Senin, 12 Maret 2012

Tiada Misteri dalam Kejahatan Korupsi


Tiada Misteri dalam Kejahatan Korupsi
A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA, YOGYAKARTA
SUMBER : KOMPAS, 12 Maret 2012



Sudah lama diketahui bahwa agenda terbesar perekonomian Indonesia terletak pada tiga hal: (1) infrastruktur yang lemah, (2) korupsi yang merajalela, dan (3) birokrasi yang tidak efisien. Kali ini kita diskusikan soal korupsi.

Saya termasuk salah satu dari banyak orang yang geregetan pada proses pengungkapan berbagai kasus korupsi yang sedang berlangsung, seperti wisma atlet, Hambalang, sampai kekayaan petugas pajak yunior yang jumlahnya tidak masuk akal.

Argumentasi atau alibi mengenai asal-usul kekayaan tersangka dan calon tersangka 
kadang menggelikan, menjengkelkan, mulai dari harta warisan orangtua dan mertuanya kaya sampai punya usaha sendiri yang menguntungkan. Kalau punya usaha sendiri yang menguntungkan, mengapa tidak mencurahkan waktu 100 persen ke bisnis daripada menjadi pegawai negeri?

Asas pembuktian terbalik atas kasus korupsi sudah sering diwacanakan, tetapi tidak pernah bisa dilakukan. Entah di mana letak kesulitan ahli dan aparat hukum untuk mengimplementasikannya. Kalau dari kacamata ekonomi, masalah ini sebenarnya bisa diterobos dengan relatif lebih mudah. Setidaknya kekayaan seseorang dapat dilacak dari dua pintu: jalur Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta jalur pembayaran pajak.

Dari jalur PPATK, semua transaksi keuangan lewat perbankan dapat dilacak. Melalui PPATK juga dapat diketahui berbagai transaksi mencurigakan alias menyimpang dari profil seorang nasabah bank. Kasus kekayaan pegawai pajak bisa dideteksi dari laporan bank yang ditindaklanjuti PPATK.

Masalahnya, apakah preseden ini akan mencederai asas kerahasiaan bank? Apakah pengungkapan kasus korupsi oleh PPATK ini tidak berdampak buruk bagi bank yang melaporkan? Apakah ada risiko ditinggal nasabah? Jika dana pihak ketiga (DPK) kabur, bank akan kesulitan likuiditas.

Kekhawatiran itu berlebihan. Memang akan ada sebagian deposan yang khawatir pada penelusuran PPATK. Namun, seberapa banyak orang termasuk kategori ini? Berapa jumlah nasabah ”abu-abu” yang kekayaannya sulit dijelaskan? Taruhlah 10 persen DPK akan kabur dari bank, itu tidak masalah.

Perbankan sedang berada di ”musim semi”. Likuiditas masyarakat atau DPK di bank mencapai Rp 2.688 triliun pada akhir 2011. Dalam setahun ini ada kenaikan simpanan masyarakat lebih dari Rp 400 triliun. Justru saat ini Bank Indonesia merasa terjadi kelebihan likuiditas di bank umum. Banyak yang ditempatkan di BI dalam bentuk pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Karena itu, BI akhir-akhir ini gencar menurunkan suku bunga. Selain dimaksudkan untuk mendorong ekspansi kredit, juga dalam rangka menurunkan biaya moneter. Jika langkah PPATK melacak pergerakan dana nasabah menimbulkan kepanikan sebagian nasabah, lalu mereka memindah dananya ke portofolio lain di luar bank umum, justru akan meringankan beban BI dalam menanggung biaya moneter.

Saya yakin kinerja perbankan saat ini terlalu solid untuk diguncang sekadar isu pelacakan PPATK. Masih banyak nasabah baik— yang asal-usul hartanya jelas—daripada nasabah yang rekeningnya ”abu-abu”. Perbankan kini mencatat rekor tertinggi laba Rp 75 triliun per akhir 2011 dengan aset total Rp 3.652 triliun. Oleh para pemiliknya, sebagian besar dari laba ini digunakan untuk menambah modal agar dapat memperkuat rasio kecukupan modal capital adequacy ratio (CAR). Mengapa bank perlu modal besar? 
Karena bank harus terus melakukan ekspansi kredit.

Karena itu, sebenarnya BI tak hanya fokus berupaya menurunkan suku bunga kredit. Tak kalah penting juga harus tetap menjaga agar CAR bank-bank tetap tinggi dan ekspansi kredit terjaga. CAR bank sedikit turun menjadi 16 persen (2011) dari 17 persen (2010). Ekspansi kredit terjaga 25 persen. Tugas BI untuk menaikkan efisiensi melalui konsolidasi bank-bank melalui merger dan akuisisi sejauh ini juga belum ada kemajuan—kalau tidak mau dibilang nihil.

Kembali soal korupsi. Sudah seharusnya aparat mendayagunakan instrumen pembayaran pajak sebagai alat bukti ampuh untuk membuktikan ada tidaknya korupsi. Selain oleh PPATK, seorang tersangka korupsi semestinya juga ditelusuri jejak kekayaannya dari laporan pembayaran pajak melalui surat pemberitahuan (SPT) tahunan.

Cocokkan saja berapakah pendapatan seseorang setiap tahun, lalu berapa pembayaran pajak tahunannya (terutama Pajak Penghasilan)? Apakah angka tersebut sesuai dengan kekayaannya? Kalau tidak sesuai, tersangka korupsi harus menjelaskan dari mana saja asal-usul kekayaannya.

Memasukkan instrumen pembayaran pajak dalam mengungkapkan kasus korupsi akan 
sangat bermanfaat. Selain dapat membuktikan kesalahan para koruptor, momentum ini juga bisa melecut para wajib pajak untuk membayar pajak sesuai dengan profil pendapatannya. Bagi aparat pajak, hal ini merupakan momentum untuk bekerja dengan baik secara bermartabat, sebagaimana amanat reformasi birokrasi.

Saat perekonomian nasional galau karena harga bahan bakar minyak akan naik 33,3 persen, isu keadilan pajak menemukan relevansinya. Rasio penerimaan pajak relatif terhadap produk domestik bruto (tax ratio) hanya 13,5 persen. Di Asia Tenggara, tax ratio bervariasi dari yang terjelek Myanmar (4 persen) dan Kamboja (8 persen) hingga yang terbaik Brunei (30 persen). Setidaknya Indonesia perlu menyamai Thailand (18 persen) atau Vietnam (21 persen).

Jika saja aparat hukum kita mau menggunakan pisau analisis kombinasi antara penelurusan PPATK dan rekam jejak seseorang dalam pembayaran pajak, saya yakin pengungkapan kasus korupsi menjadi lebih mudah.

Sesungguhnya tidak ada hal yang misterius pada kekayaan seseorang. Semuanya bisa dilacak asal-usulnya asalkan kita sedikit cerdik saja memanfaatkan instrumen atau institusi yang kita punyai: PPATK dan Direktorat Jenderal Pajak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar