orang China dengan bayonet dalam waktu yang ditentukan. Di kota-kota lain pasti ada tempat-tempat semacam yang maksudnya memelihara ingatan kolektif itu.

Makin Digenjot

Dengan meningkatnya kelas China dari sebuah negara yang dulu disebut salah satu dari negara yang sedang berkembang ke posisi adikuasa sejak reformasi ekonomi dimulai, usaha untuk mengerdilkan Jepang itu makin digenjot. China ingin menjadi penguasa tunggal di Asia. Apalagi Amerika yang hampir selama seabad ini malang melintang di Asia, dan juga Jepang yang sampai akhir abad lalu menduduki posisi ekonomi terbesar nomor dua tengah “sakit.”

Itu antara lain disebabkan petualangan militer Amerika yang tak kenal batas. Di Jepang, demokrasi liberal telah membuat kabinet dan perdana menteri muncul silih berganti dalam waktu singkat sehingga telah membuat adanya kebijakan cukup langgeng menjadi sukar dilakukan.

Di dunia internasional usaha pengerdilan atas “saudara tua” itu tak pernah berhenti. China selalu berusaha untuk membuat Jepang menjadi sebuah negara “abnormal.” Itu berarti sebuah negara berdaulat, tetapi tak memiliki kekuatan militer untuk mempertahankan diri apabila ada serangan dari luar. Jepang harus tetap tergantung pada Amerika dengan perlindungan militernya.

Untuk itu China selalu melobi setiap pemerintah yang berkuasa di Washington buat menekan Jepang sebagai sebuah negara pasif—dilarang mengubah konstitusi yang hanya membolehkannya memelihara “pasukan bela diri” yang jelas tak mungkin digunakan buat menahan agresi dari luar.

Usaha di dunia internasional buat pegerdilan ini cukup berhasil lantaran dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi gesekan yang cukup serius antara Tokyo dan Washington. Itu disebabkan munculnya nasionalisme Jepang yang merasa terhina dengan kehadiran tentara pendudukan Amerika di Jepang karena dianggap sebagai kolonialisme. Juga masih hadirnya kaum pasifis di Jepang yang menentang pembangunan militer.

Diperparah lagi dengan beberapa insiden antara personel tentara Amerika dengan penduduk Jepang, antara lain kasus pemerkosaan seorang gadis Jepang oleh dua tentara Amerika di Okinawa. Di kalangan negara-negara Asia, China menyebarkan propaganda tentang kemungkinan terjadinya kebangkitan militerisme Jepang apabila negeri itu diberi keleluasaan untuk mepersenjatai diri kembali.

Propaganda itu tak berhenti di dunia internasional saja, tetapi juga di dalam negeri Jepang sendiri. Rasa bersalah terus ditanamkan di kalangan masyarakat Jepang.

China selalu menyerang dengan keras setiap kunjungan seorang perdana menteri ke kuil Yakushuni tempat abu para prajurit yang gugur dalam Perang Dunia II disimpan, di mana antara lain sisa-sisa para jenderal yang dianggap sebagai penjahat perang. Turis-turis Jepang yang berkunjung ke China selalu dibawa ke museum-museum dan tempat-tempat peringatan tentang kekejaman militer Jepang di China.

Membuat sebuah negara berpenduduk 120 juta tergantung kepada kekuatan luar dalam mempertahankan diri andaikata ada serangan dari luar memang sesuatu yang tak masuk akal. Tapi, itulah strategi untuk memenangkan posisi nomor satu. Dalam beberapa tahun terakhir ini ada beberapa kiat Jepang untuk bangkit dari keterpurukan itu. Pertama yang dilakukannya adalah memperkuat pertaliannya dengan Amerika.

Namun, itu masih belum cukup. Jepang harus memperbaiki politik dalam negerinya antara lain dengan menciptakan pemerintah yang berwibawa. Mengubah konstitusi yang memungkinkannya menciptakan kekuatan militer yang dipandang oleh pihak yang punya potensi untuk menjadi musuh juga tak kurang pentingnya.

Penguasa politik macam itulah yang akan mampu menjadikan Jepang mendapat sebutan sebagai sebuah judul buku terkenal, Jepang sebagai Nomor Satu dan slogan populer yang berbunyi, “Jepang yang bisa mengatakan tidak!”

2 komentar:

  1. jepang menghancurkan pearl harbour menewaskan 2400 jiwa, amerika membalas dengan bom atom dan menewaskan 220.000 jiwa, jepang tidak bisa marah ke amerka karena mereka yang memulai duluan, dan amerika tidak bisa dendam lagi karena mereka menghajar jepang dengan bom dengan korban jauh lebih banyak. (tipikal amerika)
    jepang memenggal dan memperkosa rakyat cina sebanyak 300.000 jiwa, dan sampai saat ini belum ada balasan sama sekali. suatu saat jepang akan terkena nuklir dari negara yang pernah di jajahnya, yang pasti bukan indonesia, karena sampai saat ini jepang masih menjajah indonesia, dan rakyat indonesia tetap senang dengan barang jajahan jepang, ironi tapi kenyataan

    BalasHapus
  2. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus