Bencana Alam
Memberi Isyarat
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Januari 2013
JAKARTA menutup 2012 dengan tampilan gembira ria penduduk
di jalan-jalan protokol di pusat kota. Ketika kilasan kembang api
menyemarakkan langit, masyarakat bersorak menyambut Tahun Baru dengan
harapan-harapan aru. Sesaat mereka lupa akan banjir yang mengawal datangnya
2013, ketika kemilau dan citra kemewahan Jakarta sejenak sirna karena
ramainya tayangan tentang daerah-daerah kumuh yang diserang banjir. Saat
datang bencana alam, seluruh Indonesia menjadi tahu, Jakarta tidak sepenuhnya
seperti yang mereka bayangkan. Kemelaratan desa ibaratnya telah pindah ke
sebagian wilayah Jakarta. Memang benar gula mengundang semut. Tetapi,
kemanisannya ternyata mengandung kepahitan.
Membicarakan banjir berarti berbicara soal bencana alam
yang mengganggu lingkungan. Ternyata dalam waktu bersamaan memang bukan hanya
Jakarta yang kena murka alam. Banyak tempat lain di muka bumi dilanda banjir
dan badai, termasuk tetangga kita Malaysia, yang belasan ribu penduduknya di
bagian Timur terpaksa mengungsi karena banjir.
Apa yang diramalkan buku Global 2000 rupanya menjadi
kenyataan. Penduduk terlalu padat, polusi menghebat, dan lingkungan hidup
lebih mudah kena guncangan. Lebih-lebih bila tidak ada perubahan kebijakan
secara institusional. Yang ditegaskan dalam buku itu, bila kita memperlakukan
planet Bumi dan sumber-sumbernya seserakah selama ini, kita tidak mungkin
menghindari datangnya bencana besar. Tetapi laporan mengerikan itu rasanya
kurang mendapat tanggapan.
Mengapa? Berpikir dengan perspektif jangka panjang agaknya
bukan kebiasaan kita. Sekarang sebagian besar wilayah dunia mengalami tekanan
karena ledakan penduduk, kemelaratan dan kerusakan lingkungan serta
sumber-sumbernya; termasuk di Indonesia. Dalam pada itu kita ramai berbicara
tentang kemanusiaan, tentang hak-hak asasi, tentang asas-asas Pancasila. Tapi
lain kata, bisa lain perbuatan.
Perlu Strategi Terkoordinasi
Kita ibarat pasak lebih besar daripada tiang. Dinamika
pembangunan demi kesejahteraan manusia sudah mengalahkan kemampuan sumber
yang ada. Coba bayangkan, bila kemerosotan mutu tanah terus berlangsung
seperti sekarang, luas wilayah yang bisa ditanami di bumi akan makin
menyusut, bisa sampai separonya. Jumlah hutan tropis yang masih perawan pun
hanya akan tinggal separo. Padahal dalam periode setengah abad sejak 1950,
penduduk dunia telah meningkat lebih dari dua kali lipat. Saat ini jumlahnya
bahkan sudah lebih dari 7 miliar. Penduduk Indonesia sejak 1950 telah
meningkat dari sekitar 77 juta menjadi lebih dari 3x sekarang ini.
Yang jelas, jumlah manusia yang makin banyak membutuhkan
sumber-sumber yang makin langka, diperburuk laju konsumsi di negara-negara
maju yang tidak sebanding dengan konsumsi di negaranegara berkembang. Tetapi,
tanggung jawab harus dipikul bersama.
Rakyat negara-negara berkembang dituntut lebih hatihati
dan berhemat, walaupun untuk membebaskan ratusan juta rakyat yang melarat,
mereka terpaksa mengeruk sumber-sumber yang nantinya masih mereka perlukan
untuk meningkatkan kesejahteraan. Sementara itu, usaha mengatasi pelestarian
yang bersifat mendesak memerlukan waktu. Misalnya, diperlukan waktu antara 50
sampai 150 tahun untuk meremajakan hutan. Memang perlu strategi yang
mengerahkan semua unsur, yakni para penyusun kebijakan dan
penasihat-penasihatnya, para penjaga pelestarian alam, semua yang langsung
terlibat dengan sumber-sumbernya, para pelaksana pembangunan, maupun kalangan
industri dan perdagangan, serta tentunya rakyat.
Perlu digarisbawahi
pentingnya pula kerja sama antarnegara untuk mengatasinya.
Sikap Modern Menghadapi Tantangan
Bencana alam yang melanda Indonesia--termasuk tsunami yang
melanda Pulau Sumatra delapan tahun yang lalu dan mengakibatkan 200 ribu
orang menjadi korbannya--juga menunjukkan tidak tepatnya asumsi bahwa lebih
mudah membangun negara yang memiliki tanah luas dan subur, bahan-bahan
mineral yang memiliki nilai ekonomi, dan tenaga kerja yang berlimpah,
daripada membangun negara yang miskin akan sumber.
Sebab terbukti banyak negara yang diberkahi kekayaan
(termasuk Indonesia) hanya mampu memberikan taraf hidup sederhana, kalau
bukan rendah, pada rakyatnya. Menurut Profesor Stanislaw Wellisz, pengajar
Ilmu Ekonomi di Universitas Columbia, negara-negara seperti Swiss, Belanda,
dan Denmark tergolong di antara negara-negara yang paling kaya di dunia,
walaupun kalau ditilik dari sumbernya, negara-negara itu tergolong miskin.
Masalahnya, antara lain terletak pada teknologi modern.
Dengan teknologi modern, negara-negara yang miskin sumber dapat mengatasi
kekurangan-kekurangannya. Sebaliknya negara-negara yang kaya akan sumber
mungkin akan mengalami kerepotan ketika sumbernya menipis. Contohnya
Indonesia, yang pernah dibanjiri petro dollar karena produk ‘emas cair’-nya,
sekarang repot memikirkan masalah bahan bakar.
Tetapi, walaupun menjadi penggerak pembangunan ekonomi,
kemajuan teknologi bukan satu-satunya obat mujarab. Agar tidak terlalu
ketinggalan dari negara-negara maju, modernisasi diperlukan. Yang dimaksud
dengan modernisasi bukan hanya penanaman modal asing yang membawa serta
teknik-teknik baru. Bukan pula pembangunan industri mobil dan semacamnya. Yang
diperlukan adalah sikap modern untuk siap mengikuti modernisasi. Setelah
sikap itu dibangun, baru dicari cara-cara baru mempercepat pembuahan hasil.
Untuk itu tidak ada jalan lain kecuali lewat pendidikan. Menggunungnya sampah
yang memperparah bencana banjir menunjukkan betapa minimnya pendidikan
masyarakat kita.
Apakah investasi asing yang dielu-elukan masih kita
perlukan? Terutama untuk pendidikan, tentu tetap
diperlukan, asalkan bertolak dari kepentingan nasional tanpa bersikap
chauvenistic dan prejudice. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar