Jumat, 04 Januari 2013

Prospek Regulator Sistem Pembayaran 2013


Prospek Regulator Sistem Pembayaran 2013
Achmad Deni Daruri ; President Director Center for Banking Crisis 
SINDO,  04 Januari 2013

  

Ketegasan Presiden Barack Obama mengatur sistem keuangan di Amerika Serikat (AS) dalam rangka menjamin sistem pembayaran yang efisien menjadi salah satu faktor penentu terpilihnya kembali Obama menjadi presiden AS untuk periode kedua. 

Obama menghukum UBS yang merekayasa LIBOR sebesar USD1,2 miliar tanpa ampun. Obama telah memperlihatkan kepada masyarakat AS bahwa mengatur industri keuangan hukumnya wajib dalam rangka menjamin sistem pembayaran. Pesaing Obama yang juga pemain dalam Wall Street,Mitt Romney,dibuat tak berkutik sekalipun para juragan Wall Street mengerahkan dana dukungan yang luar biasa kepada Romney. 

Rakyat AS secara cerdas telah memilih Obama karena sistem pembayaran menjadi semakin baik di tangan Obama. Kerja sama yang baik antara pemerintahan Obama dengan Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke telah membuahkan hasil yang sangat luar biasa dalam mendukung terciptanya regulator sistem pembayaran yang andal. Langkah bank sentral dengan mengucurkan bantuan bagi pembiayaan sektor perumahan sebesar USD85 miliar sebulan telah terbukti membuat sistem pembayaran kembali pulih.

Pada hakikatnya regulator sistem pembayaran di AS adalah bank sentral.Namun tanpa dukungan Pemerintah AS, daya dukung sistem pembayaran dalam menopang aktivitas ekonomi di AS dan negara lain tidak akan sebesar saat ini. Peran penting regulator sistem pembayaran ini adalah dalam membentuk sistem pembayaranyangtidakdipengaruhi kekuatan politik mana pun dengan kata lain sistem ini dibentuk secara objektif.Peran bank sentral yang bukan hanya berfungsi untuk mengelola inflasi, tetapi juga menurunkan pengangguran layak menjadi acungan jempol bagi kita semua. 

Dengan kata lain bank sentral AS sesungguhnya menjalankan peran seperti yang diharapkan konstitusi kita, yaitu Undang- Undang Dasar 1945 dan Pancasila, dari Bank Indonesia. Bahkan baru-baru ini bank sentral AS yang merupakan regulator sistem pembayaran dengan lantang menetapkan target inflasi sebesar 2,5% dan angka pengangguran sebesar 6,5% sebagai acuan kebijakan moneter.AS yang oleh banyak pengamat di Indonesia dikatakan sebagai negara yang menganut asas ekonomi neoliberalisme justru terbukti menjalankan semangat sosialis seperti yang tercantum dalam UUD 1945 dan Pancasila.

Sementara Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia justru menjadi bank yang berasas neoliberalisme di mana tugas bank sentral semata-mata hanya menjaga inflasi, dengan kata lain bank sentral merupakan bank yang independen atau bank berasas neoliberalisme. Bukanhanya itu,sistempembayaran di AS juga bertujuan untuk menciptakan kapasitas dari pengeluaran pemerintah yang sebesar mungkin sehingga rasio pengeluaran Pemerintah AS terhadap produk domestik bruto (PDB) juga jauh lebih besar ketimbang rasio yang sama di Indonesia. Artinya sistem pembayaran di AS menciptakan regulator yang tidak berasas neoliberalime.Berbeda dengan di Indonesia di mana pengeluaran negara terhadap PDB menjadi sangat kecil jika dibandingkan dengan AS. 

Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, seharusnya regulator sistem pembayaran di Indonesia berjiwa sosialis seperti yang juga berlaku di AS. Konflik fiscal cliff di AS juga semakin membuktikan bahwa kedua partai politik di AS, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat, juga beraliran sosialis dalam konteks sistem pembayaran di mana kedua partai itu sama-sama tidak berkeinginan untuk mengurangi pengeluaran pemerintah mereka. 

Kedua partai itu sadar bahwa sistem pembayaran yang sehat hanya akan tercipta jika regulator pembayaran, yaitu bank sentral, tidak bersifat independen dalam konteks menjadi perpanjangan tangan ideologi neoliberalisme. Regulator sistem pembayaran tidak harus sejalan dengan asas ideologi sistem perekonomian suatu negara.Jika demikian, hal itu akan berpotensi terjadi gangguan pembangunan yang serius. Misalnya yang terjadi pada pembangunan ekonomi di Uni Eropa barubaru ini. 

Uni Eropa yang cenderung merupakan negara sosialis justru menggunakan regulator sistem pembayaran yang neoliberal, yaitu bank sentral yang independen yang tidak peduli terhadap penciptaan lapangan kerja. Hasilnya bank sentral Uni Eropa pada akhirnya juga membeli obligasi pemerintah semenjak Draghi menjadi gubernurnya. Sebelumnya regulator sistem pembayaran sangat anti dalam membeli obligasi pemerintah. Inimemperlihatkan bahwa bank sentral yang independen tidak akan mampu menjadi regulator sistem pembayaran yang menjamin pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. 

Sudah saatnya bank sentral di seluruh dunia belajar dari krisis yang terjadi saat ini untuk mau bertanggung jawab bukan hanya dalam mengelola inflasi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja. Regulator sistem pembayaran harus dilepas dari bank sentral yang hanya fokus terhadap pengelolaan inflasi, sebab regulator akan kehilangan daya dukungnya ketika perekonomian terjerembab dalam krisis keuangan yang dahsyat!
 ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar