Mafia
Pajak dan Kegagalan Reformasi Birokrasi
Mudrajat Kuncoro, GURU BESAR ILMU EKONOMI FEB UGM
SUMBER : KOMPAS, 12 Maret 2012
Habis Gayus Tambunan terbitlah Dhana
Widyatmika. Mereka adalah mantan pegawai Ditjen Pajak yang diduga melakukan
korupsi dan pencucian uang miliaran rupiah.
Kedua kasus ini menimbulkan pertanyaan
mendasar: mengapa mafia pajak masih berlangsung di tengah reformasi birokrasi
yang dinilai berhasil di Kementerian Keuangan?
Perpajakan
dan Birokrasi
Menarik dicatat bahwa sejak Menteri Keuangan
Sri Mulyani setidaknya Kementerian Keuangan telah melaksanakan reformasi perpajakan
dan birokrasi. Ada empat cakupan yang diutamakan dalam reformasi perpajakan,
yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, administrasi perpajakan, dan
pajak daerah. Sasaran yang ingin dicapai adalah peningkatan jumlah pembayar
pajak, perluasan basis pajak, peningkatan daya saing, serta tersedianya ruang
fiskal untuk pembiayaan pengeluaran sosial dan infrastruktur. Setiap cakupan
memiliki kebijakan strategis yang harus dilaksanakan.
Sementara itu, reformasi birokrasi, yang
dirintis sejak 2002, meliputi penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan
peningkatan manajemen sumber daya manusia. Penataan organisasi diperlukan
karena kementerian ini merupakan holding type organization: permasalahan yang
sangat kompleks, memiliki kantor vertikal terbesar dan tersebar di seluruh
Indonesia, serta memberikan pelayanan langsung kepada publik.
Perbaikan proses bisnis melalui analisis dan
evaluasi jabatan telah menghasilkan 5.225 uraian jabatan, spesifikasi jabatan,
peta jabatan, dan 27 peringkat jabatan di Kemkeu. Penataan organisasi
difokuskan menciptakan organisasi yang andal dan modern, baik pada tingkat
kantor pusat maupun tingkat instansi vertikal dan unit pelaksana teknis.
Modernisasi instansi vertikal di lingkungan Kemkeu diawali oleh Ditjen Pajak
melalui pembentukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar yang
dilaksanakan pada 2002, selanjutnya diterapkan secara bertahap pada semua
instansi vertikal Ditjen Pajak.
Peningkatan manajemen sumber daya manusia
(SDM) dilakukan dengan mengubah sistem pengelolaan dan pembinaan SDM. Mengelola
sekitar 62.000 pegawai Kemkeu jelas tak mudah. Program peningkatan SDM
dilakukan dengan prinsip peningkatan kualitas, penempatan SDM yang kompeten
pada tempat dan waktu yang sesuai, sistem pola karier yang jelas dan terukur,
berbasis kompetensi, serta keakuratan dan kecepatan penyajian informasi SDM
sesuai dengan kebutuhan manajemen.
Esensi dari program reformasi birokrasi
adalah memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan meningkatkannya secara
terus-menerus.
Dengan reformasi ini, gaji PNS di Kemkeu pun
ditingkatkan hingga mencapai fair remuneration. Reformasi birokrasi Kemkeu
dengan memperbaiki pelayanan publik (pajak, bea cukai, perbendaharaan, dan aset
manajemen), meningkatkan kredibilitas (kebijakan, manajemen utang, pasar
modal), kinerja utama dan SOP, meningkatkan kualitas birokrasi, proses bisnis,
penilaian pekerjaan, kualifikasi, serta evaluasi pekerjaan.
Seiring dengan itu, dijalankan pula program
pendukung reformasi birokrasi di Kemkeu, yaitu pendirian assessment center yang
bertugas menyinkronisasikan pekerjaan dengan kompetensi SDM, pengembangan
sistem informasi manajemen SDM, penerapan pedoman disiplin, pembentukan majelis
kode etik, penyusunan pola mutasi, dan pelaksanaan pelatihan berbasis
kompetensi.
Dengan berbagai upaya tersebut, Kemkeu
mendapatkan peringkat terbaik dalam menerapkan reformasi birokrasi dari semua
kementerian/lembaga negara yang telah menerapkan sistem tersebut.
Dalam konteks inilah, kasus Gayus dan Dhana
memperlihatkan masih berlanjutnya praktik mafia pajak. Artinya, reformasi
birokrasi di Kemkeu masih jauh untuk dapat dikatakan berhasil. Remunerasi yang
diberikan kepada pegawai Ditjen Pajak dinilai kurang efektif dalam menekan
praktik penggelapan pajak di instansi tersebut.
Membongkar
Mafia Pajak
Dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, tindakan korupsi meliputi: (1) kerugian negara; (2) suap-menyuap; (3)
penggelapan dalam jabatan; (4) pemerasan; (5) perbuatan curang; (6) benturan
kepentingan dalam pengadaan; dan (7) gratifikasi (pemberian hadiah). Menurut
Transparency International (TI), korupsi adalah perilaku pejabat publik,
politikus, pegawai negeri, yang secara tidak wajar/legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan.
Berdasarkan catatan TI, Indonesia yang
tadinya masuk 10 negara terkorup di dunia, sejak 2003 tidak lagi masuk daftar
tersebut. TI memberikan peringkat kepada suatu negara berdasarkan tingkat
korupsi yang terlihat ada di antara pejabat pemerintah dan politisi di negara
tersebut, dengan indikator yang disebut indeks persepsi korupsi (IPK).
IPK merupakan indeks gabungan pendapat ahli
terkait korupsi dan survei bisnis sejumlah lembaga independen dan terkemuka.
IPK fokus pada korupsi di sektor publik, mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan wewenang pada instansi publik untuk keuntungan pribadi. IPK
Indonesia sebesar 1,7 pada 2000, meningkat di level 2,8 pada 2011. Padahal, IPK
berkisar dari 0 (terjelek) hingga 10 (terbaik). Kendati IPK Indonesia membaik,
rekor ini masih di bawah negara-negara ASEAN. Ditjen Pajak selalu masuk dalam
daftar 10 lembaga terkorup di Indonesia.
Pasca-mencuatnya kasus Gayus dan Dhana,
banyak yang mengusulkan agar kinerja pegawai dan pejabat Ditjen Pajak diaudit.
Sistem pengendalian intern pemerintah tampaknya harus ditingkatkan
efektivitasnya.
Memang untuk mendukung dan meningkatkan
efektivitas pelaksanaan tugas pengawasan, pengkajian, dan pemberian rekomendasi
mengenai perbaikan sistem perpajakan telah dibentuk Sekretariat Komite Pengawas
Perpajakan. Dengan Permenkeu Nomor 133/PMK.01/2010, sekretariat ini bertugas
memberi layanan teknis-administratif untuk mendukung Komite Pengawas Perpajakan
dalam bertugas.
Masalahnya: apakah berbagai upaya reformasi
birokrasi dan institusi pengawas mampu membongkar mafia pajak dan korupsi yang
sudah sistemik dan menggurita? Munculnya kasus Gayus dan Dhana membuktikan
jaringan mafia pajak sudah sistemik. Untuk membongkarnya, pemerintah—khususnya
Ditjen Pajak dan Kemkeu—harus kooperatif dan mau berubah.
Dari sudut pandang ekonomi politik, mafia
pajak susah dibongkar. Penerimaan pajak yang Rp 1.000 triliun lebih per tahun
mendorong berbagai pihak—wajib pajak nakal, politisi, dan oknum petugas
pajak—berupaya mencampuri proses pemberantasan mafia pajak guna memperjuangkan
kepentingan masing- masing. Di satu sisi, wajib pajak nakal berupaya
menghindari pajak, sementara Ditjen Pajak mengejar setoran pajak. Sekretariat
gabungan dan forum koalisi parpol pendukung pemerintah berpotensi jadi
penghambat.
Mafia pajak tumbuh subur karena pelakunya
berlindung di balik kerahasiaan informasi yang dijamin UU. Ketika aparat pajak
tahu berapa seharusnya penetapan pajak oleh wajib pajak, baik orang maupun
badan, transaksi ”pengurangan beban pajak” biasanya terjadi. Misalnya, Anda
sebagai wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 1 miliar, tetapi bisa hanya Rp
500 juta asal tahu dan mau membayar ”orang dalam” Ditjen Pajak. Institusi
negara yang lain tak dapat membuka kerahasiaan kecuali status wajib pajak telah
dinyatakan melakukan tindak pidana. Praktik semacam ini yang membuat Gayus dan
Dhana memiliki rekening miliaran rupiah.
Pemberantasan terhadap mafia pajak tak mudah
karena jaringannya amat luas, lintas instansi, bahkan punya akses pada para
mafia peradilan (baca: polisi, jaksa, dan hakim) yang korup. Para mafioso, ciri
khas dari mafia, tak gampang dikenali oleh umum keterlibatannya dalam suatu
jaringan mafia.
Penyelesaian kasus Gayus yang hanya salah
satu dari mafioso ”tingkat rendah” dan berlarut- larut, belum mencerminkan
upaya serius membongkar mafianya. Data putusan Pengadilan Pajak periode
2002-2009 mencapai 22.105 perkara dan wajib pajak memenangi gugatan sekitar 61
persen perkara, belum terdengar disentuh aparat hukum. Padahal, menurut
pengakuan Gayus, ia mengumpulkan miliaran rupiah berasal dari perannya sebagai
”makelar” ketika membantu proses banding di pengadilan pajak.
Akhirnya, tindak pidana korupsi, pencucian
uang, dan manipulasi pajak merupakan kejahatan serius yang harus dijatuhi
hukuman berat. Kasus Gayus dan Dhana harus jadi momentum dan pintu masuk
membongkar mafia pajak. Reformasi birokrasi dan perang melawan korupsi masih
jauh dari usai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar