Diskusi Panel “Ketahanan Energi Pasca-Kenaikan Harga BBM Bersubsidi” :
Pertegas
Politik Energi
SUMBER : KOMPAS, 27 Maret 2012
Energi esensial bagi sebuah negara. Itu
sebabnya, sebuah negara yang kaya akan sumber energi harus memiliki politik
energi yang teguh. Pertanyaannya, apakah Indonesia telah memiliki politik
energi yang teguh itu?
Abdul Muin mengingatkan bahwa ketahanan
energi Indonesia pada masa depan amat gawat. Cadangan dan produksi minyak bumi
terus turun, sedangkan konsumsi domestik akan minyak bumi terus naik.
Produksi minyak bumi, misalnya, tinggal 24
tahun. Konsumsi bahan bakar minyak naik rata-rata 4 persen per tahun. Impor
minyak mentah terus meningkat. Potensi batubara tinggi, tetapi sumbangannya
terhadap listrik dan keperluan domestik lain tak signifikan.
”Dalam situasi krisis ini, keberanian membuat
keputusan sangat penting,” kata Abdul Muin. ”Pemerintah harus berani dan jujur
mengakui bahwa energi kita sedang kritis sekarang.”
Dengan kritisnya energi, menurut pengamatan
Abdul Muin, belum pernah ada kebijakan pengelolaan energi strategis yang
komprehensif sejak dulu hingga sekarang. Ini tak semata-mata kesalahan dan
kelalaian berbagai pihak di dalam negeri, tetapi juga ada faktor luar. Salah
satunya ialah dinamika politik global.
Pri Agung Rakhmanto juga berpendapat bahwa
Indonesia belum memiliki politik energi, padahal energi sangat strategis dan
menjadi modal dasar baik untuk aktivitas ekonomi maupun dalam bernegara. Dalam
praktiknya, kebijakan energi hanya retorika belaka.
Dieksploitasi Habis-Habisan
Lihatlah, kata Pri Agung, Indonesia tak punya
cadangan minyak mentah. Padahal, di negara lain, stok lazimnya setara dengan 30 hari impor minyak mentah. Batubara di
Indonesia dieksploitasi habis-habisan. Produksinya naik 17-18 persen per tahun.
Sementara itu, negara lain mengerem produksi batubara: hanya 3-4 persen per
tahun.
”Kita tidak punya politik energi seperti itu
sehingga turunannya dalam bentuk undang-undang ke bawah tidak jelas,” kata Pri
Agung.
Bambang Wuryanto mengatakan, apa pun sistem
pembangunan yang akan diterapkan harus didukung oleh kebijakan energi. Artinya,
energi menjadi politik negara dan tidak sekadar komoditas. Apabila energi
dipahami sebagai komoditas, harganya harus mengikuti mekanisme pasar. Harga
minyak bumi, misalnya, akan ditentukan oleh Nymex yang menguasai 30 persen
minyak dunia.
Bambang Wuryanto memberi contoh salah satu
wujud energi dianggap sebagai komoditas adalah Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3)
UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Di Pasal 28 disebutkan
bahwa harga bahan bakar minyak sesuai dengan harga pasar.
Persisnya Pasal (2) menyebutkan, ”Harga bahan
bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang
sehat dan wajar”. Pasal (3) menyebutkan, ”Pelaksanaan kebijaksanaan harga
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial
pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.”
Namun, Mahkamah Konstitusi telah memperteguh
politik negara tersebut. Mahkamah Konstitusi pada 2003 telah menyatakan Pasal
28 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Apabila disepakati bahwa energi adalah
politik negara, barulah dibuat kebijakan turunannya. Pemerintah menurunkan
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004
tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. PP No 30/2009 mengubah Pasal
72 PP No 36/2004 menjadi berbunyi, ”Harga bahan bakar minyak dan gas bumi
diatur dan/atau ditetapkan oleh pemerintah.”
Konteks Besar
Bambang menangkap kesan bahwa konteks besar
upaya mencabut subsidi energi dengan menaikkan harga BBM adalah ”mendorong BBM
ke harga pasar”. Hal itu sudah terasa sejak penandatanganan surat kesepakatan
Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, Pri Agung
berpendapat, sisi positif mekanisme harga pasar tersebut: ada efisiensi.
UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, menurut Bambang, adalah contoh ”undang-undang merah
putih”. Artinya, politik negara atas energi jelas di situ. Undang-undang itu
mengatur, antara lain, ekspor mineral mentah harus dihentikan tahun 2014.
Mineral yang hendak diekspor harus diolah terlebih dahulu di dalam negeri.
Untuk mewujudkan politik energi yang jelas,
DPR juga mendorong dibentuknya Dewan Energi Nasional. Pembentukan Dewan Energi
Nasional berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Dewan Energi
Nasional langsung diketuai presiden. Wakil ketuanya adalah wakil presiden dan
ketua harian adalah menteri ESDM. Namun, komposisi Dewan Energi Nasional ini
dikritik Abdul Muin karena tidak diisi oleh pejabat yang bukan ahlinya.
Dewan Energi Nasional ini memiliki empat
tugas. Pertama, merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional dan
menetapkannya bersama DPR. Kedua, menetapkan rencana umum energi nasional.
Ketiga, menetapkan langkah-langkah penanggulangan manakala terjadi krisis dan
darurat energi. Keempat, mengawasi pelaksanaan kebijakan energi. ”Kebijakan
Dewan Energi Nasional ini menjadi referensi energi nasional,” ungkap Bambang.
Dalam sidang paripurna pertama pada 7 Maret
2012, Dewan Energi Nasional telah menyepakati Rancangan Kebijakan Energi Nasional.
Kebijakan penting dalam Rancangan Kebijakan Energi Nasional itu adalah
perubahan paradigma pengelolaan energi nasional yang menempatkan sumber daya
energi sebagai modal pembangunan nasional, bukan hanya sebagai komoditas
ekspor.
Rancangan Kebijakan Energi Nasional tersebut,
misalnya, menetapkan sasaran terpenuhinya penyediaan dan pemanfaatan energi
melalui peningkatan penyediaan energi pada 2025 sebesar 400 juta ton setara
minyak (MTOE) dan pada 2050 menjadi sebesar 1.000 MTOE.
Selain itu, peningkatan pemanfaatan energi
primer per kapita pada 2025 sebesar 1,4 ton setara minyak (TOE) per kapita dan
pada 2050 menjadi sebesar 3,2 TOE per kapita. Di samping itu, peningkatan
penyediaan kapasitas pembangkit listrik pada 2025 sebesar 115 gigawatt dan pada
2050 menjadi sebesar 430 gigawatt. Selanjutnya adalah peningkatan penggunaan
listrik per kapita pada 2025 sebesar 2.500 kWh dan pada 2050 menjadi sebesar
7.000 kWh.
Rancangan Kebijakan Energi Nasional ini akan
segera disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan
sebelum ditetapkan pemerintah. Kebijakan Energi Nasional akan digunakan sebagai
pedoman dalam penyusunan Rencana Umum Energi Nasional dan Rencana Umum
Ketenagalistrikan Nasional.
Namun, Abdul Muin mengajak semua pihak merenung,
kemudian berputar haluan menata kembali visi energi yang benar dan bermanfaat.
Dalam situasi krisis, keberanian untuk mengambil keputusan yang tegas—sekalipun
tidak populer—akan dapat dimaklumi oleh rakyat banyak apabila dibarengi dengan
sikap keprihatinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar