Ketika
Kepolisian Memperkuat Pers
Sabam
Leo Batubara, Mantan
Wakil Ketua Dewan Pers
SUMBER : KORAN TEMPO, 26 Maret 2012
Nota kesepahaman (memorandum of
understanding) antara Dewan Pers dengan Kepolisian Republik Indonesia yang
ditandatangani pada acara puncak Hari Pers Nasional di Jambi, 9 Februari 2012,
dapat dinilai langkah untuk memperkuat kebebasan pers.
Untuk mengoperasikan nota kesepahaman itu,
Polri dan Dewan Pers sepakat menggelar program bersama ke daerah. Sosialisasi
kesepahaman itu telah dilaksanakan di Makassar dan Medan. Dalam sosialisasi
kepada pemimpin redaksi media dan penegak hukum di Jakarta (20 Maret 2012),
Kepala Divisi Hukum Polri Brigadir Jenderal Drs Anton Setiadi, SH, MH,
menjelaskan, "Menyikapi adanya laporan dugaan tindak pidana terkait berita
pers, opini, dan surat pembaca, dalam tahap penyelidikan, Polri lebih dulu
meminta pendapat, berkoordinasi dengan Dewan Pers."
Berdasarkan hasil penyelidikan, ada tiga
kemungkinan. Pertama, dugaan tindak pidana yang dilaporkan adalah pelanggaran
Kode Etik Jurnalistik. Penyelesaiannya diserahkan kepada Dewan Pers. Kedua,
terdapat bukti permulaan tindak pidana pers. Dengan berpedoman pada Pasal 18
Undang-Undang Pers, Polri melakukan penyidikan.
Berdasarkan ayat 1 pasal
tersebut, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal
4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau
denda paling banyak Rp 500 juta." Sesuai dengan ayat 2, perusahaan pers
yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 13 dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta. Berdasarkan ayat 3, perusahaan
pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 12 dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp 100 juta. Ketiga, terdapat bukti permulaan tindak
pidana umum dan/atau tindak pidana khusus di luar UU Pers. Menyikapinya, Polri
melakukan penyidikan mempedomani Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dan UU Tindak Pidana Khusus lainnya.
KUHP
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang
diundangkan pada 23 September 1999 adalah undang-undang pertama yang melindungi
kebebasan pers. UU Pers itu memberi fungsi kepada pers untuk melakukan kontrol
sosial, serta peranan untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, serta dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Berdasarkan UU Pers, wartawan yang
melakukan pekerjaan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme hak jawab, hak
koreksi, dan permintaan maaf secara terbuka oleh media. Kesalahan jurnalistik,
berdasarkan UU Pers, terbuka kemungkinan diselesaikan melalui jalur hukum
dengan ancaman pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Kendati UU Pers itu sudah berlaku, untuk
menindaklanjuti berbagai perkara pers yang diajukan langsung ke jalur hukum,
penegak hukum masih belum mempedomani UU Pers, tapi langsung mendakwa wartawan
yang diadukan dengan pasal-pasal KUHP, KUHAP, dan UU Tindak Pidana Khusus
lainnya. Sekadar beberapa contoh, berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia,
pemberitaan majalah Tempo (3-9 Maret 2003) berjudul "Ada Tomy di
Tenabang" telah memenuhi standar prinsip jurnalisme, memenuhi kriteria
terkait dengan kepentingan publik, dan telah memenuhi prinsip cover both
side. Namun Pemimpin Redaksi dan beberapa wartawan majalah itu diancam
dengan pidana penjara sembilan tahun.
Badan penerbit Koran Tempo, PT Tempo
Inti Media, dan pemimpin redaksinya dituntut ganti rugi materiil dan imateriil
US$ 51 juta (ekuivalen dengan Rp 500 miliar) serta memulihkan nama baik
Marimutu Sinivasan dengan cara memuat permohonan maaf di media massa nasional
dan internasional. Apa pasal? Berita Koran Tempo dalam 64 tulisan dari
Januari sampai Mei 2003 dituduh mencemarkan nama baik PT Texmaco dan
pemiliknya. Setelah melalui peradilan yang melelahkan, kedua media itu oleh
Mahkamah Agung diputus tidak bersalah.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Rakyat
Merdeka Karim Paputungan divonis lima bulan penjara dengan masa percobaan
10 bulan (9 September 2003). Foto beritanya dinilai mencemarkan nama baik Akbar
Tandjung. Redaktur Pelaksana Rakyat Merdeka, Supratman, divonis enam
bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan (17 Oktober 2003). Beritanya,
antara lain "Mulut Mega Bau Solar", dinilai mencemarkan nama baik
Presiden Megawati Soekarnoputri.
Revolusi Paradigma
Sikap penegak hukum yang dinilai menghargai
dan mempedomani UU Pers--menurut hemat saya--adalah suatu revolusi paradigma.
Dari zaman kolonial Belanda hingga era reformasi ini, elite pemegang kekuasaan
selalu berkultur otoritarian, yang menganggap pers potensial sebagai kejahatan.
Tidak mengherankan jika alat kendali yang digunakan adalah membredel pers
dan/atau mengkriminalkannya.
Ketika Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah
masih gemar menerbitkan undang-undang yang mengancam kebebasan pers, nota
kesepahaman Polri dan Dewan Pers tersebut justru menunjukkan di kalangan
penegak hukum mulai tumbuh pemahaman kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat. Karena itu, tidak sepatutnya wartawan yang melakukan pekerjaan
jurnalistik untuk kepentingan umum dapat dianggap sebagai penjahat.
Perjuangan Dewan Pers yang didukung oleh
masyarakat pers, untuk melindungi kebebasan pers, mulai didengar oleh Mahkamah
Agung. Pada 30 Desember 2008, pelaksana tugas Ketua MA, Dr Harifin A. Tumpa,
SH, MH, mengirim Surat Edaran (Sema) ke seluruh Ketua Pengadilan Tinggi dan
Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Sema itu berisi pokok agar dalam
penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers hendaknya
majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena
merekalah yang lebih mengetahui seluk-beluk pers tersebut secara teori dan
praktek.
Tantangan
Untuk memberdayakan pers sebagai kekuatan
keempat demokrasi, perlu diakselerasi ketersediaan wartawan yang memenuhi
standar kompetensi. Pemerintah dan DPR perlu diyakinkan bahwa tugas negaralah
membangun school of journalism untuk memasok wartawan profesional yang
sangat dibutuhkan oleh media massa.
Selain itu, tantangan bagi Dewan Pers dan
masyarakat pers untuk memperkuat kebebasan pers adalah mengupayakan dua langkah
strategis berikut ini. Pertama, mengintegrasikan Pasal 8 UU Pers, serta Pasal
310 ayat 3 dan Pasal 50 KUHP. Pasal 8 UU Pers menyebutkan, "Dalam
melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum." Pasal 310
ayat 3 KUHP: "Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika
perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk
membela diri." Pasal 50: "Barang siapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana." Menurut pemahaman
saya, berdasarkan integrasi tiga pasal tersebut, wartawan yang melaksanakan UU
Pers dan Kode Etik Jurnalistik semestinya tidak dapat dikriminalkan.
Kedua, mendesak pemerintah dan DPR agar juga
berkomitmen menaati ketentuan United
Nations Human Rights Committee, yang menyebutkan, "Penggunaan UU
Pidana dengan sanksi penjara bagi gugatan defamation atau libel--seperti
fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penistaan--sebagai pelanggaran terhadap
kebebasan berekspresi." ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar